TEORI
BELAJAR BAHASA
Disusun Oleh :
Nama : Muh.Harjum Nurdin
NIM : 1351040007
Kelas : A
Pendidikan
BAB
I
Pemerolehan
Bahasa Pertama
1.
Pengertian
Pemerolehan Bahasa Pertama
Kebebasan
berbahasa dimulai sekitar satu tahun di kala anak-anak menggunakan kata-kata
lepas atau terpisah sari sandi kebahasaan untuk mencapai aneka tujuan social
mereka. Kedua mengatakan bahwa
pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari
prestasi-prestasi motorik, social, dan kognitif pralinguistik.
Klein (1986:4)
menyebutkan bahwa pemerolehan bahasa pertama sangat erat hubungannya dengan
perkembangan kognitif dan social anak. ada dua kesimpulan penting mengenai
perkembangan kognitif yakni :
a. Jika
anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang
teratur rapi tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah
menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik.
b. Pembicara
haurus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna
ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kala, ruang, modalitas, kausalitas,
dan sebagainya.
Manusia
memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya
untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya
dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya
terhadap IQ manusia. Kemampuan berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak
yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian
anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari
bahsa, topografi konteks yang khusus untuk bahasa dan lain-lain.
Tingkat
perkembangan bahasa anak sama bagi smeua anak normal; semua anak dapat
dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama yaitu lebih dahulu
menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya sedikit
saja dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. bahasa tidak dapat diajarkan
kepada makhluk lain. Bahasa bersifat universal, setiap bahasa dilandasi unsure
semantic, sintaksis, dan fonologi yang universal.
Pemerolehan
bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul
dari prestasi-presatasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial
anak dan karenanya juga erat hubungan dengan pembentukan identitas sosial.
Melalui bahasa khusus bahasa pertama, seorang anak belajar untuk menjadi
anggota masyarakat. Bahasa pertama menjadi salah satu saran untuk mengungkapkan
perasaan, keinginan, pendirian, dsb. Dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap
ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota
masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gambling.
Sistem
pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada
rangsangan dunia sekitarnya, sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat
anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan
keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan
terbentuk dengan smepurna. Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan
perbendaharaan kata dan tatabahasanya pun terbentuk.
2.
Masa
Waktu dan Perkembangan Pemerolehan Bahasa Pertama
Pada masa
perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha
membedakan dirinya dengan objek dan tindakan. Pada tahap satu kata anak
terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai.
Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang
menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan btempat, dan kata
yang menyatakan pemerian.
Perkembangan
bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan
anak kacil merupakan indicator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih
baik daripada urutan usianya. Walaupun perkembangan bahasa anak sangat unik
namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain yaitu
semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi
objek dengan orang.
Perkembangan
pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari pembuatan bunyi menuju kea rah
membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan ata dua bunyi dapat dikenali
sejak tahun pertama yaitu 1) periode vokalisasi dan prameraban serta 2) periode
meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perceptual yang penting selama
periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan noninsani,
antara bunyi yang berekspresi marah
dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan suara orang
dewasa, antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna
berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya.
Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri waktu ke waktu menuju
ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi
tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka. Perkembangan ujaran kombnatori
anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu perkembangan
negatif/penyangkalan, perkembangan interogatif/pertanyaan, perkembangan
penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.
Pada
perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak
yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih rekleksif dan berhati-hati,
cenderung lebih jelas dan nayata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan
bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di
masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Selama
masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal.
Pada saat itu pula anak menandai atau memberinya cirri sebagai pribadi yang ada
dalam masyarakat itu. Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan
dengan jelas dalam tiga bidang yaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan
kesadaran linguistik.
3.
Strategi
Pemerolehan Bahasa Pertama
Strategi pertama
dalam pemerolehan bahasa adalah strategi meniru. Anak-anak dalam proses
pemerolehan bahasa dapat dianjurkan untuk memegang pedoman : tiru lah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan
akan digunakan anak terus meskipun ia sudah dapat sempuran melafalkan bunyi.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini
akan menimbulkan masalah besar. Mungkin ada orang yang berkata bahwa imitasi
adalah mengatakan sesuatu yang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan
tetapi ada banyak pertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini.
Ada berbagai
ragam peniruan atau imitasi, yaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat
atau delayed imitation, dan imitasi
dengan perluasan atau imitation with
expansion, reduced imitation.
Strategi kedua
dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti
keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada
pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan
bekal yang Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah cirib utama
bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan”
sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai makna
bergantung pada situasi dan intonasi.
Strategi ketiga
berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan response.
Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaiman orang lain memberi responsi.
Strategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa strategi tersebut
dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat
“kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai
ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang len=bih banyak
yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.
Strategi keempat
adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalakan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum
untuk memikirkan serta menetapkan bahasa.
BAB
II
Pemerolehan
Bahasa Kedua
1.
Proses
Pemerolehan Bahasa Kedua
Krashen (1986: 10-30) mengatakan
bahwa pemerolehan (acquisition) bahasa
berbeda dengan pembelajaran (learning)
bahasa. Perbedaan keduanya barangkali merupakan yang paling fundamental dari semua
hipotesis dalam belajar bahasa kedua yaitu
1) hipotesis masukan, 2) hipotesis monitor, 3) hipotesis urutan almiah,
4) hipotesis saringan afektif, dan 5) hipotesis pembedaan pemerolehan dan
belajar.
Hipotesis pembedaan pemerolehan dan
belajar menyatakan bahwa orang dewasa mempunyai dua cara yang berbeda,
berdikari dan mandiri mengenali pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua.
Cara yang pertama ialah pemerolehan
bahasa, yang merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak
mengembangkan kemapuan dalam bahasa pertama (B1) mereka. Pemerolehan bahasa
merupakan proses bawah sadar. Di sini para pemerolehan bahasa tidak selalu
sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahsa untuk berkomunikasi. Hasil atau
akibat pemerolehan bahasa, kompetensi yang diperoleh juga merupakan bawah
sadar. Cara kedua untuk mengembangkan
kompetensi dalam bahasa kedua ialah dengan ‘belajar’ bahasa. Menggunakan
istilah ‘belajar’ untuk mengacu kepada pengetahuan yang sadar terhadap bahasa
kedua, mengetahui kaidah-kaidah, menyadari kaidah-kaidah tersebut dan mampu
berbicara mengenai kaidah-kaidah itu. Secara tegas Krashen dan Terrell (1983)
membedakan keduanya dala lima hal, yaitu :
1. Pemerolehan
memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama seorang anak
penutur asli sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal.
2. Pemerolehan
dilakukan secara bawah sadar sedangkan pembelajaran adalah proses sadar dan
disengaja.
3. Pemerolehan
seorang anak atau pelajar bahasa kedua belajar seperti memungut B2 sedangkan
dalam pembelajaran seorang pelajar B2 mengetahui B2.
4. Dalam
pemerolehan pengetahuan didapat secara implisit sedangkan dalam pembelajaran
pengetahuan didapat secara eksplisit.
5. Pemerolehan
pengajaran secara formal tidak membantu kemampuan anak sedangkan dalam pembelajaran
pengajaran secara formal hal itu menolong sekali.
Pandangan pemerolehan bahasa secara
alami merupakan pandangan kaum nativis yang diwakili oleh Noam Chomsky,
berpendapat bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Perilaku bahasa
adalah sesuatu yang diturunkan. Hakikatnya, pola perkembangan bahasa adalah
sama pada berbagai macam bahasa dan budaya. Lingkungan hanya memiliki peran
kecil dalam pemerolehan bahasa. Anak sudah dibekali apa yang disebut peranti
penguasaan bahasa (LAD).
Pandangan pemerolehan bahasa secara
disuapi adalah pandangan kaum behavoritis yang diwakili oleh B.F> Skinner
dan menganggap bahasa sebagai suatu yang kompleks di antar perilaku-perilaku
lain. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan.
Anak hanya merupakan penerima pasif dari tekanan lingkungan. Anak tidak
memiliki peran aktif dalam perilaku verbalnya.
Perkembangan bahasa ditentukan oleh
lamanya latihan yang disodorkan lingkungannya. Anak dapat menguasai bahasanya
melalui peniruan. Belajar bahasa dialami anak melalui prinsip pertalian
stimulus-respon. Perkembangan bahasa anak adalah suatu kemajuan yang sembarang
hingga mencapai kesempurnaan. Pandangan kognitif diwakili oleh Jean Piaget dan
berpendapat bahwa bahasa bukan cirri alamiah yang terpisah melainkan satu di
antara beberapa kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif. Lingkungan
tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. yang penting
adalah interaksi anak dengan lingkungannya.
Cara pemerolehan bahasa kedua dapat
dibagi menjadi dua yaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan
pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua yang
diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi sudah dipahami. Materi
bergantung pada criteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang
dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi
siswanya. Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa
kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran
atau pimpinan guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh
bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi
bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua cirri penting dari pemerolehan
bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam
komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sitematis yang sengaja.
2.
Hubungan
antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa kedua
Fakta-fakta membuktikan bahwa
setiap bayi yang baru lahir sanggup memperoleh suatu bahasa manusia sebab semua
bahasa mempunyai struktur dalam (atau universal grammar) yang umum, di samping
mempunyai cirri-ciri khusus yang membedakan bahasa yang satu dengan bahasa
lain. Cirri-ciri khusus ini mencakup, yaitu 1) keseluruhan kosakata, 2)
keseluruhan morfologi, 3) keseluruhan sintaksis, 4) keseluruhan fonologi. Dalam
beberapa hal, keputusan untuk menggunakan istilah ‘belajar bahasa kedua’
ataupun ‘pemerolehan bahasa pertama dwibahasa’ semata-mata merupakan masalah
preferensi atau pilihan pribadi saja. Berdasarkan pemakaian yang sudah lazim
atau umum maka kita menggunakan istilah ‘pemerolehan bahasa kedua’ atau ‘second language acquisition’ adalah
pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Ada ‘pemerolehan
bahasa kedua anak-anak’ dan ‘pemerolehan bahasa kedua orang dewasa’. Klein
(1986) mengajukan sebuah hipotesis yang dinamakannya hipotesis kesamaan
esencial (essential identity hypothesis).
Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertama (PB1)
dengan pemerolehan bahasa kedua (PB2), yaitu salah satu perbedaan antara
pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa
pertama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial
seorang anak sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah perkembangan
kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai.Dalam pemerolehan bahasa pertama
pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan sedangkan dalam pemerolehan bahasa
kedua, apalagi jika pelajarnya sudah melebihi usia 12-14 tahun, jarang ditemui
lafal pelajar yang sama dengan lafal penutur asli. Dalam pemerolehan bahasa
pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butir-butir tata
bahasa, misalnya fonem-fonem dan morfem tertentu, kalimat berita, Tanya dan
sebagainya. Banyak variabel yang berbeda antara pemerolehan bahasa pertama
dengan pemerolehan bahasa kedua, dan suatu identitas esensial yang sah antara
pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada meskipun ada persamaan
dan perbedaan di antara kedua pemerolehan.
Krashen (1982: 65-67) menyatakan
ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, yaitu :
1. Pengaruh
pada urutan kata dank arena proses penerjemahan,
2. Pengaruh
pada morfem terikat,dan
3. Pengaruh
bahasa pertama, walaupun pengaruhnya sangan lemah (kecil).
3.
Strategi
Pemerolehan Bahasa Kedua
Strategi pertama berpegang pada
semboyan: Gunakanlah pemahaman
nonlinguistic Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa.
Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum dalam karya Brown
mengenai dasar kognitif ujaran tahap 1. Brown et al. (1973) menyatakan bahwa
panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa
yang lebih baik daripada indikator usia kronologis atau urutan usianya. Juga
morfem rata-rata perucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada
singkatan Panjang Ucapan Rata-rata (PUR),
dan untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA)
yaitu apa-apa yang secara khusus merupakan ucapan terpanjang (dalam morfem) sebagai
rentangan PUR atau sebagai butir-butir sentral.
Strategi kedua berpegang pada semboyan: Gunakan apa saja atau segala sesuatu yang
penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Sebenarnya anak-anak
dihadapkan pada bahasa yang sudah tercakup dengan situasi-situasi tertentu
tetapi mereka tidak menyelesaikannya secara bersamaan semua. Mereka mengikuti
serta menyelesaikannya secara selektif. Mereka memusatkan perhatian pada
aspek-aspek tertentu. Telaah Nelson mengenai perkembangan kosakata permulaan menyarankan
bahwa dua ciri kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan
berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka yaitu:
1. Objek-objek
yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki,
topi) dan
2. Objek-objek
yang bergerak dan berubah (seperti mobil,jam).
Sifat-sifat
atau ciri-ciri perceptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik
vocal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk).
Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang menarik hati
ini, dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam masyarakat
bahasa.
Strategi ketiga berpegang pada semboyan:
Anggaplah bahwa bahasa dipakai secara
‘referensial’ atau ‘ekspresif’ dan dengan demikian menggunakan data bahasa.
Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu
proposisi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama
bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata
pertama secara proposisional mencakup lebih banya kata yang dipakai dalam
ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih
sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan
fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar
mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai
untuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai
untuk bergaul, bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental,
fungsi regulasi, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi
heuristik, dan fungsi imajinatif.
Strategi keempat berpegang pada
semboyan: Amatilah bagaimana caranya
orang lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan
pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak,
bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan
ekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau
preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam
situasi belajar yang lain pula.
Strategi kelima berpegang pada semboyan:
Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk
memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan. Anak berusia sekitar dua
tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara
mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini
seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, Karena setiap kali dia bertanya
‘apa nih?’ ‘apa tuh?’ maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau nama
yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan
‘mengapa’ pada usia sekitar 3 tahun.
BAB
III
Dimensi-Dimensi
Pemerolehan Bahasa
1.
Pandangan
Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa
Ditinjau dari segi
bentuk ada tiga pemerolehan bahasa yaitu pemerolehan bahasa pertama yaitu
bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa kedua yang
diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang yaitu bahasa
yang dulu pernah diperoleh kembali karena alas an tertentu. Ditinju dari segi
urutan ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan
bahasa kedua. Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan
satu bahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan
pemerolehan dua bahasa (di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang
digunakan secara luas). Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa
lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), dan pemerolehan bahasa
tulis (bahasa yang dituliskan oleh penuturnya). Ditinjau dari segi keaslian
atau keasingan dikenal pemerolehan bahasa asli (merupakan alat komunikasi
pensusuk asli), dan pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh para
pendatang atau bahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari
segi keserentakan atau keberuntungan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa)
dikenal pemerolehan (dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan.
Ada tiga komponen yang
menentukan proses pemerolehan bahasa yaitu prospensity
(kecenderungan), language faculty (kemapuan
berbahasa), dan acces (jalan masuk). Komponen kecenderungan ada empat yaitu
integrasi sosil, pendidikan, kebutuhan komunikatif, dan sikap. Dalam
pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial merupakan suatu faktor yang
dominan. Relevansi factor ini akan berkurang jika beranjak dari pemerolehan
bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi sosial
mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam
belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam
hal-hal tertent, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruh
negatif.
Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan
dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial. Kedua factor ini kerapkali
berlangsung serta bertindak bersama-sama bahu-membahu. Walaupun integrasi
sosial jelas sekali mengimplikasikan kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif
tertentu. Namun kedua faktor itu berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secara cermat
karena keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-cara yang
amat berbeda. Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikatif. Pengaruhnya
kepada pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antara
integrasi sosial dan kebutuhan komunikatif sebagi dua komponen kecenderungan
yang berinteraksi sejalan dengan perbedaan antara motivasi integratif dan
motivasi instrumental.
2.
Kapasitas
dan Acces dalam Belajar Bahasa
Otak memiliki kapasitas untuk menampung
rangsangan-rangsangan yang masuk. Tidak semua rangsagan yang diterima akan
langsung direkam ke memori yang paling dalam. Ada rangsangan atau informasi
yang diterima dan ditempatkan hanya sampai tingkat permukaan otak maupun
ditolak. Belajar bahasa kedua harus dapat membedakan variasi-variasi tekanan
suara, nada, intonasi, dari satu bahasa ke bahasa lain. Khasanah kosakata anak
seringkali didapat karena melibatkan pemahamannya tentang siapa berbicara dengan siapa, di mana, kapan, sambil mengamati
gerak tubuh para tokoh dan reaksinya.
Walaupun
masukan dalam pemerolehan bahasa bersifat spontan pada umumnya terdiri atas
ujaran otentik. Pembicara atau penutur asli mempunyai kecenderungan
menyesuaikan bahasanya dengan potensi pelajar yang telah diduga itu. Penyesuaian-penyesuaian
belajar bahasa terjadi dalam fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata, dan
dalam komunikasi pada umumnya. Dengan bertindak demikian pembicara dapat
berbuat kesalahan dalam dua hal. Pertama,
modifikasi-modifikasinya dapat mengahalagi pemahaman kalau pelajar semakin maju
dalam bahasa itu. Kedua, pelajar
mungkin menginterpretasikannya sebagai suatu tanda jarak sosial dan rasa rendah
diri, dan merasa terhina dengan terlihat berbicara dalam logat khusus seperti
ini.
Pemerolehan
bahasa spontan mencakup belajar di dalam interaksi sosial dan melaui interaksi
sosial. Pelajar diharuskan mempergunakan sebaik-baiknya segala pengertahuan
yang tersedia padanya agar dapat memahami apa yang dikatakan orang lain dan
mengahasilkan ucapan-ucapannya sendiri. Hal itu ditunjang obeservasi. Pertama, pelajar disajikan dengan lebih
banyak masukan linguistic dengan frekuensi yang meningkat dan dalam jangkauan
yang lebih luas. Kedua, mendapat
lebih banyak kesempatan menguji produksi ujarannya sendiri berlawanan dengan
yang datang dari lingkungannya untuk membuktikan hipotesis-hipotesisnya
mengenai struktur bahasa sasaran. Pelajar cenderung berbeda dalam tingkat
pemonitoran linguistik mereka.
3.
Struktur
Proses Belajar Bahasa dan Kecepatan Pemerolehan Bahasa
Pateda (1990: 100)
menyebutkan bahwa pada proses belajar bahasa pertama memiliki ciri-ciri yaitu
belajar tidak sengaja, berlangsung sejak lahir, lingkungan keluarga sangat
menentukan, motivasi ada karena kebutuhan, banyak waktu untuk mencoba bahasa,
dan pelajar memiliki waktu banyak untuk berkomunikasi. Pada proses belajara
bahasa kedua terdapat ciri-ciri, sebagai berikut:
1.
Belajar bahasa disengaja, misalnya
karena menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah,
2.
Berlangsung setelah pelajar berada di
sekolah,
3.
Lingkungan sekolah sangat menentukan,
4.
Motivasi pelajar untuk mempelajarinya
tidak sekuat mempelajari bahasa pertama. Motivasi itu misalnya ingin memperoleh
nilai baik pada waktu ulangan atau ujian.
5.
Waktu terbatas,
6.
Pelajar tidak mempunyai banyak waktu
untuk mempraktikkan bahasa yang dipelajarinya,
7.
Bahasa pertama mempengaruhi proses
belajar bahasa kedua,
8.
Untuk kritis mempelajari bahasa kedua
kadang-kadang telah lewat sehingga proses belajar bahasa kedua berlangsung
lama,
9.
Disediakan alat bantu belajar, dan
10.
Ada orang yang mengorganisasikannya,
yakni guru dan sekolah.
Ada 10 strategi dalam proses belajar bahasa
yaitu strategi; perencanaan, aktif, empatik, formal, eksperimental, semantic,
praktis, komunikasi, strategi monitor, dan strategi internalisasi. Ciri pelajar yang baik ialah mau menjadi
seorang penerka yang baik, suka berkomunikasi, kadang-kadang tidak malu tehadap
kesalahan dan siap memperbaikinya, suka mengikuti perkembangan bahasa, praktis,
mengikuti ujarannya dan membadingkannya dengan ujaran yang baku, dan mengikuti
perubahan makna karena konteks sosial.
BAB IV
Beberapa Isu Dalam Proses
Pemerolehan Bahasa
1.
Peranan
bahasa Pertama dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Bahasa
pertama mempunyai pengaruh positif yang sangat besar terhadap bahasa kedua 4 –
12 % dari kesalahan-kesalahan dalam tatabahasa yang dibuat oleh anak-anak
berasal dari bahasa pertama, 8 – 23 % merupakan kesalahan-kesalahan yang dibuat
oleh orang dewasa. Mayoritas kesalahan-kesalahan tersebut lebih banyak dalam
susunan kata daripada dalam morfologi. Bidang yang sangat kuat dipengaruhi oleh
bahasa pertama adalah pengucapan. Anak-anak memproses sistem bunyi baru melalui
pola-pola fonologis bahasa pertama pada tahap-tahap awal pemerolehan bahasa
kedua tetapi secara berangsur-angsur mereka bersandar pada sistem bahasa kedua
dan aksen atau tekanan (logat) mereka pun menghilang.
Pengaruh bahasa pertama terlihat paling kuat
dalam susunan kata kompleks dan dalam terjemahan frase-frase, kata demi kata.
Pengaruh bahasa pertama lebih lemah dalam morfem terikat. Pengaruh bahasa
pertama paling kuat atau besar dalam lingkungan-lingkungan pemerolehan yang
rendah. Pengaruh bahasa pertama bukanlah merupakan hambatan atau runtangan
proaktif, tetapi hanyalah merupakan akibat dari penyajian yang justru
diperbolehkan menyajikan sesuatu sebelum dia mempelajari perilaku baru itu.
Pengobatan atau penyembuhan bagi interferensi hanyalah penyembuhan bagi
ketidaktahuan belajar. Bahasa pertama dapat merupakan pengganti bahasa kedua
yang telah diperoleh sebagai unsur inisiator atau pemrakarsa ucapan apabila
pelajar bahasa kedua harus menghasilkannya dalam bahasa sasaran, tetapi tidak
cukup kemampuan bahasa kedua yang telah diperolehnya. Pengaruh bahasa pertama
merupakan petunjuk bagi pemerolehan yang rendah. Anak-anak mungkin membangun
atau membentuk kompetensi yang diperoleh melalui masukan. Kurangnya desakan
penghasilan ujaran lisan akan menguntungkan bagi anak-anak dan orang dewasa menelaah
bahasa kedua dalam latar-latar formal.
Pengaruh
bahasa epertama dapat dianggap sebagai suatu yang tidak alamiah. Seseorang
dapat saja menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua tanpa suatu
pemerolehan. Jika bahasa kedua berbeda dengan bahasa pertama, model monitor
dapat dipakai dengan menambahkan beberapa morfologi dan melakukannya dengan
sebaik-baiknya untuk memperbaiki susunan kata. Pemerolehan bahasa mungkin
pelan-pelan, tetapi dalam jangka panjang akan lebih bermanfaat kalau bahasa
dipergunakan untuk maksud dan tujuan komunikasi.
2.
Input
dan Interaksi dalam Proses Pemerolehan Bahasa
Seorang
anak akan dihadapkan pada dua penguasaan bahasa dalam mempelajari bahasa kedua
(B2) yaitu memperoleh bahasa pertama sedangkan ia sendiri akan berupaya mempelajari
bahasa kedua. Bahasa antara adalah bentuk ujaran yang belum atau tidak ada
modelnya pada kedua bahasa baik bahasa pertama maupun bahasa kedua, bahasa
bersumber maupun bahasa sasaran, bahasa ibu maupun bahasa yang dipelajari.
Ideosinkresi adalah bentuk ujaran yang tidak terdapat dalam model bahasa kedua
atau yang dipelajari.
Proses
belajar bahasa berkembang melaui beberapa tahap. Tahap kompetensi perantara
disebut kompetensi transisional atau bahasa antara. Setiap bahasa antara
mewakili satu tahap kompetensi yang berisi bentuk-bentuk yang benar maupun yang
tidak benar dalam bahasa yang dipelajari. Ada empat kompetensi yakni kompetensi
formal, kompetensi semantic, kompetensi berkomunikasi, dan kreativitas. Keempat
kompetensi itu dikuasai secara bertahap. Ada empat pemerolehan dalam belajar
bahasa yaitu bunyi bahasa, menguasai bentuk kata, menguasai kalimat dan
menguasai makna. Empat pemerolehan ini lama-kelamaan berlangsung secara
otomatis dan pada akhirnya digunakan siswa untuk berkomunikasi dalam kehidupan
sehari-hari. Ada tiga persoalan utama proses belajar yaitu 1) perbedaan antara
dominasi yang tak dapat dihindari, terdapat di dalam otak siswa yang
mempelajari bahasa pertama dengan ketidakcakapan siswa menguasai bahasa kedua,
2) pilihan implisit-eksplisit, 3) dilemma komunikasi dengan kode.
Terdapat
hipotesis yang disusun dalam bagian-bagian yang berhubungan dengan komponen
pemerolehan bahasa kedua yang ditinjau dari segi umum, situasi, masukan, perbedaan-perbedaan pelajar, proses-proses
pelajar dan keluaran linguistik. Hipotesis segi umum ini membicarakan
perihal bagaimana pemerolehan bahasa kedua, apakah mengikuti perkembangan
alamiah atau tidak, dan apakah ada keragaman di antaranya, bagaimana secara
vertikal dan bagaimana secara horizontal. Hipotesis segi situasi membicarakan
faktor-faktor situasional yaitu siapa ditujukan kepada siapa, kapan, tentang
apa, dan dimana serta apakah mempengaruhi urutan perkembangan satau tidak.
Hipotesis perbedaan pelajar menyangkut personalitas elajar bahasa baik itu
sikap, persepsi, minat mupun motivasi, serta apakah bahasa pertama dapat
mempengaruhi perkembangan pemerolehan. Hipotesis proses-proses pelajar
membicarakan bahasa antara, keuniversalan bahasa serta korolasi. Hipotesis
keluaran linguistik menyangkut sifat keluaran linguistik, apakah formulaic atau
tidak, kreatif atau monoton, bervariabel atau tidak, dinamis atau statis,
sistemis atau sistematis.
3. Kedudukan Bahasa Indonesia
dalam Pemerolahan Bahasa Anak Indonesia
Bahasa
Indonesia merupakan salah satu bahasa yang dipergunakan oleh rakyat Indonesia
untuk berkomunikasi secara lisan maupun lisan. Dalam Undang-undang Dasar 1945,
Bab XV, pasal 36 disebutkan bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa
nasional dan bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pemersatu
suku-suku bangsa di Indonesia, lambang kebanggaan dan identitas nasional, dan
alat penghubung antarbudaya dan antardaerah (Halim, 1976).
Kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tadi seluruhnya dapat dikaitkan dengan
pemerolehan bahasa oleh anak Indonesia. Dalam kedudukannya sebagai bahasa
resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai :
1. Bahasa
resmi dalam kepentingan kenegaraan,
2. Alat
penguhubung pada tingkat nasional,
3. Bahasa
pengantar di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, dan
4. Alat
pengembangan kebudayaan, ilmu dan teknologi modern (Halim, 1976).
Bahasa
Indonesia merupakan mata pelajaran pokok di SD, SMTP, SMTA, bahkan sampai di
perguruan tinggi. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980 tercatat bahwa bahasa
Indonesia dipakai sehari-hari di rumah hanya oleh 12% penduduk Indonesia,
bahasa Jawa 40%, sedangkan bahasa Sunda 15%. Di antara 146 juta jiwa penduduk
Indonesia hanya 12% yang berbahasa Indonesia sehari-hari. Golongan umur 25-49
tahun merupakan kelompok umur yang tertinggi dalam pemakaian bahasa Indonesia,
kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 4.103.00 jiwa, sedangkan di kalangan
anaka-anaka, kelompo 0-4 hanya sebesar 2.692.000 jiwa dan kelompok umur 5-9
tahun sebesar 2.446.000 jiwa.
Berdasarkan
jenis kelamin penduduk, jumlah penduduk kota, laki-laki, dapat berbahasa
Indonesia sebesar 81% sedangkan yang perempuan 84%. Di desa, jumlah penduduk
laki-laki, dapat berbahasa Indonesia adalah 60% sedangkan yang perempuan adalah
49%.
DKI
Jakarta menduduki peringkat terbaik dalam kenirakarsaan, yaitu hanya 5%,
sedangkan propinsi Nusa Tenggar Barat sebesar 53%. Perolehan bahasa Indonesia
dapat dilihat dari beberapan sudut yaitu sebagai bahasa pertama atau bahasa
kedua, oleh orang dewasa atau anak-anak, di kota besar atau di desa.
BAB
V
Empirisme Dalam Teori Belajar
Bahasa Kedua
Para
penganut teori empiris berpangkal pada keyakinan bahwa kemampuan belajar bahasa
sebenarnya hanya merupakan sebagian dari kemampuan belajar pada umumnya. Mereka
beranggapan bahwa kemampuan itu bukan merupakan kemampuan bawaan. Selain itu
mereka menekankan pentingnya faktor lingkungan dan pengalaman nyata dalam
perkembangan kemampuan tersebut. Pandangan itu
juga bertalian dengan keyakinan yang bertahan sejak zaman dahulu, bahwa
proses belajar pada manusia banyak persamaannya dengan proses belajar pada
binatang (Chastain dalam Hadley, 1993). Pandangan ini diperkuat oleh tulisan
Darwin Origin of the Species pada tahun 1859 yang pada awal abad XX memacu
berbagai eksperimen yang dilakukan oleh penganut aliran perilaku
(behaviorisme). Melalui percobaan-percobaan dengan binatang-binatang kecil
seperti tikus, kelinci, anjing, dan sebagainya, mereka sampai pada kesimpulan
bahwa belajar adalah proses S-R (Stumulus-Response).
Menurut
psikologi S.R semua perilaku pada hakikatnya merupakan respons terhadap
stimulus yang didapat. Teori itu mengatakan bahwa perilaku tersebut terjadi
dalam rangkaian sebab-akibat dan rangkaian asosiatif. Dengan demikian, belajar
berupa belajar asosiatif atau pembentukan kebiasaan, yang terjadi karena adanya
hubungan (asosiasi) yang berulang-ulang antara stimulus dan response (Helgard
1962 dalam Hadley, 1993). Pembentukan kebiasaan yang disebut pengkondisian
“Conditioning” ini diduga mencakup :
1. Pengkondisian
klasik; hubungan antara stimulus (rangsangan) terkondisi dengan responsenya
diperkuat berulang-ulang dengan pemberian stimulus berkondisi yang dibarengi
dengan stimulus tak terkondisi.
2. Pengkondisian
operant/pengkondisian instrumental:
Respons terhadap stimulus dipelajari meskipun biasanya tidak merupakan respons
alamiah terhadap stimulus.
3. Proses
belajar respos jamak (multiple-response learning): binatang percobaan
mempelajari serangkaian perilaku secara berurutan dan selalu dalam urutan yang
sama seperti pada binatang sirkus.
Berdasarkan
percobaan-percobaan yang dilakukan, para penganut behaviorisme menyimpulkan
bahwa suatu organisme dikondisikan untuk memberikan respons terhadap stimulus.
Karena semua belajar berkondisi dank arena cara belajar manusia sama dengan
binatang, maka proses belajar pada manusia juga dikondisikan dengan cara yang
sama seperti proses belajar pada binatang.
Kaum
behavioris pada dasarnya berpendapat bahwa belajar bahasa merupakan sebagian
belajar pada umumnya; manusia tidak dibekali potensi bawaan untuk belajar
bahasa. Hadley menyimpulkan teori behavioris sebagai berikut :
1. Proses
belajar manusia sama dengan proses belajar pada binatang,
2. Pikiran
anak merupakan tabula rasa. Tidak ada
kemampuan belajar bahasa yang merupakan bawaan lahir,
3. Data
psikologis dibatasi pada yang dapat diamati,
4. Semua
perilaku merupakan respons terhadap stimulus. Perilaku terbentuk dalam
rangkaian asosiatif; sebenarnya semua perilaku bersifat asosiatif.
5. Pengkondisian
mencakup penguatan asosiasi antara stimulus dan respons melalui ganjaran (reinforcement).
Teori
behaviorisme itu sejalan dengan oendapat para linguis yang menyatakan bahwa
bahasa kedua harus dipelajari melalui tubian dan latihan yang luas. Teori
behaviorisme ini digabungkan dengan pandangan ilmu bahasa stuktural melandasi
metodologi pengajaran bahasa audiolingual
untuk bahasa kedua.
Pandangan
behaviorisme mendapat kecam tajam dari kelompok yang dikenal sebagai kaum
rasionalis. Chomsky misalnya menganggap bahwa perilaku bahasa itu jauh lebih
rumit daripada suatu hubungan S-R, dan bahwa teori Skinner tidak mampu
menjelaskan kreativitas anak dalam megembangkan bahasanya. Kaum behavioris
tidak dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana misalnya, seorang anak
berdasarkan pada penlitian terhadap manusia.
Kelompok
behaviorisme itu tidak pernah melakukan penelitian terhadap bahasa anak,
apalagi berkaitan dengan pemerolehan bahasa kedua. Selain McLaughlin juga
mengemukakan bahwa dalam kenyataannya proses peniruan dan penguatan tidak
terlalu berperan di dalam perkembangan bahasa anak.
BAB VI
Rasionalisme Dalam Teori Belajar
Bahasa Kedua
Berlawanan dengan aliran behaviorisme adalah aliran
rasionalisme. Aliran ini sering disebut sebagai aliran nativisme, mentalisme,
dan kognitivisme. Salah seorang ilmuan bahasa yang terkenal dalam aliran ini
ialah Chomsky ia menolak pandangan kaum behavioris tentang belajar bahasa.
Pendangannya lebih dekat dengan pandangan aliran psikologi kognitif.
A. Teori
Tata Bahasa Universal
McNeil menyatakan bahwa LAD (language acquisition device) merupakan
bawaan lahir dan meliputi: 1) kemampuan membedakan bunyi bahasa dan bunyi-bunyi
lain; 2) kemampuan menyusus bahasa menjadi sistem struktur; 3) pengetahuan
tentang yang mungkin/tidak mungkin diterima dalam sistem linguistik; 4)
kemampuan untuk membangun sistem paling sederhana yang mungkin berdasarkan data
yang tersedia. Dengan “LAD” itu anak-anak kecil dalam waktu yang singkat dengan
masukan terbatas mampu menguasai bahasa.
Teori tata bahasa universal mencakup
seperangkat elemen gramatikal atau prinsip-prinsip yang secara alami ada pada
semua bahasa manusia yang memungkinkan anak-anak mengorganisasikan masukan yang
diterimanya dengan cara tertentu. Prinsip-prinsip tersebut merupakan produk
“LAD” dn mencakupi prinsip-prinsip universal substantif serta prinsip universal formal. Prinsip substantif terdiri dari unsur-unsur bahasa seperti
fonem dan kategori sintaksis (kata benda, kata kerja). Prinsip formal bersifat
abstrak yang membatasi aturan-aturan atau pilihan yang dapat digunakan
anak-anak untuk membentuk suatu tata bahasa.
Menurut Chomsky seperti yang diuraikan
oleh Hadley, prinsip-prinsip universal yang “ditemukan” oleh anak-anak
membentuk suatu “tata bahasa inti” yang sama dalam semua bahasa. Sebaliknya,
“tata bahasa peripheral” terdiri dari aturan-aturan yang tidak ditentukan oleh
tata bahasa universal, melainkan yang mungkin berasal dari bentuk bahasa yang
lebih tua, diserap dari bahasa lain, atau mungkin juga terbentuk pada waktu
tertentu.
Menurut McLaughlin aturan-aturan tata
bahasa inti lebih mudah dipahami daripada aturan-aturan tata bahasa peripheral,
karena turan-aturan tata bahasa peripheral berada di luar program bawaan
lahirnya. Hadley mengakui bahwa teori tata bahasa universal Chomsky serta
pendekatan-pendekatan yang berasal dari teori tersebut sangat kompleks untuk
dipahami. Ia menyimpulkan ciri-ciri teori itu sebagai berikut :
1. Bahasa
adalah kemampuan manusia, yang diturunkan secara genetis,
2. Belajar
bahasa ditentukan oleh mekanisme biologis,
3. Bentuk
tertinggi pada setiap bahasa manusia adalah fungsi tata bahasa universal, yaitu
seperangkat prinsip yang abstrak yang merupakan bawaan lahir,
4. Setiap
bahasa memiliki “parameter”, yang “latarnya” dipelajari berdasarkan data
linguistik,
5. Ada
tata “bahasa inti” yang sama dengan prinsip-prinsip universal, dan tata bahasa
periferal yang mencakupi unsur-unsur yang tidak sama dengan tata bahasa
universal, dan
6. Tata
bahasa inti secara umum dianggap lebih mudah dipahami daripada tata bahasa
periferal. (Hadley, 1993:50)
B. Teori
Monitor
Stephen Krashen yang juga termasuk
kelompok rasionalis, mengemukakan model belajar bahasa yang disebut “Model
Monitor”, secara ringkas Teori Krashen dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Orang
dewasa dapat mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua melaui proses
pemerolehan dan proses belajar,
2. Pemerolehan,
sama dengan proses yang dialami anak-anak dalam menguasai bahasa ibunya,
3. Jika
pemerolehan terjadi secara alamiah, urutan unsur-unsur gramatikal dapat
diramalkan.
4. Belajar
hanya berfungsi sebagai editor apa yang dihasilkan, dan hanya dapat enjadi
monitor suatu unjuk lalu bahasa disertai kondisi yang memadai,
5. Struktur
baru hanya dapat dikuasi bila ada “masukan-masukan yang dapat dipahami”, dan
6. Pemerolehan
hanya akan terjadi jika ada motivasi serta konsep diri dan tidak ada kecemasan.
C. Teori
Kognitif
Pendekatan-pendekatan kognitif terhadapa
pemerolehan bahasa termasuk pandangan “interaksionis” yang memadukan
faktor-faktor internal dan eksternal. Teori tata bahasa universal mengemukakan
peranan kemampuan linguistik bawaan dalam pemerolehan bahasa dan menyatakan
bahwa ada kemapuan-kemampuan spesifik untuk belajar bahasa yang hanya dimiliki
spesies manusia. McLaughlin mengemukakan karakteristik teori kognitif sebagai
berikut:
1. Psikologi
kognitif lebih menekankan proses mengetahui “knowing” daripad merespons dan
membahas studi tentang prses mental yang terjadi dalam pemerolehan dan
penggunaan pengetahuan,
2. Pendekatan
kognitif menekankan struktur atau organisasi mental,
3. Theori
kognitif memandang pelajar lebih sebagai seseorang yang bertindak, membentuk,
dan merancang daripada sekedar menerima rangsangan (stimulus) dari
lingkungannya.
Menurut pandangan/teori kognitif,
belajar adalah pemerolehan keterampilan kognitif yang kompleks. Dalam belajar
berbahasa untuk mendapatkan kelancaran yang memadai sub-sub keterampilan tugas
yang kompleks itu harus dilatihkan, diotomatisasikan, diintegrasikab, dan
di-organisasikan ke dalam sistem aturan, yang terus-menerus direstrukturisasi.
D. Model
Holodinamik untuk Belajar Bahasa
Model yang dikemukakan oleh Renzo Titone
(1981) ini merupakan sintesi antara ciri-ciri aliran behaviorisme dan
kognitivisme. Titone memaparkan perbedaan antara proses pemerolehan B1 dan
proses B2 sebagai berikut :
1. Pemerolehan
B1 terjadi secara semesta (spontan) dan tidak dirancang, sedangkan proses
belajar B2 disengaja dan dirancang,
2. Pemerolehan
B1 disertai dengan penguatan primer (misalnya kebutuhan mengkomunikasikan
keinginan dan kehendak), sedangkan B2 diikuti dengan penguatan yang lebih lemah
seperti anggukan dan angka,
3. Pemerolehan
B1 menunjukkan hasil yang nyata dari
tidak memilki kemapuan sama sekali sampai meiliki taraf kemampuan tertentu;
pada waktu belajar B2 pelajar sudah memenuhi B1.
4. Pelajar
B2 telah memiliki kemampuan membedakan bunyi-bunyi dan struktur, sedangkan
dalam pemerolehan bahasa anak kecil belajar dari awal mula.
5. Pelajar
B2 telah memiliki persepsi dan sikap berhadapan dengan budaya lain, yang
mungkin berpengarub terhadap proses belajarnya.
BAB VII
Hipotesis – Hipotesis Krashen Dan
Terrel
Teori
Learning-acquisition, natural order, monitor, input, dan affective filter
bukanlah milik Krashen dan Terrell saja. Banyak ahli bahasa yang telah
mencurahkan perhatiannya teori pemerolehan bahasa dengan menggunakan hipotesis
tersebut. tetapi dalam pembahasan ini yang akan diungkapkan hanyalah Krashen
dan Terrell. Krashen dan Terrell menguraikan lima hipotesis yang disebut
diatas. Tetapi pada bagian awal buku Krashen itu ia menguraikan secara sepintas
lalu teori-teori pemerolehan bahasa sebelum periode penerapan teorinya. Krashen
juga mengikuti bahasa teori-teori pemerolehan bahasa sebelumnya sama sekali
tidak berarti tunaguna.
·
Hipotesis Pemerolehan-Pembelajaran
(Acquisition-Learning)
Menurut Krashen
orang dewasa mempunyai dua macam cara untuk memperoleh bahasa kedua atau bahasa
target, yaitu 1) melalui pemerolehan, 2) melaui belajar atau pembelajaran.
Pemerolehan dapat terjadi dalam pergaulan karena bahasa target dipakai sebagai
alat komunikasi. Menurut Krashen, pemerolehan bahasa kedua (B2) tidak dapat
dilaksanakan dalam situasi formal. Pendidikan formal tidak dapat menghasilkan
pemerolehan bahasa. Tetapi pendidikan bahasa secara formal berfungsi sebagai
monitor karena hanya dipelajari dalam pendidikan formal kaidah-kaidah bahasa.
·
Hipotesis Urutan Alamiah
Prinsip
hipotesis ini ialah bahwa struktur gramatikal bahasa target diperoleh dalam
urutan yang dapat diprediksi. Pernyataan Krashen tentang ini ialah “Hipotesis
urutan almiah tidak menyatakan bahwa setiap penerima akan menerima struktur
gramatikal dalam urutan tepat sama.
·
Hipotesis Monitor
Hipotesis ini
menyatakan hasil dari belajar dengan sadar hanya berguna untuk kebutuhan
monitor. Menurut Krashen, ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar monitor
bermanfaat.
a. Pembicara
(pelaku) harus mempunyai cukup waktu untuk mengulangi percakapan dan memikirkan
kaidah,
b. Pembicara
harus memikirkan actor-unsur yang benar, bentuk, dan juga pesan yang
diinformasikan,
c. Pembicara
harus mengetahui kaidah.
·
Hipotesis Input
Menurut
hipotesis ini, kita memperoleh bahasa apabila input yang diterima lebih besar
daripada yang kita miliki. Rumus yang diikuti dalam proses input ini ialah
perpindahan dari tahap I ( I = tingkat kompetensi pembelajar) ketahap i+1 (i+1
= tingkat yang secara langsung mengikuti I selama mengikuti urutan-urutan
alamiah) dengan memahami isi bahasa i+1. Dalam kata lain, apabila input memadai
dan dipahami, makasa kita berada pada tahap i+1.
·
Hipotesis Filter Apektif
Hipotesis ini
menyatakan bahwa variable sikap memegang peranan penting dalam pemerolehan
bahasa kedua, tetapi tidak perlu untuk pembelajaran bahasa. Dulay dan Burt
(1977) mengatakan bahwa actor sikap dapat berhubungan dengan pemerolehan bahasa
kedua dalam cara berikut. Pembicara dengan sikap optimal mempunyai filter
afektif yang rendah. Filter yang rendah artinya pembicara lebih terbuka
terhadap input dan input masuk lebih dalam. Dengan perkataan lain, input akan
masuk lebih dalam jika: 1) pembelajar diberi motivasi dan sikap positif, 2)
pembelajar memperbesar filter yang rendah. Yang kedua ini praktis dilaksanakan
di dalam kelas dengan tujuan pedagogis agar pembelajar secara kreatif
menciptakan situasi filter rendah menjadi lebih lebar.
BAB VIII
Peranan
Input Di Lingkungan Kelas Dalam Pemerolehan Bahasa Kedua (Pbk)
A.
Peranan
Input di Lingkungan Kelas dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
1. Pemerolehan Bahasa Kedua
·
Pengertian
Pemerolehan
Bahasa kedua (PBK) pada diri pembelajar dapat terjadi melalui bermacam cara,
pada usia berapa saja, serta pada tingkat kebahasaan yang berlainan. Burt dan
Dulay (1982) memberikan definisi tentang PBK sebagai suatu proses pembelajarab
bahasa yang lain, setelah pembelajar memiliki dasar bahasa pertamanya. Sering
adanya kekkaburan konsep tentang ‘acquisition’
dan ‘learning’, Yule (1985) memberikan
gambaran yang dapat membedakan kedua istilah tersebut. Istilah pemerolehan
mengacu pada pengertian, bahwa tersedianya bahasa yang digunakan, berkenaan
dengan perkembangan kemampuan berbahasa seseorang secara bertahap dalam situasi
komunikatif. Sedangkan istilah belajar mengacu pada proses menerapkan
kaidah-kaidah tata bahasa dan kosakata yang dilakukan seseorang, untuk mencapai
tujuan tertentu.
·
Faktor-faktor yang berpengaruh pada PBK
Secara garis ada
dua faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua sesorang. Yaitu yang
berkaitan dengan apa yang terjadi di dalam diri pembelajar dan apa yang terjadi
di luar diri pembelajar. Ellis menggolongkan factor yang terdapat pada
pembelajar individu menjadi dua, yaitu faktor pribadi (personal faktor) dan faktor umum (general faktor).
Factor-faktor
pribadi ini kenyataannya agak sulit untuk diteliti. Namun Schumman dan Schumman
(1977) mencoba dan menyatakan bahwa penelitian dapat dilakukan dengan meneliti
buku harian (diary) pembelajar. Tiga
faktor pribadi yang dianggap penting untuk diketahui adalah adanya keaktifan
kelas (dynamic group), sikap terhadap
guru dan materi pelajaran, serta teknik belajar sendiri. Teknik ini dapat
dilakukan secara konvensional atau melalui kontak langsung dengan penutur
aslinya. Selain factor pribadi, factor umum berperan untuk menentukan bagaimana
seseorang memperoleh bahasanya. Factor yang dimaksud meliputi umur, bakat atau
intelegensi, kemampuan kognitif, sikap atau motivasi, serta kepribadian
pembelajar.
2.
Peranan
Input di Lingkungan Kelas dalam PBK
·
Pengertian input di lingkungan
kelas
Istilah input
diartikan sebagai ‘sesuatu’ yang diperoleh sebagai hasil adanya interaksi. Input dapat diperoleh secara lisan
maupun tertulis. Jadi input di
lingkungan kelas berarti input yang
pemerolehannya hanya melalui kegiatan di dalam kelas. Tiga pandangan tentang
input masing-masing diberikan oleh kaum behavior, kaum nativis, kaum
interaksionis. Pandangan behavior menganggap pembelajar sebagai ‘suatu mesin
penghasil bahasa’, sehingga lingkungan linguistic dipandang sebagai faktor
penentu yang sangat penting. Pandangan nativis menganggap pembelajar sebagai
pembangkit mekanisme internal. Lain pula halnya dengan pandangan interaksionis
yang menganggap factor mekanisme internal pembelajar dan factor lingkungan
linguistic bersama-sama berperan pennting dalam proses pemerolehan bahasa.
·
Teori empirik penunjang
Krashen (1981)
menyatakan secara tegas bahwa PBK seseorang bergantung pada input yang telah
dipahami. Dengan kata lain, pembelajar bisa berbahasa kedua, karena telah
mendapat input yang bisa dimengerti maknanya. Yang dimaksud dengan hipotesis
ini ialah bahwa pembelajar memperoleh bahasa dengan mengerti input yang lebih
sukar sedikit dari tingkat kemampuan berbahasa yang telah diperoleh. Teori yang
kedua yang disajikan adalah teori wacana. Teori ini berpandangan bahwa sebagai
partisipan, pembelajar memiliki kemampuan untuk memahami maksud komunikasi
dengan pihak lain, serta pembelajar dapa memperoleh bahasa target. Secara
rinci, Hatch (1978) mengemukakan bahwa :
-
Perkembangan unsur-unsur sintaksis
bahasa kedua mengikuti rute alamiah,
-
Penutur asli mengatur tuturannya agar
dapat dipahami oleh partisipan yang bukan penutur asli,
-
Strategi cakapan digunakan untuk
mendatangkan input, dan
-
Proses pemerolehan bahasa kedua perlu
dikaitkan dengan konstruksi wacana sebagai pembentuk interlanguage talk.
·
Teacher talk sebagai input
Teacher
talk
(bahasa guru) didefinisikan oleh Ellis (1984) sebagai bentuk/tipe bahasa yang khusus,
dan dipergunakan oleh guru ketika menyampaikan materi bahasa kedua kepada
pembelajar di kelas. Gaies (1979) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
tuturan/ujaran yang digunakan guru lebih sederhana pada bentuk sintaksisnya,
ketika mereka menyampaikan input kepada pembelajar daripada ketika mereka
berbicara antarsesamanya (guru). Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang
telah dilakukan, dapa disimpulkan bahwa bahasa guru mengandung penyesuaian
formal yang dilakukan pada setiap tingkatan bahasa, modifikasi bahasa yang non
gramatikal tidak dilakukan, juga terjadinya penyesuaian interaksional.
·
Peranan input di lingkungan kelas dalam
PBK
Hacth (1978)
mengatakan bahwa pemerolehan merupakan hasil dari kebiasaan dalam percakapan
yang disusun oleh pembelajar. Hal ini tercermin dengan adanya pola-pola ujaran
yang pada kesempatan tertentu, misalnya pada awal pembelajaran, dipergunakan
untuk berkomunikasi, ferkuensi kemunculan bentuk gramatika khusus yang secara
pemerolehan didapat oleh pembelajar, tersedianya input yang dapat dipahami.
B.
Peranan
Lingkungan Formal dalam Pemerolehan Bahasa Kedua
1. Pengertian dan Ciri Lingkungan
Formal
Lingkungan
formal adalah salah satu lingkungan belajar bahasa yang memfokuskan pada
penguasaan kaidah atau aturan-aturan bahasa secara sadar dalam bahasa target.
Penyadaran akan kaidah bahasa target ini dapat dilakukan secara deduktif atau secara induktif. Pengenalan secara deduktif,
maksudnya pembelajar diberi eksplanasi tentang kaidah-kaidah bahasa target,
baru kemudian setelah pembelajar memiliki penguasaan yang cukup, mereka dibawa
kepada suasana praktek. Krashen menegaskan, bahwa lingkungan formal memiliki
ciri-ciri sebagai berikut ;
-
Bersifat artificial,
-
Di dalamnya pembelajar bahasa diarahkan
untuk melakukan aktivitas bahasa yang menampilkan kaidah-kaidah bahasa yang
telah dipelajarinya, dan diberikan balikan oleh guru yang berupa pelacakan
kesalahan atau koreksi terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar, dan
-
Merupakan bagian dari keseluruhan
pengajaran bahasa di sekolah.
2. Peranan Lingkungan Formal dalam PB2
Ellis
(1986: Glossary) menjelaskan, bahwa urutan perkembangan dalam pemerolehan
bahasa adalah urutan tataran yang harus dilalui oleh pembelajar bahasa untuk
menguasai bahasa target. Ia membagib urutan perkembangan ini menjadu dua macam,
yaitu order of development dan sequence of develofment. Teori monitor
Krashen menyatakan, bahwa hasil dari belajar secara sadar hanya dapat dipakai
untuk memonitor. Kelancaran menggunakan B2 tidak dihasilkan oleh: (i)
pengetahuan formal yang dimiliki oleh pembelajar tentang B2, (ii) aturan-aturan
yang dipelajari pembelajar di dalam kelas, atau (iii) aturan-aturan yang
dipelajari pembelajar dari buku-buku tata bahasa.
3. Isu-Isu Tentang Peranan Lingkungan
dalam PB2
Ada
dua isi pokok yang selama ini santer berkembang dalam pemerolehan dan
pengajaran B2. Pertama, isu tentang
‘peranan pengetahuan gramatika (tentang kaidah bahasa)’. Selama ini berkembang
beranggapan, bahwa pengetahuan gramatika merupakan factor utama dalam belajar
bahasa. Pengikut pandangan ini berpendapat, bahwa dengan menguasai
kaidah-kaidah bahasa target pembelajar bahasa akan dengan sendirinya menguasai
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa target.
C.
Peranan
Lingkungan Informal dalam Pemerolehan Bahasa Kedua
1. Pengertian Lingkungan Bahasa
Yang
dimaksud dengan lingkungan bahasa
adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar sehubungan dengan
B2 yang sedang dipelajari. Yang tergolong lingkungan bahasa adalah situasi di
restoran atau di toko, percakapan dengan kawan-kawan, ketika menonton televise,
saat membaca koran, dalam proses belajar-mengajar dikelas, membaca buku-buku
pelajaran, dan sebagainya. Lingkungan
bahasa dapat dibedakan menjadi dua macam yang satu sama lain saling berbeda,
yaitu: 1) lingkungan artificial atau
lingkungan formal, dijumpai dalam proses be;ajar-mengajar dikelas, dan 2)
lingkungan natural atau lingkungan
informal.
Lebih
jauh Krashen berpendapat bahwa untuk menguasai B2 pembelajar dapat menggunakan
dua cara, yaitu melalui proses pembelajaran atau learning dan melalui proses pemerolehan atau acquisition.
Pembelajaran merupakan proses yang didasari dan bertitik berat pada perhatian
pembelajar terhadap bentuk bahasa atau struktur.
Ada
empat hal dari lingkungan bahasa yang berpengaruh dalam PB2, yaitu :
1.
Sifat alami bahasa sasaran,
2.
Cara pembelajar dalam komunikasi,
3.
Persediaan acuan kongkret, dan
4.
Model bahasa sasaran.
Dalam
lingkungan bahasa yang bersifat alami tiitk berat komunikasi adalah isi pesan,
bukan bentuk linguistiknya. Belajar bahasa secara alami memperhatikan
performansi yang lebih baik daripada melewati lingkungan formal yang berfokus
pada pemerolehan secara sadar tentang aturan kebahasaan atau pun pemakaian
bentuk-bentuk formal linguistik.
2. Peranan Lingkungan Informal
Terhadap PB2
Lingkungan
informal berperan besar dalam PB2, peranan tersebut menyangkut masalah
kehadiran sebagai bahan input dan sekaligus bahan monitor. Oleh karena banyak
dan beragamnya lingkungan informal, dalam makalah ini hanya dibatasi pada:
lingkungan kawan sebaya, orang tua, bahasa guru, dan bahasa penutur asing.
Kawan
sebaya tampaknya memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan guru dan orang tua
terhadap pembelajaran B2. Milon (1975) dalam penelitiannya menemukan kenyataan
bahwa seorang anak jepang berusia tujuh tahun yang berimigrasi ke Hawai lebih
memahami bahasa Inggris Kreol Hawai yang dipelajari dari rekan sebayanya,
daripada bahasa Inggris standar yang diajarkan oleh gurunya.
Bahasa
guru pada umumnya memiliki ciri penyesuaian secara formal pada seluruh tataran
kebahasaan. Gaies (1977,1979) melihat bahwa ujaran guru menampakkan
penyederhanaan aturan sintaktik ketika dia berbicara di tengah-tengah siswanya.
Henzl (9179) bahkan melihat bahwa bahasa guru pun seringkali disesuaikan dengan
tataran kecakapan murid yang diajak berbicara.
Lingkungan
orang tua tampaknya hanya dibatasi pada peranan bahasa pengasuh terhadap
pemerolehan bahasa pertama. Sedangkan untuk pembelajaran dewasa, kekuatan
bahasa pengasuh ini tentu saja menjadi berkurang, lebih-lebih bila dihubungkan
dengan PB2. Bahasa pengasuh itu mirip dengan bahasa penutur asing. Kemiripan
itu terletak pada ciri-ciri penyederhanaan atau penyesuaian . penyesuaian itu
melibatkan masalah regression, yakni penutur asli bergerak ke tataran yang
lebih rendah untuk mencari tingkat paling tepat bagi penguasaan bahasa sasaran
pembelajar, matching, penutur asli memprakirakan sistem bahasa pembelajar dan
kemudian menirukan bentuk bahasa yang berhasil diidentifikasinya, dan
negotiation, penutur asing menyederhanakan dan memperjelas tuturannya sesuai
dengan balikan yang diberikan pembelajar.
BAB
IX
Usia
Dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
A.
PENGARUH
UMUR TERHADAP PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA (PBK)
Pemerolehan
bahasa kedua (PBK) merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Banyak faktor
yang mempengaruhi sesorang dalam PBK. Secara garis besar faktor-faktor itu
dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal. Sehubungan dengan faktor
eksternal Ellis (1986) membedakan atas faktor pribadi dan faktor umum. Yang
termasuk faktor pribadi adalah keaktifan kelas, sikap tehadap guru dan materi
pelajaran, teknik belajar pembelajar. Sedangkan yang termasuk faktor umum
adalah umur, bakat, kemampuan kognitif, motivasi, dan kepribadin.
1.
Umur
dan PBK
Pendapat yang
popular mengenai PBK adalah bahwa anak-anak lebih baik daripada orang dewasa
dalam semua hal di dalam PBK, terutama berkenaan dengan pencapaian hasil akhir.
Anak-anak kelihatan sangat sangkil dalam memperoleh bahasa baru, sedangkan
orang dewasa kelihatan mengalami kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran
bahasa kedua (BK). Gejala yang secara luas teramati ini telah mengarahkan pada
hipotesis mengenai usia optimal atau periode kritis (Lenneberg, 1967) atau periode senditif (Oyama, 1976) untuk
belajar BK.
·
Faktor Biologis
Ahli neurologi ,
Penfield dan Roberts, berargumentasi bahwa kemampuan anaka yang lebih besar
untuk belajar bahasa dapat dijelaskan dengan plastisitas yang lebih besar dari
otak kanan anak itu. Plastisitas otak itu ditemukan berkurang bila usia
bertambah. Penfield dan Roberts (1959) menunjukkan bukti bahwa anak-anak
mempunyai kapasitas menonjol untuk mempelajari kembali keterampilan bahasa
setelah kecelakaan atau penyakit yang merusak bidang ujaran dalam hemisfer serebral dominaan. Sedangkan
orang dewasa biasanya tidak mampu memperoleh kembali ujaran normal. Pada
akhirnya, Penfield dan Roberts menyimpulkan bahwa waktu untuk memulai
persekolahan umum dalam belajar BK, sesuai dengan tuntutan psikologi otak,
adalah antara umur 4-10 tahun.
Lennebert (1967)
berpendapat bahwa belajar bahasa alamiah (hanya dengan pejanan) dapat terjadi
hanya selama periode kritis untuk pemerolehan bahasa, yaitu antara umur 2 tahun
dan pubertas. Sebelum umur 2 tahun belajar bahasa tidak mungkin karena kurang kedewasaan otak. Sedangkan pada saat
pubertas laterisasi fungsi bahasa ke henisfer
dominan telah selesai, yang mengakibatkan hilangnya plastisitas serebral yang
diperlukan untuk belajar bahasa alamiah. Jadi, setelah masa pubertas bahasa
harus diajarkan dan dipelajari melalui usaha sadar dank eras.
·
Faktor Kognitif
Rosansky (1975)
dan Krashen (1975) berpendapat bahwa permulaan tahapan operasi formal menandai permulaan dari akhir periode kritis, pada
tahap ini seseorang mempunyai kemampuan berpikir yang lebih tinggi tentang
konsep abstrak dan hipotetik di samping konsep kongkret, sehingga memungkinkan
seseorang mempunyai kemampuan berpikir secara abstrak tentang bahasa;
mengkonsepkan generalisasi linguistic, memanipulasi kategori-kategori
linguistic, mengkonstruksikan dan mengerti teori tentang bahasa.
·
Faktor Afektif
Taylor (1974)
dan Schuman (1975) menghubungkan ide periode kritis dengan perubahan afektif
yang terjadi pada pembelajar pada permulaan pubertas. Dikatakan bahwa anak-anak
mempunyai kapasitas empatik yang lebih besar daripada orang dewasa. Anak-anak
belum mengembangkan hambatan-hambatan tentang identitas diri, karena itu tidak
takut kedengaran aneh dan siap untuk mengambil resiko ketika bereksperimen
dengan pengetahuan BK-nya yang masih jauh dari sempurna itu. Anak- anak yang
masih muda tidak terhalangi dalam belajar BK dengan sikap negative terhadap
penutur bahasa itu dan anak-anak pada umumnya mempunyai motivasi integrative
yang kuat untuk belajar. Ini berarti bahwa secara karakteristik anak-anak
mendekati tugas belajarnya dengan saringan sosio-afektif yang rendah.
Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa orang dewasa mempunyai beberapa keuntungan
kognitif dan afektif yang lebih baik daripada anak-anak, terutama ketika bahasa
dipelajari dalam situasi kelas dengan banyak penekanan pada kebenaran formal.
Orang dewasa mempunyai kapasitas penyimpanan ingatan yang lebih besar,
kapasitas berpikir analitik yang luas dan dapat mengembangkan motivasi
instrumental yang kuat, yang merupakan kualitas pendorong kea rah belajar yang
sangat sangkil dalam situasi semacam itu.
2.
Pengaruh
Umur terhadap Urutan PBK
Bailey (1974)
meneliti urutan pemerolehan orang dewasa tentang seperangkat morfem gramatikal
yang sama seperti dilakukan oleh Dulay dan Burt. Mereka menemukan bahwa urutan
pemerolehan orang dewasa dan anak-anak dangat mirip. Fathman (1975) mencoba
meneliti hubungan antara umur bersama-sama dengan variabel-variabel yang lain
dan urutan pemerolehan. Dua buah studinya dilaksanakan dengan menggunakan Tes Second Language Oral Production English (SLOPE)
untuk mendapatkan percakapan subjek penelitian.
3.
Pengaruh
Umur terhadap Kecepatan dan Keberhasilan PBK
Kecepatan dan
keberhasilan PBK tampaknya secara kuat dipengaruhi oleh umur pembelajar. Snow
dan Hoefnagel-Hohle (1978) menunjukkan bahwa pembelajar yang maju paling cepat
mungkin adolesen. Dalam studi mereka
dari pembelajar bahasa Belanda ditemukan bahwa orang dewasa (15 tahun ke atas)
belajar jauh lebih cepat daripada anak-anak (6-10 tahun) dan remaja (12-15
tahun). Faktor umur ini hanya berhubungan dengan morfologi dan sintaksis, tidak
untuk pelafalan.
Oyama juga
menyelidiki pengaruh awal usia belajar bahasa dengan kesimpulannya sebagai
berikut :
a. Awal
usia belajar tidak mempengaruhi urutan PBK,
b. Awal
usia belajar mempengaruhi kecepatan belajar, dan
c. Lama
masa pejanan dan awal usia belajar mempengaruhi tingkatan keberhasilan.
Dulay, Burt, dan
Krashen (1982) berdasarkan penelitian mereka dan bandingannya dengan penelitian
Oyama (1976), Seliger, Krashen, Ladefoged (1975), Asher dan Gracia (1969),
menyimpulkan sebagai berikut :
a. Anak-anak
kelihatan lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan sistem
fonologi bahasa baru, bahkan banyak di antara mereka yang mencapai aksen
seperti penutur asli.
b. Pada
akhirnya anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam PBK, tetapi tidak
selalu lebih cepat. Orang dewasa tampaknya maju lebih cepat daripada anak-anak
dalam bidang morfologi dan sintaksis, paling tidak pada permulaan masa belajar.
B.
FAKTOR
USIA DALAM PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
Pendapat yang
mengatakan bahwa pembelajar anak-anak lebih berhasil ketimbang pembelajar
dewasa dalam pemerolehan bahasa kedua (PBK) masih dipertanaykan. Hasil
penelitian tertnyata menunjukkan bahwa dalam beberapa hal justru pembelajar
dewasalah yang lebih berhasil ketimbang pembelajar anak-anak.
1. Batas
Pembelajar Dewasa dan Anak-Anak
Orang sulit
menentukan pada usia berapa seseorang dikatakan memasuki usia dewasa dan
meninggalkan masa kanak-kananknya. Ada beberapa usul untuk menentukan batas
kedua jenis pembelajar tersebut.
a. Dari
Segi Biologis
Batas usia
optimal belajar bahasa secara biologis ini dikemukakan oleh Penfield dan
Roberts (1959). Mereka mengatakan bahwa belajar bahasa alamiah hanya dengan ‘exposure’. Hal ini dapat terjadi hanya
selama periode kritis yakni sekitar usia dua tahun sampai pubertas.
b. Dari
Segi Perkembangan Kognitif
Pendukung
pendekatan ini adalah Rosansky (1975) dan Krashen (1975). Mereka percaya bahwa
tahap ‘berpikir formal’ dalam istilah piaget, menandai permulaan dari akhir
periode kritis.
c. Dari
Segi Saringan Afektif
Tailor dan
Schuman (1975) menghubungkan periode kritis dengan perubahan afektif yang
terjadi pada si pembelajar pada permulaan pubertas.
2. Pemerolehan
Bahasa Kedua
Tarigan
menyatakan bahwa berdasarkan kelaziman maka digunakan istilah PBK kalau
pemerolehan bermula pada atau sesudah tiga atau empat tahun. Sehingga nanti
pada pembahasan akan dijumpai PBK untuk anak-anak dan PBK untuk pembelajar
dewasa. Ellis (1986) memberikan definisi yang jelas tentang PBK yaitu, proses
yang dilakukan baik sadar maupun tidak untuk memperoleh bahasa yang berbeda
dengan bahasa ibu. Pemerolehan bahasa kedua adalah proses yang amt rumit,
karena banyak variabel yang mempengaruhinya.
BAB
X
Motivasi
Dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Dalam
pemerolehan bahasa terdapat banyak factor yang turut mempengaruhi hasil dan
tujuannya. Salah satu faktor itu adalah motivasi, yang secara khusus akah
dibahas disini. Untuk menghindari penyimpangan dalam pembahasan maka ruang
lingkup pembahasan ini dibatasi hanya pada faktor motivasi dalam pemerolehan
bahasa kedua.
A.
Pemerolehan
bahasa kedua
1. Pengertian
Pemerolehan
bahasa adalah suatu proses yang dipergunakan oleh pembelajar bahasa kedua untuk
menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit ataupun
teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi,
dengan ucapan-ucapan orang tua atau penutur awal sampai dia memilih berdasarkan
suatu ukuran atau takaran penelitian bahasa yang paling baik serta yang
sederhana dari bahasa tersebut. Bialystok (1978) dan Stovick (1980) mengatakan
bahwa pemerolehan bisa didapati dari pembelajaran dan sebaliknya. Perbedaan
pemerolehan dan pembelajaran adalah pemerolehan untuk memproduksi wacana secara
lisan maupun tertulis sedangkan pembelajaran hanya berfungsi untuk memperhalus
produksi dengan memonitor, mengecek dan memperbaikinya. Selanjutnya dikatakan
bahwa pemerolehan adalah suatu proses dibawah sadar seperti pada pemerolehan
bahasa pertama.
2. Faktor-faktor
yang berpengaruh dalam PBK
Banyak factor
yang mempengaruhi sesorang dalam PBK di antaranya adalah faktor-faktor diri
pembelajar. Ellis (1986) menggolongkan faktor-faktor tersebut menjadi dua, yaitu:
1. Faktor-faktor
pribadi (personal factor)
2. Faktor-faktor umum (general factor)
B.
Motivasi
dalam proses pemerolehan bahasa kedua
1. Pengertian
Motivasi
Beberapa
pengertian motivasi diberikan oleh beberapa ahli secara khusus dalam
hubungannya dengan proses PBK. Hebb menyatakan bahwa motivasi adalah suatu
kemudi yang berupa energy (tenaga) yang dapat menggerakkan suatu tindakan.
Lebih lanjut Lambert (1972) menyatakan motivasi adalah alas an untuk mencapai
tujuan secara keseluruhan. Douglas Brown (1981) memberikan pengertian motivasi
sebagai dorongan dari dalam dorongan sesaat, emosi atau keinginan yang
menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu.
2. Jenis-jenis
dan fungsi motivasi dalam PBK
·
Jenis-jenis motivasi
Motivasi
dapat digolongkan dalam 2 jenis, yaitu:
a. Motivasi
instrinsik
Secara umum motivasi
instrinsik ini adalah keinginan seseorang untuk mencapai tujuan yang bukan
pemberian dari luar (no external reward).
b. Motivasi
ekstrinsik
Ini merupakan motivasi
yang ditimbulkan oleh faktor eksternal yaitu di luar dari seseorang. Hasil
penelitian Gardner dan Lambert (1959,1965,1972) di Kanada tentang sikap dan
motivasi dalam belajar bahasa kedua memberikan kesimpulan bahwa intelegensi dan
bakat bukan merupakan faktor tunggal tetapi masih ada lagi variabelyang mungkin
member sumbangan keberhasilan dalam PBK yaitu sikap dan motivasi.
·
Fungsi Motivasi
Secara
umum, fungsi motivasi dapat dikelompokkan sebagai berikut :
-
Mendorong manusia untuk berbuat sesuatu,
-
Menentukan arah perbuatan,dan
-
Menyeleksi perbuatan.
Fungsi-fungsi
tersebut secara umum didasarkan pada motivasi Maslow dengan 5 hirarki
kebutuhannya yaitu : kebutuhan manusia akan makan, rasa aman, kasih sayang,
penghargaan, dan aktualisasi diri. Hirarki kebutuhan Maslow ini secara umum
dimiliki oleh semua manusia yang hidup.
3. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Motivasi dalam PBK
Faktor-faktor yang berpengaruh pada
motivasi dalam PBK ada 2 kelompok yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor internal yang mempengaruhi motivasi adalah sebagai berikut :
a. Pandangan
seseorang tentang bahasa yang dipelajari,dan
b. Sikap
seseorang terhadap bahasa yang dipelajari.
Faktor eksternal yang
mempengaruhi motivasi seperti di bawah ini :
a. Faktor
orang tua yang digolongkan pada peran aktif dan peran pasif terhadap anaknya yang
belajar bahasa,
b. Lingkungan
sosial tempat pembelajar itu berada, dan
c. Faktor
sosial psikologis lingkungan pembelajar bahasa.
4. Peran
Motivasi dama Proses PBK
Dari hasil-hasil penelitian yang
telah diadakan dapatlah disimpulkan bahwa ada 3 bentuk motivasi yang
berpengaruh dalam PBK, yaitu :
-
Motivasi integratif,
-
Motivasi instrumental, dan
-
Identifikasi kelompok sosial.
Gardner, dkk. (1976) mengadakan
penelitian di Montreal pada tingkat 7-11 (kelas bahasa Perancis). Mereka
menemukan bahwa ukuran dari motivasi integrative cenderung untuk korelasi yang
lebih tinggi dengan ukuran komunikasi lisan daripada motivasi instrumental.
Motivasi integratif lebih berperan dari motivasi instrumental tida bisa
diterima secara bulat, karena terdapat beberapa hasil penelitian yang menolak
argument itu. Spolsky (1969), dari hasil penelitiannya terhadap mahasiswa asing
di Amerika, menyatakan bahwa questioner yang
digunakannya dalam studi di Kanada tidak cocok dipakai di Amerika karena subjek
penelitian ini tidak ingin menerima motivasi yang menyarankan mereka untuk
meninggalkan negaranya selamanya.
BAB
XI
Strategi
Komunikasi Pemerolehan Bahasa Kedua
Berbagai
strategi yang sering digunakan pembelajar untuk mengatasi problema komunikasi
tersebut. salah satunya adalah strategi komunikasi, yang selain berorientasi
pada problema komunikasi, juga merupakan jalan pintas karena mampu member
penyelesaian dengan segera. Hal ini berbeda dari strategi-strategi lain yang
juga berorientasi pada problema komunikasi.
A.
Strategi Komunikasi
1.
Pengertian Strategi Komunikasi
Menurut Corder
(1983), yang dimaksud dengan strategi komunikasi adalah suatu teknik sistematis
yang digunakan pembelajar untuk mengekspresikan arti, ketika ia dihadapkan pada
kesulitan. Tarone (1983) mendefinisikannya dalam dua versi seperti ini :
-
Strategi komunikasi adalah upaya
pembelajar secara sistematis untuk mengekspresikan arti dalam bahasa target,
ketika ia tidak dapat membentuk atau memilih kaidah bahasa target dengan tepat.
-
Strategi komunikasi adalah upaya sadar
pembelajar untuk mengkomunikasikan pikirannya, ketika tata bahasa antara (interlanguage) tidak memadai untuk
menyampaikan pikiran tersebut.
2.
Jenis-Jenis Strategi Komunikasi
Faerch dan
Kasper (1983) membagi strategi komunikasi menjadi dua bagian besar, yaitu
strategi reduksi (pengurangan) dan strategi pencapaian.
a.
Strategi Reduksi (pengurangan)
- Formal
Pembelajar
komunikasi dengan sistem fonologi, mrfologi, sintaksis, serta leksikon yang
dikurangi dengan maksud agar terhindar dari ketidaklancaran atau kesalahan.
- Fungsional
Pembelajar
berkomunikasi dengan cara mengurangi tujuan komunikasinya, baik secara global
maupun local, agar terhindar dari problem komunikasi.
b.
Strategi Pencapaian
Strategi
pencapaian digunakan pembelajar bahasa kedua sebagai upaya untuk mengatasi
problem komunikasi dengan mengembangkan sumber-sumber komunikasi.
Ø Strategi
Kompensasi
1.
Ahli Kode
Kemungkinan
melakukan ahli kode atau meminjam kata-kata dari bahasa pertama atau bahasa
yang lain selalu ada pada setiap pembelajar bahasa kedua.
2.
Strategi Transfer Interlingual
Strategi
ini bisa terjadi pada tataran fonologi, morfologi, siktaksis, pragmatik dan
wacana, dan bisa juga merupakan gabungan ciri-ciri linguistik bahasa antara dan
bahasa pertama. Jika transfer terjadi dari satu butir leksikon ke fonologi atau
morfologi bahasa antara, transfer tersebut dinamakan pengasingan (foregrezig), dan pada level bahasa
antara disebut terjemahan harifah.
3.
Strategi Transfer Inter/Intralingual
Strategi
ini digunakan pembelajar bahasa kedua pada situasi khusus, pada saat bahasa
kedua dianggap mirip dengan bahasa pertamanya.
4.
Strategi Berdasarkan Bahasa Antara
Menurut
Faerch dan Kasper (1983), dalam mengatasi problema kamunikasi kadang-kadang
pembelajar menggunakan strategi berdasarkan kepada bahasa-antara, yaitu dengan
menggeneralisasikan bentuk, membuat paraphrase, mempermainkan kata dan
mengembangkan unsur pokok (restructuning).
5.
Strategi Kerja Sama
Upaya
yang dilakukan pembelajar dalam mengatasi problem komunikasi dengan kompensasi
bisa berupa kerja sama dengan lawan bicaranya.
6.
Strategi non-Linguistik
Cara
lain yang ditempuh pembelajar bahasa kedua untuk mengatasi problema komunikasi,
masih dalam kaitannya dengan strategi menirukan bunyi.
Ø Strategi
Pencarian
Menurut
Ellis (1986), strategi ini dipakai pembelajar jika ia menghadapi kesulitan
dalam menempatkan item atau butir yang dibutuhkan, akan tetapi ia memutuskan
untuk tidak menggunankan strategi kompensasi. Terdapat 3 strategi pencarian
yaitu :
1.
Menunggu sampai item atau butir yang
diperlukan muncul,
2.
Menggunakan bidang semantik,
3.
Menggunakan bahasa lain, pembelajar
menggunakan bentuk item atau butir dalam bahasa lain dan menerjemahkanknya ke
dalam bahasa kedua.
3.
Penggunaan Strategi Komunikasi
Faktor-faktor
yang mempengaruhi penggunaan strategi komunikasi adalah sebagai berikut :
a.
Level Penguasaan
Level
penguasaan bahasa kedua pembelajar mempengaruhi pemilihan dan penggunaan
strategi komunikasi. Strategi reduksi banyak digunakan oleh pembelajar bahasa
kedua pada tahap awal dan akan beralih ke strategi pencapaian apabila
penguasaannya bertambah atau meningkat (Ellis, 1986).
b.
Sumber Problema
Pemilihan
strategi yang dipengaruhi oleh sumber problema tertentu. Ahli kode biasanya
banyak dipilih, apabila bahasa pertama dan bahasa kedua memiliki kemiripan atau
satu rumpun.
c.
Kepribadian
Dikatakan
oleh Tarone (1983) dan Ellis (1986) bahwa faktor kepribadian mungkin
berkorelasi tinggi dengan pemilihan dan penggunaan strategi komunikasi. Hasil
observasi Tarone tentang pendekatan pembelajar untuk bercerita menunjukkan
bahwa ada pembelajar yang berbicara dengan cepat dan mendetail, ada juga yang
teliti dan sering memohon bantuan.
d.
Situasi Belajar
Dalam
menggunakan strategi komunikasi, sangat mungkin pembelajar dipengaruhi oleh
situasi belajarnya. Didalam lingkungan kelas mungkin pembelajar jarang
menggunakannya. Pada situasi belajar yang berfokus pada penggunaan bahasa kedua
yang benar, strategi komunikasi semakin jarang digunakan.
e.
Usia dan Tujuan
Tujuan
khusus yang harus dicapai pembelajar dan pemusatannya, pada komunikasikah atau
pada bahasanyakah, akan mempengaruhi kegramatikalan tuturan pembelajar. Oleh
sebab itu, pemilihan dan penggunaan strategi komunikasi dipengaruhi pula oleh
tujuan.
4.
Peranan Strategi Komunikasi
a.
Sebagai Media Otomatisasi
b.
Sebagai Media Pengembangan Sumber-Sumber
c.
Sebagai Media Mempertahankan
Kelangsungan Percakapan
d.
Sebagai Media Pengembangan Kosakata atau
Gramatika
BAB
XII
Hipotesis-Hipotesis
Pengajaran Bahasa Kedua
A.
Beberapa
Prinsip Pengajaran B2
Hadley berkaitan dengan upaya pengembangan
kemahiran mulai dari tingkat pemula sampai tingkat lanjut atas (superior), mengemukakan beberapa
prinsip yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam pengajaran B2.
Prinsip-prinsip itu dapat digunakan untuk melaksanakan pangajaran dengan tujuan
apa pun. Hadley menyebut prinsip ini sebagai hipotesis, karena prinsip-prinsip
itu masih terus berkembang dan direvisi.
Hipotesis 1
= pelajaran
harus diberi kesempatan untuk berlatih menggunakan bahasa dalam konteks
pemakaian yang ada dalam bahasa target itu.
Orientasi terhadap pencapaian kemahiran
akan memberikan peluang kepada pelajar untu (1) belajar bahasa dalam konteks
pemakaian bahasa, dan (2) menerapkan pengetahuan yang telah diperolehnya untuk
menghadapi situasi kehidupan yang sebenarnya. Penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar dalam semata-mata pelajaran merupakan salah satu
contoh aplikasi prinsip ini. Ada beberapa konsekuensi berdasarkan hipotesis
diatas.
1. Pelajar
harus didorong menyatakan maksudnya dengan B2 sendiri mungkin yaitu segera
setelah mereka mendapat pelajaran keterampilan produktif,
2. Perlu
diciptakan kesempatan untuk melakukan interaksi komunikatif yang aktif di
antarapelajar,
3. Di
kelas yang berorientasi pada kemahiran latihan bahasa kreatif (yang
dipertentangkan dengan latihan konvergen) perlu “digalakkan”,
4. Sedapat
mungkin yang digunakan di dalam pengajaran adalah bahasa yang autentik.
Hipotesis
2
= pelajar
harus diberi kesempatan untuk berlatih menggunakan berbagai fungsi bahasa yang
mungkin diperlukan untuk bergaul dengan orang lain dalam budaya target.
Ada pakar (diantaranya Krashen)
yang berpendapat bahwa “pengajaran tata bahasa” dan “pembetulan kesalhan” tidak
banyak berpengaruh dalam pemerolehan bahasa kedua. Namun banyak pula yang
percaya bahwa pengajaran dan umpan balik memberikan dampak yang positif
terhadap pemerolehan B2.
Higgas dan Clifford dalam Hadley
mengemukakan bahwa sejalan dengan hipotesis “masukan” dari Krashen perlu
dibentuk pula hipotesis “keluaran” : pelajar akan lebih mudah memperoleh
keterampilan prodduktif jika didorong melakukan tugas-tugas yang lebih tinggi
daripada kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu guru dikelas perlu (1)
memberikan masukan yang dipahami disamping pengajaran formal, (2) mendorong
pelajar menyatakan maksudnya dengan bahasa yang lebih tinggi tingkatannya, dan
(3) secara tetap memberikan umpan balik.
Hipotesis
3 =
pengembangan ketepatan bahasa harus digalakkan dalam pengajaran yang berorientasi pada kemahiran.
Hipotesis
4
= pengajaran
perlu bersifat responsive terhadap kebutuhan afektif maupun kognitif pelajar. Di
samping itu, perlu diperhatikan perbedaan mereka dalam kepribadian prefernsi
serta gaya belajarnya.
Hipotesis
5
= pemahaman budaya perlu diupayakan
dengan berbagai cara sehingga pelajar peka terhadap budaya lain serta setiap
untuk hidup lebih harmonis dalam masyarakat B2.
Untuk pengajaran
bahasa Indonesia hipotesis diatas berarti bahwa pelajar melalui bahasa
Indonesia ditimbulkan sebagai warga Negara Indonesia melalui teks misalnya
mereka diperkenalkan dengan budaya daerah lain. Bila kelas terdiri dari pelajar
yang berasal dari berbagai daerah pelajar dapat didorong saling memberikan
informasi tentang budaya daerah asalnya dalam bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
ini daftar pustakanya mana?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus