Pages

Selasa, 21 April 2015

RINGKASAN BUKU TEORI BELAJAR BAHASA LENGKAP

     
     
        
           TEORI BELAJAR BAHASA



Disusun  Oleh :
                                       Nama                  : Muh.Harjum Nurdin
                                       NIM                    : 1351040007
                                       Kelas                   : A  Pendidikan


                    
BAB I
Pemerolehan Bahasa Pertama
1.      Pengertian Pemerolehan Bahasa Pertama

Kebebasan berbahasa dimulai sekitar satu tahun di kala anak-anak menggunakan kata-kata lepas atau terpisah sari sandi kebahasaan untuk mencapai aneka tujuan social mereka. Kedua mengatakan bahwa pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, social, dan kognitif pralinguistik.

Klein (1986:4) menyebutkan bahwa pemerolehan bahasa pertama sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif dan social anak. ada dua kesimpulan penting mengenai perkembangan kognitif yakni :
a.       Jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik.
b.      Pembicara haurus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kala, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya.
Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia. Kemampuan berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahsa, topografi konteks yang khusus untuk bahasa dan lain-lain.
Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi smeua anak normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya sedikit saja dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain. Bahasa bersifat universal, setiap bahasa dilandasi unsure semantic, sintaksis, dan fonologi yang universal.
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-presatasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungan dengan pembentukan identitas sosial. Melalui bahasa khusus bahasa pertama, seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. Bahasa pertama menjadi salah satu saran untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, pendirian, dsb. Dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gambling.
Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya, sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan smepurna. Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tatabahasanya pun terbentuk.
2.      Masa Waktu dan Perkembangan Pemerolehan Bahasa Pertama

Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan objek dan tindakan. Pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan btempat, dan kata yang menyatakan pemerian.

Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kacil merupakan indicator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik daripada urutan usianya. Walaupun perkembangan bahasa anak sangat unik namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain yaitu semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek dengan orang.

Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari pembuatan bunyi menuju kea rah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan ata dua bunyi dapat dikenali sejak tahun pertama yaitu 1) periode vokalisasi dan prameraban serta 2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perceptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan noninsani, antara bunyi yang berekspresi  marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan suara orang dewasa, antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka. Perkembangan ujaran kombnatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembangan interogatif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.

Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih rekleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nayata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Selama masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu pula anak menandai atau memberinya cirri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu. Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan jelas dalam tiga bidang yaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaran linguistik.

3.      Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama

Strategi pertama dalam pemerolehan bahasa adalah strategi meniru. Anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa dapat dianjurkan untuk memegang pedoman : tiru lah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus meskipun ia sudah dapat sempuran melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalah besar. Mungkin ada orang yang berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatu yang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi ada banyak pertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini.

Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, yaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat atau delayed imitation, dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion, reduced imitation.

Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah cirib utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan” sebanyak mungkin hal. Kata papa  misalnya dapat mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi.

Strategi ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan response. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaiman orang lain memberi responsi. Strategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang len=bih banyak yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.

Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalakan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa.





















BAB II
Pemerolehan Bahasa Kedua

1.      Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Krashen (1986: 10-30) mengatakan bahwa pemerolehan (acquisition) bahasa berbeda dengan pembelajaran (learning) bahasa. Perbedaan keduanya barangkali merupakan yang paling fundamental dari semua hipotesis dalam belajar bahasa kedua yaitu  1) hipotesis masukan, 2) hipotesis monitor, 3) hipotesis urutan almiah, 4) hipotesis saringan afektif, dan 5) hipotesis pembedaan pemerolehan dan belajar.
Hipotesis pembedaan pemerolehan dan belajar menyatakan bahwa orang dewasa mempunyai dua cara yang berbeda, berdikari dan mandiri mengenali pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Cara yang pertama ialah pemerolehan bahasa, yang merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak mengembangkan kemapuan dalam bahasa pertama (B1) mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Di sini para pemerolehan bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahsa untuk berkomunikasi. Hasil atau akibat pemerolehan bahasa, kompetensi yang diperoleh juga merupakan bawah sadar. Cara kedua untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua ialah dengan ‘belajar’ bahasa. Menggunakan istilah ‘belajar’ untuk mengacu kepada pengetahuan yang sadar terhadap bahasa kedua, mengetahui kaidah-kaidah, menyadari kaidah-kaidah tersebut dan mampu berbicara mengenai kaidah-kaidah itu. Secara tegas Krashen dan Terrell (1983) membedakan keduanya dala lima hal, yaitu :
1.      Pemerolehan memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama seorang anak penutur asli sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal.
2.      Pemerolehan dilakukan secara bawah sadar sedangkan pembelajaran adalah proses sadar dan disengaja.
3.      Pemerolehan seorang anak atau pelajar bahasa kedua belajar seperti memungut B2 sedangkan dalam pembelajaran seorang pelajar B2 mengetahui B2.
4.      Dalam pemerolehan pengetahuan didapat secara implisit sedangkan dalam pembelajaran pengetahuan didapat secara eksplisit.
5.      Pemerolehan pengajaran secara formal tidak membantu kemampuan anak sedangkan dalam pembelajaran pengajaran secara formal hal itu menolong sekali.
Pandangan pemerolehan bahasa secara alami merupakan pandangan kaum nativis yang diwakili oleh Noam Chomsky, berpendapat bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan. Hakikatnya, pola perkembangan bahasa adalah sama pada berbagai macam bahasa dan budaya. Lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam pemerolehan bahasa. Anak sudah dibekali apa yang disebut peranti penguasaan bahasa (LAD).
Pandangan pemerolehan bahasa secara disuapi adalah pandangan kaum behavoritis yang diwakili oleh B.F> Skinner dan menganggap bahasa sebagai suatu yang kompleks di antar perilaku-perilaku lain. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. Anak hanya merupakan penerima pasif dari tekanan lingkungan. Anak tidak memiliki peran aktif dalam perilaku verbalnya.
Perkembangan bahasa ditentukan oleh lamanya latihan yang disodorkan lingkungannya. Anak dapat menguasai bahasanya melalui peniruan. Belajar bahasa dialami anak melalui prinsip pertalian stimulus-respon. Perkembangan bahasa anak adalah suatu kemajuan yang sembarang hingga mencapai kesempurnaan. Pandangan kognitif diwakili oleh Jean Piaget dan berpendapat bahwa bahasa bukan cirri alamiah yang terpisah melainkan satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif. Lingkungan tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. yang penting adalah interaksi anak dengan lingkungannya.
Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi menjadi dua yaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi sudah dipahami. Materi bergantung pada criteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya. Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua cirri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sitematis yang sengaja.
2.      Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa kedua

Fakta-fakta membuktikan bahwa setiap bayi yang baru lahir sanggup memperoleh suatu bahasa manusia sebab semua bahasa mempunyai struktur dalam (atau universal grammar) yang umum, di samping mempunyai cirri-ciri khusus yang membedakan bahasa yang satu dengan bahasa lain. Cirri-ciri khusus ini mencakup, yaitu 1) keseluruhan kosakata, 2) keseluruhan morfologi, 3) keseluruhan sintaksis, 4) keseluruhan fonologi. Dalam beberapa hal, keputusan untuk menggunakan istilah ‘belajar bahasa kedua’ ataupun ‘pemerolehan bahasa pertama dwibahasa’ semata-mata merupakan masalah preferensi atau pilihan pribadi saja. Berdasarkan pemakaian yang sudah lazim atau umum maka kita menggunakan istilah ‘pemerolehan bahasa kedua’ atau ‘second language acquisition’ adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Ada ‘pemerolehan bahasa kedua anak-anak’ dan ‘pemerolehan bahasa kedua orang dewasa’. Klein (1986) mengajukan sebuah hipotesis yang dinamakannya hipotesis kesamaan esencial (essential identity hypothesis). Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertama (PB1) dengan pemerolehan bahasa kedua (PB2), yaitu salah satu perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial seorang anak sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah perkembangan kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai.Dalam pemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua, apalagi jika pelajarnya sudah melebihi usia 12-14 tahun, jarang ditemui lafal pelajar yang sama dengan lafal penutur asli. Dalam pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butir-butir tata bahasa, misalnya fonem-fonem dan morfem tertentu, kalimat berita, Tanya dan sebagainya. Banyak variabel yang berbeda antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua, dan suatu identitas esensial yang sah antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada meskipun ada persamaan dan perbedaan di antara kedua pemerolehan.
Krashen (1982: 65-67) menyatakan ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, yaitu :
1.      Pengaruh pada urutan kata dank arena proses penerjemahan,
2.      Pengaruh pada morfem terikat,dan
3.      Pengaruh bahasa pertama, walaupun pengaruhnya sangan lemah (kecil).

3.      Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua
Strategi pertama berpegang pada semboyan: Gunakanlah pemahaman nonlinguistic Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa. Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum dalam karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap 1. Brown et al. (1973) menyatakan bahwa panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik daripada indikator usia kronologis atau urutan usianya. Juga morfem rata-rata perucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada singkatan Panjang Ucapan Rata-rata (PUR), dan untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA) yaitu apa-apa yang secara khusus merupakan ucapan terpanjang (dalam morfem) sebagai rentangan PUR atau sebagai butir-butir sentral.
Strategi kedua berpegang pada semboyan: Gunakan apa saja atau segala sesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Sebenarnya anak-anak dihadapkan pada bahasa yang sudah tercakup dengan situasi-situasi tertentu tetapi mereka tidak menyelesaikannya secara bersamaan semua. Mereka mengikuti serta menyelesaikannya secara selektif. Mereka memusatkan perhatian pada aspek-aspek tertentu. Telaah Nelson mengenai perkembangan kosakata permulaan menyarankan bahwa dua ciri kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka yaitu:
1.      Objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan 
2.      Objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil,jam).
Sifat-sifat atau ciri-ciri perceptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vocal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang menarik hati ini, dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam masyarakat bahasa.
Strategi ketiga berpegang pada semboyan: Anggaplah bahwa bahasa dipakai secara ‘referensial’ atau ‘ekspresif’ dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proposisi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama secara proposisional mencakup lebih banya kata yang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif.
Strategi keempat berpegang pada semboyan: Amatilah bagaimana caranya orang lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula.
Strategi kelima berpegang pada semboyan: Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan. Anak berusia sekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, Karena setiap kali dia bertanya ‘apa nih?’ ‘apa tuh?’ maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan ‘mengapa’ pada usia sekitar 3 tahun.



BAB III
Dimensi-Dimensi Pemerolehan Bahasa

1.      Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa
Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa yaitu pemerolehan bahasa pertama yaitu bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang yaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kembali karena alas an tertentu. Ditinju dari segi urutan ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan satu bahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan pemerolehan dua bahasa (di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara luas). Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), dan pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan oleh penuturnya). Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan bahasa asli (merupakan alat komunikasi pensusuk asli), dan pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi keserentakan atau keberuntungan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan (dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan.
Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa yaitu prospensity (kecenderungan), language faculty (kemapuan berbahasa), dan acces (jalan masuk). Komponen kecenderungan ada empat yaitu integrasi sosil, pendidikan, kebutuhan komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi factor ini akan berkurang jika beranjak dari pemerolehan bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam hal-hal tertent, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruh negatif.
  Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial. Kedua factor ini kerapkali berlangsung serta bertindak bersama-sama bahu-membahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekali mengimplikasikan kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif tertentu. Namun kedua faktor itu berbeda. Kedua faktor  tersebut telah dipisahkan secara cermat karena keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-cara yang amat berbeda. Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikatif. Pengaruhnya kepada pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antara integrasi sosial dan kebutuhan komunikatif sebagi dua komponen kecenderungan yang berinteraksi sejalan dengan perbedaan antara motivasi integratif dan motivasi instrumental.  

2.      Kapasitas dan Acces dalam Belajar Bahasa
 Otak memiliki kapasitas untuk menampung rangsangan-rangsangan yang masuk. Tidak semua rangsagan yang diterima akan langsung direkam ke memori yang paling dalam. Ada rangsangan atau informasi yang diterima dan ditempatkan hanya sampai tingkat permukaan otak maupun ditolak. Belajar bahasa kedua harus dapat membedakan variasi-variasi tekanan suara, nada, intonasi, dari satu bahasa ke bahasa lain. Khasanah kosakata anak seringkali didapat karena melibatkan pemahamannya tentang siapa berbicara dengan siapa, di mana, kapan, sambil mengamati gerak tubuh para tokoh dan reaksinya.
Walaupun masukan dalam pemerolehan bahasa bersifat spontan pada umumnya terdiri atas ujaran otentik. Pembicara atau penutur asli mempunyai kecenderungan menyesuaikan bahasanya dengan potensi pelajar yang telah diduga itu. Penyesuaian-penyesuaian belajar bahasa terjadi dalam fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata, dan dalam komunikasi pada umumnya. Dengan bertindak demikian pembicara dapat berbuat kesalahan dalam dua hal. Pertama, modifikasi-modifikasinya dapat mengahalagi pemahaman kalau pelajar semakin maju dalam bahasa itu. Kedua, pelajar mungkin menginterpretasikannya sebagai suatu tanda jarak sosial dan rasa rendah diri, dan merasa terhina dengan terlihat berbicara dalam logat khusus seperti ini.
Pemerolehan bahasa spontan mencakup belajar di dalam interaksi sosial dan melaui interaksi sosial. Pelajar diharuskan mempergunakan sebaik-baiknya segala pengertahuan yang tersedia padanya agar dapat memahami apa yang dikatakan orang lain dan mengahasilkan ucapan-ucapannya sendiri. Hal itu ditunjang obeservasi. Pertama, pelajar disajikan dengan lebih banyak masukan linguistic dengan frekuensi yang meningkat dan dalam jangkauan yang lebih luas. Kedua, mendapat lebih banyak kesempatan menguji produksi ujarannya sendiri berlawanan dengan yang datang dari lingkungannya untuk membuktikan hipotesis-hipotesisnya mengenai struktur bahasa sasaran. Pelajar cenderung berbeda dalam tingkat pemonitoran linguistik mereka.


3.      Struktur Proses Belajar Bahasa dan Kecepatan Pemerolehan Bahasa

Pateda (1990: 100) menyebutkan bahwa pada proses belajar bahasa pertama memiliki ciri-ciri yaitu belajar tidak sengaja, berlangsung sejak lahir, lingkungan keluarga sangat menentukan, motivasi ada karena kebutuhan, banyak waktu untuk mencoba bahasa, dan pelajar memiliki waktu banyak untuk berkomunikasi. Pada proses belajara bahasa kedua terdapat ciri-ciri, sebagai berikut:
1.      Belajar bahasa disengaja, misalnya karena menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah,
2.      Berlangsung setelah pelajar berada di sekolah,
3.      Lingkungan sekolah sangat menentukan,
4.      Motivasi pelajar untuk mempelajarinya tidak sekuat mempelajari bahasa pertama. Motivasi itu misalnya ingin memperoleh nilai baik pada waktu ulangan atau ujian.
5.      Waktu terbatas,
6.      Pelajar tidak mempunyai banyak waktu untuk mempraktikkan bahasa yang dipelajarinya,
7.      Bahasa pertama mempengaruhi proses belajar bahasa kedua,
8.      Untuk kritis mempelajari bahasa kedua kadang-kadang telah lewat sehingga proses belajar bahasa kedua berlangsung lama,
9.      Disediakan alat bantu belajar, dan
10.  Ada orang yang mengorganisasikannya, yakni guru dan sekolah.
 Ada 10 strategi dalam proses belajar bahasa yaitu strategi; perencanaan, aktif, empatik, formal, eksperimental, semantic, praktis, komunikasi, strategi monitor, dan strategi internalisasi.  Ciri pelajar yang baik ialah mau menjadi seorang penerka yang baik, suka berkomunikasi, kadang-kadang tidak malu tehadap kesalahan dan siap memperbaikinya, suka mengikuti perkembangan bahasa, praktis, mengikuti ujarannya dan membadingkannya dengan ujaran yang baku, dan mengikuti perubahan makna karena konteks sosial.














BAB IV
Beberapa Isu Dalam Proses Pemerolehan Bahasa

1.      Peranan bahasa Pertama dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Bahasa pertama mempunyai pengaruh positif yang sangat besar terhadap bahasa kedua 4 – 12 % dari kesalahan-kesalahan dalam tatabahasa yang dibuat oleh anak-anak berasal dari bahasa pertama, 8 – 23 % merupakan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh orang dewasa. Mayoritas kesalahan-kesalahan tersebut lebih banyak dalam susunan kata daripada dalam morfologi. Bidang yang sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa pertama adalah pengucapan. Anak-anak memproses sistem bunyi baru melalui pola-pola fonologis bahasa pertama pada tahap-tahap awal pemerolehan bahasa kedua tetapi secara berangsur-angsur mereka bersandar pada sistem bahasa kedua dan aksen atau tekanan (logat) mereka pun menghilang.
 Pengaruh bahasa pertama terlihat paling kuat dalam susunan kata kompleks dan dalam terjemahan frase-frase, kata demi kata. Pengaruh bahasa pertama lebih lemah dalam morfem terikat. Pengaruh bahasa pertama paling kuat atau besar dalam lingkungan-lingkungan pemerolehan yang rendah. Pengaruh bahasa pertama bukanlah merupakan hambatan atau runtangan proaktif, tetapi hanyalah merupakan akibat dari penyajian yang justru diperbolehkan menyajikan sesuatu sebelum dia mempelajari perilaku baru itu. Pengobatan atau penyembuhan bagi interferensi hanyalah penyembuhan bagi ketidaktahuan belajar. Bahasa pertama dapat merupakan pengganti bahasa kedua yang telah diperoleh sebagai unsur inisiator atau pemrakarsa ucapan apabila pelajar bahasa kedua harus menghasilkannya dalam bahasa sasaran, tetapi tidak cukup kemampuan bahasa kedua yang telah diperolehnya. Pengaruh bahasa pertama merupakan petunjuk bagi pemerolehan yang rendah. Anak-anak mungkin membangun atau membentuk kompetensi yang diperoleh melalui masukan. Kurangnya desakan penghasilan ujaran lisan akan menguntungkan bagi anak-anak dan orang dewasa menelaah bahasa kedua dalam latar-latar formal.
Pengaruh bahasa epertama dapat dianggap sebagai suatu yang tidak alamiah. Seseorang dapat saja menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua tanpa suatu pemerolehan. Jika bahasa kedua berbeda dengan bahasa pertama, model monitor dapat dipakai dengan menambahkan beberapa morfologi dan melakukannya dengan sebaik-baiknya untuk memperbaiki susunan kata. Pemerolehan bahasa mungkin pelan-pelan, tetapi dalam jangka panjang akan lebih bermanfaat kalau bahasa dipergunakan untuk maksud dan tujuan komunikasi.


2.      Input dan Interaksi dalam Proses Pemerolehan Bahasa

Seorang anak akan dihadapkan pada dua penguasaan bahasa dalam mempelajari bahasa kedua (B2) yaitu memperoleh bahasa pertama sedangkan ia sendiri akan berupaya mempelajari bahasa kedua. Bahasa antara adalah bentuk ujaran yang belum atau tidak ada modelnya pada kedua bahasa baik bahasa pertama maupun bahasa kedua, bahasa bersumber maupun bahasa sasaran, bahasa ibu maupun bahasa yang dipelajari. Ideosinkresi adalah bentuk ujaran yang tidak terdapat dalam model bahasa kedua atau yang dipelajari.
Proses belajar bahasa berkembang melaui beberapa tahap. Tahap kompetensi perantara disebut kompetensi transisional atau bahasa antara. Setiap bahasa antara mewakili satu tahap kompetensi yang berisi bentuk-bentuk yang benar maupun yang tidak benar dalam bahasa yang dipelajari. Ada empat kompetensi yakni kompetensi formal, kompetensi semantic, kompetensi berkomunikasi, dan kreativitas. Keempat kompetensi itu dikuasai secara bertahap. Ada empat pemerolehan dalam belajar bahasa yaitu bunyi bahasa, menguasai bentuk kata, menguasai kalimat dan menguasai makna. Empat pemerolehan ini lama-kelamaan berlangsung secara otomatis dan pada akhirnya digunakan siswa untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Ada tiga persoalan utama proses belajar yaitu 1) perbedaan antara dominasi yang tak dapat dihindari, terdapat di dalam otak siswa yang mempelajari bahasa pertama dengan ketidakcakapan siswa menguasai bahasa kedua, 2) pilihan implisit-eksplisit, 3) dilemma komunikasi dengan kode.
Terdapat hipotesis yang disusun dalam bagian-bagian yang berhubungan dengan komponen pemerolehan bahasa kedua yang ditinjau dari segi umum, situasi, masukan, perbedaan-perbedaan pelajar, proses-proses pelajar dan keluaran linguistik. Hipotesis segi umum ini membicarakan perihal bagaimana pemerolehan bahasa kedua, apakah mengikuti perkembangan alamiah atau tidak, dan apakah ada keragaman di antaranya, bagaimana secara vertikal dan bagaimana secara horizontal. Hipotesis segi situasi membicarakan faktor-faktor situasional yaitu siapa ditujukan kepada siapa, kapan, tentang apa, dan dimana serta apakah mempengaruhi urutan perkembangan satau tidak. Hipotesis perbedaan pelajar menyangkut personalitas elajar bahasa baik itu sikap, persepsi, minat mupun motivasi, serta apakah bahasa pertama dapat mempengaruhi perkembangan pemerolehan. Hipotesis proses-proses pelajar membicarakan bahasa antara, keuniversalan bahasa serta korolasi. Hipotesis keluaran linguistik menyangkut sifat keluaran linguistik, apakah formulaic atau tidak, kreatif atau monoton, bervariabel atau tidak, dinamis atau statis, sistemis atau sistematis.

3.      Kedudukan Bahasa Indonesia dalam  Pemerolahan Bahasa Anak  Indonesia

Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang dipergunakan oleh rakyat Indonesia untuk berkomunikasi secara lisan maupun lisan. Dalam Undang-undang Dasar 1945, Bab XV, pasal 36 disebutkan bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pemersatu suku-suku bangsa di Indonesia, lambang kebanggaan dan identitas nasional, dan alat penghubung antarbudaya dan antardaerah (Halim, 1976).
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tadi seluruhnya dapat dikaitkan dengan pemerolehan bahasa oleh anak Indonesia. Dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai :
1.      Bahasa resmi dalam kepentingan kenegaraan,
2.      Alat penguhubung pada tingkat nasional,
3.      Bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, dan
4.      Alat pengembangan kebudayaan, ilmu dan teknologi modern (Halim, 1976).

Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran pokok di SD, SMTP, SMTA, bahkan sampai di perguruan tinggi. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980 tercatat bahwa bahasa Indonesia dipakai sehari-hari di rumah hanya oleh 12% penduduk Indonesia, bahasa Jawa 40%, sedangkan bahasa Sunda 15%. Di antara 146 juta jiwa penduduk Indonesia hanya 12% yang berbahasa Indonesia sehari-hari. Golongan umur 25-49 tahun merupakan kelompok umur yang tertinggi dalam pemakaian bahasa Indonesia, kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 4.103.00 jiwa, sedangkan di kalangan anaka-anaka, kelompo 0-4 hanya sebesar 2.692.000 jiwa dan kelompok umur 5-9 tahun sebesar 2.446.000 jiwa.
Berdasarkan jenis kelamin penduduk, jumlah penduduk kota, laki-laki, dapat berbahasa Indonesia sebesar 81% sedangkan yang perempuan 84%. Di desa, jumlah penduduk laki-laki, dapat berbahasa Indonesia adalah 60% sedangkan yang perempuan adalah 49%.
DKI Jakarta menduduki peringkat terbaik dalam kenirakarsaan, yaitu hanya 5%, sedangkan propinsi Nusa Tenggar Barat sebesar 53%. Perolehan bahasa Indonesia dapat dilihat dari beberapan sudut yaitu sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, oleh orang dewasa atau anak-anak, di kota besar atau di desa.



BAB V
Empirisme Dalam Teori Belajar Bahasa Kedua

Para penganut teori empiris berpangkal pada keyakinan bahwa kemampuan belajar bahasa sebenarnya hanya merupakan sebagian dari kemampuan belajar pada umumnya. Mereka beranggapan bahwa kemampuan itu bukan merupakan kemampuan bawaan. Selain itu mereka menekankan pentingnya faktor lingkungan dan pengalaman nyata dalam perkembangan kemampuan tersebut. Pandangan itu  juga bertalian dengan keyakinan yang bertahan sejak zaman dahulu, bahwa proses belajar pada manusia banyak persamaannya dengan proses belajar pada binatang (Chastain dalam Hadley, 1993). Pandangan ini diperkuat oleh tulisan Darwin Origin of the Species pada tahun 1859 yang pada awal abad XX memacu berbagai eksperimen yang dilakukan oleh penganut aliran perilaku (behaviorisme). Melalui percobaan-percobaan dengan binatang-binatang kecil seperti tikus, kelinci, anjing, dan sebagainya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa belajar adalah proses S-R (Stumulus-Response).
Menurut psikologi S.R semua perilaku pada hakikatnya merupakan respons terhadap stimulus yang didapat. Teori itu mengatakan bahwa perilaku tersebut terjadi dalam rangkaian sebab-akibat dan rangkaian asosiatif. Dengan demikian, belajar berupa belajar asosiatif atau pembentukan kebiasaan, yang terjadi karena adanya hubungan (asosiasi) yang berulang-ulang antara stimulus dan response (Helgard 1962 dalam Hadley, 1993). Pembentukan kebiasaan yang disebut pengkondisian “Conditioning” ini diduga mencakup :
1.      Pengkondisian klasik; hubungan antara stimulus (rangsangan) terkondisi dengan responsenya diperkuat berulang-ulang dengan pemberian stimulus berkondisi yang dibarengi dengan stimulus tak terkondisi.
2.      Pengkondisian operant/pengkondisian instrumental: Respons terhadap stimulus dipelajari meskipun biasanya tidak merupakan respons alamiah terhadap stimulus.
3.      Proses belajar respos jamak (multiple-response learning): binatang percobaan mempelajari serangkaian perilaku secara berurutan dan selalu dalam urutan yang sama seperti pada binatang sirkus.
Berdasarkan percobaan-percobaan yang dilakukan, para penganut behaviorisme menyimpulkan bahwa suatu organisme dikondisikan untuk memberikan respons terhadap stimulus. Karena semua belajar berkondisi dank arena cara belajar manusia sama dengan binatang, maka proses belajar pada manusia juga dikondisikan dengan cara yang sama seperti proses belajar pada binatang.
Kaum behavioris pada dasarnya berpendapat bahwa belajar bahasa merupakan sebagian belajar pada umumnya; manusia tidak dibekali potensi bawaan untuk belajar bahasa. Hadley menyimpulkan teori behavioris sebagai berikut :
1.      Proses belajar manusia sama dengan proses belajar pada binatang,
2.      Pikiran anak merupakan tabula rasa. Tidak ada kemampuan belajar bahasa yang merupakan bawaan lahir,
3.      Data psikologis dibatasi pada yang dapat diamati,
4.      Semua perilaku merupakan respons terhadap stimulus. Perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif; sebenarnya semua perilaku bersifat asosiatif.
5.      Pengkondisian mencakup penguatan asosiasi antara stimulus dan respons melalui ganjaran (reinforcement).
Teori behaviorisme itu sejalan dengan oendapat para linguis yang menyatakan bahwa bahasa kedua harus dipelajari melalui tubian dan latihan yang luas. Teori behaviorisme ini digabungkan dengan pandangan ilmu bahasa stuktural melandasi metodologi pengajaran bahasa audiolingual untuk bahasa kedua.
Pandangan behaviorisme mendapat kecam tajam dari kelompok yang dikenal sebagai kaum rasionalis. Chomsky misalnya menganggap bahwa perilaku bahasa itu jauh lebih rumit daripada suatu hubungan S-R, dan bahwa teori Skinner tidak mampu menjelaskan kreativitas anak dalam megembangkan bahasanya. Kaum behavioris tidak dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana misalnya, seorang anak berdasarkan pada penlitian terhadap manusia.
Kelompok behaviorisme itu tidak pernah melakukan penelitian terhadap bahasa anak, apalagi berkaitan dengan pemerolehan bahasa kedua. Selain McLaughlin juga mengemukakan bahwa dalam kenyataannya proses peniruan dan penguatan tidak terlalu berperan di dalam perkembangan bahasa anak.



BAB VI
Rasionalisme Dalam Teori Belajar Bahasa Kedua

Berlawanan  dengan aliran behaviorisme adalah aliran rasionalisme. Aliran ini sering disebut sebagai aliran nativisme, mentalisme, dan kognitivisme. Salah seorang ilmuan bahasa yang terkenal dalam aliran ini ialah Chomsky ia menolak pandangan kaum behavioris tentang belajar bahasa. Pendangannya lebih dekat dengan pandangan aliran psikologi kognitif.

A.    Teori Tata Bahasa Universal
McNeil menyatakan bahwa LAD (language acquisition device) merupakan bawaan lahir dan meliputi: 1) kemampuan membedakan bunyi bahasa dan bunyi-bunyi lain; 2) kemampuan menyusus bahasa menjadi sistem struktur; 3) pengetahuan tentang yang mungkin/tidak mungkin diterima dalam sistem linguistik; 4) kemampuan untuk membangun sistem paling sederhana yang mungkin berdasarkan data yang tersedia. Dengan “LAD” itu anak-anak kecil dalam waktu yang singkat dengan masukan terbatas mampu menguasai bahasa.
Teori tata bahasa universal mencakup seperangkat elemen gramatikal atau prinsip-prinsip yang secara alami ada pada semua bahasa manusia yang memungkinkan anak-anak mengorganisasikan masukan yang diterimanya dengan cara tertentu. Prinsip-prinsip tersebut merupakan produk “LAD” dn mencakupi prinsip-prinsip universal substantif serta prinsip universal formal. Prinsip substantif terdiri dari unsur-unsur bahasa seperti fonem dan kategori sintaksis (kata benda, kata kerja). Prinsip formal bersifat abstrak yang membatasi aturan-aturan atau pilihan yang dapat digunakan anak-anak untuk membentuk suatu tata bahasa.
Menurut Chomsky seperti yang diuraikan oleh Hadley, prinsip-prinsip universal yang “ditemukan” oleh anak-anak membentuk suatu “tata bahasa inti” yang sama dalam semua bahasa. Sebaliknya, “tata bahasa peripheral” terdiri dari aturan-aturan yang tidak ditentukan oleh tata bahasa universal, melainkan yang mungkin berasal dari bentuk bahasa yang lebih tua, diserap dari bahasa lain, atau mungkin juga terbentuk pada waktu tertentu.
Menurut McLaughlin aturan-aturan tata bahasa inti lebih mudah dipahami daripada aturan-aturan tata bahasa peripheral, karena turan-aturan tata bahasa peripheral berada di luar program bawaan lahirnya. Hadley mengakui bahwa teori tata bahasa universal Chomsky serta pendekatan-pendekatan yang berasal dari teori tersebut sangat kompleks untuk dipahami. Ia menyimpulkan ciri-ciri teori itu sebagai berikut :
1.      Bahasa adalah kemampuan manusia, yang diturunkan secara genetis,
2.      Belajar bahasa ditentukan oleh mekanisme biologis,
3.      Bentuk tertinggi pada setiap bahasa manusia adalah fungsi tata bahasa universal, yaitu seperangkat prinsip yang abstrak yang merupakan bawaan lahir,
4.      Setiap bahasa memiliki “parameter”, yang “latarnya” dipelajari berdasarkan data linguistik,
5.      Ada tata “bahasa inti” yang sama dengan prinsip-prinsip universal, dan tata bahasa periferal yang mencakupi unsur-unsur yang tidak sama dengan tata bahasa universal, dan
6.      Tata bahasa inti secara umum dianggap lebih mudah dipahami daripada tata bahasa periferal. (Hadley, 1993:50)

B.     Teori Monitor
Stephen Krashen yang juga termasuk kelompok rasionalis, mengemukakan model belajar bahasa yang disebut “Model Monitor”, secara ringkas Teori Krashen dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Orang dewasa dapat mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua melaui proses pemerolehan dan proses belajar,
2.      Pemerolehan, sama dengan proses yang dialami anak-anak dalam menguasai bahasa ibunya,
3.      Jika pemerolehan terjadi secara alamiah, urutan unsur-unsur gramatikal dapat diramalkan.
4.      Belajar hanya berfungsi sebagai editor apa yang dihasilkan, dan hanya dapat enjadi monitor suatu unjuk lalu bahasa disertai kondisi yang memadai,
5.      Struktur baru hanya dapat dikuasi bila ada “masukan-masukan yang dapat dipahami”, dan
6.      Pemerolehan hanya akan terjadi jika ada motivasi serta konsep diri dan tidak ada kecemasan.

C.     Teori Kognitif
Pendekatan-pendekatan kognitif terhadapa pemerolehan bahasa termasuk pandangan “interaksionis” yang memadukan faktor-faktor internal dan eksternal. Teori tata bahasa universal mengemukakan peranan kemampuan linguistik bawaan dalam pemerolehan bahasa dan menyatakan bahwa ada kemapuan-kemampuan spesifik untuk belajar bahasa yang hanya dimiliki spesies manusia. McLaughlin mengemukakan karakteristik teori kognitif sebagai berikut:
1.      Psikologi kognitif lebih menekankan proses mengetahui “knowing” daripad merespons dan membahas studi tentang prses mental yang terjadi dalam pemerolehan dan penggunaan pengetahuan,
2.      Pendekatan kognitif menekankan struktur atau organisasi mental,
3.      Theori kognitif memandang pelajar lebih sebagai seseorang yang bertindak, membentuk, dan merancang daripada sekedar menerima rangsangan (stimulus) dari lingkungannya.
Menurut pandangan/teori kognitif, belajar adalah pemerolehan keterampilan kognitif yang kompleks. Dalam belajar berbahasa untuk mendapatkan kelancaran yang memadai sub-sub keterampilan tugas yang kompleks itu harus dilatihkan, diotomatisasikan, diintegrasikab, dan di-organisasikan ke dalam sistem aturan, yang terus-menerus direstrukturisasi.

D.    Model Holodinamik untuk Belajar Bahasa
Model yang dikemukakan oleh Renzo Titone (1981) ini merupakan sintesi antara ciri-ciri aliran behaviorisme dan kognitivisme. Titone memaparkan perbedaan antara proses pemerolehan B1 dan proses B2 sebagai berikut :
1.      Pemerolehan B1 terjadi secara semesta (spontan) dan tidak dirancang, sedangkan proses belajar B2 disengaja dan dirancang,
2.      Pemerolehan B1 disertai dengan penguatan primer (misalnya kebutuhan mengkomunikasikan keinginan dan kehendak), sedangkan B2 diikuti dengan penguatan yang lebih lemah seperti anggukan dan angka,
3.      Pemerolehan B1 menunjukkan hasil yang nyata  dari tidak memilki kemapuan sama sekali sampai meiliki taraf kemampuan tertentu; pada waktu belajar B2 pelajar sudah memenuhi B1.
4.      Pelajar B2 telah memiliki kemampuan membedakan bunyi-bunyi dan struktur, sedangkan dalam pemerolehan bahasa anak kecil belajar dari awal mula.
5.      Pelajar B2 telah memiliki persepsi dan sikap berhadapan dengan budaya lain, yang mungkin berpengarub terhadap proses belajarnya.








BAB VII
Hipotesis – Hipotesis Krashen Dan Terrel
Teori Learning-acquisition, natural order, monitor, input, dan affective filter bukanlah milik Krashen dan Terrell saja. Banyak ahli bahasa yang telah mencurahkan perhatiannya teori pemerolehan bahasa dengan menggunakan hipotesis tersebut. tetapi dalam pembahasan ini yang akan diungkapkan hanyalah Krashen dan Terrell. Krashen dan Terrell menguraikan lima hipotesis yang disebut diatas. Tetapi pada bagian awal buku Krashen itu ia menguraikan secara sepintas lalu teori-teori pemerolehan bahasa sebelum periode penerapan teorinya. Krashen juga mengikuti bahasa teori-teori pemerolehan bahasa sebelumnya sama sekali tidak berarti tunaguna.
·         Hipotesis Pemerolehan-Pembelajaran (Acquisition-Learning)

Menurut Krashen orang dewasa mempunyai dua macam cara untuk memperoleh bahasa kedua atau bahasa target, yaitu 1) melalui pemerolehan, 2) melaui belajar atau pembelajaran. Pemerolehan dapat terjadi dalam pergaulan karena bahasa target dipakai sebagai alat komunikasi. Menurut Krashen, pemerolehan bahasa kedua (B2) tidak dapat dilaksanakan dalam situasi formal. Pendidikan formal tidak dapat menghasilkan pemerolehan bahasa. Tetapi pendidikan bahasa secara formal berfungsi sebagai monitor karena hanya dipelajari dalam pendidikan formal kaidah-kaidah bahasa.

·         Hipotesis Urutan Alamiah

Prinsip hipotesis ini ialah bahwa struktur gramatikal bahasa target diperoleh dalam urutan yang dapat diprediksi. Pernyataan Krashen tentang ini ialah “Hipotesis urutan almiah tidak menyatakan bahwa setiap penerima akan menerima struktur gramatikal dalam urutan tepat sama.

·         Hipotesis Monitor

Hipotesis ini menyatakan hasil dari belajar dengan sadar hanya berguna untuk kebutuhan monitor. Menurut Krashen, ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar monitor bermanfaat.
a.       Pembicara (pelaku) harus mempunyai cukup waktu untuk mengulangi percakapan dan memikirkan kaidah,
b.      Pembicara harus memikirkan actor-unsur yang benar, bentuk, dan juga pesan yang diinformasikan,
c.       Pembicara harus mengetahui kaidah.

·         Hipotesis Input
Menurut hipotesis ini, kita memperoleh bahasa apabila input yang diterima lebih besar daripada yang kita miliki. Rumus yang diikuti dalam proses input ini ialah perpindahan dari tahap I ( I = tingkat kompetensi pembelajar) ketahap i+1 (i+1 = tingkat yang secara langsung mengikuti I selama mengikuti urutan-urutan alamiah) dengan memahami isi bahasa i+1. Dalam kata lain, apabila input memadai dan dipahami, makasa kita berada pada tahap i+1.
·         Hipotesis Filter Apektif
Hipotesis ini menyatakan bahwa variable sikap memegang peranan penting dalam pemerolehan bahasa kedua, tetapi tidak perlu untuk pembelajaran bahasa. Dulay dan Burt (1977) mengatakan bahwa actor sikap dapat berhubungan dengan pemerolehan bahasa kedua dalam cara berikut. Pembicara dengan sikap optimal mempunyai filter afektif yang rendah. Filter yang rendah artinya pembicara lebih terbuka terhadap input dan input masuk lebih dalam. Dengan perkataan lain, input akan masuk lebih dalam jika: 1) pembelajar diberi motivasi dan sikap positif, 2) pembelajar memperbesar filter yang rendah. Yang kedua ini praktis dilaksanakan di dalam kelas dengan tujuan pedagogis agar pembelajar secara kreatif menciptakan situasi filter rendah menjadi lebih lebar.

 



BAB VIII
 Peranan Input Di Lingkungan Kelas Dalam Pemerolehan Bahasa Kedua (Pbk)
A.    Peranan Input di Lingkungan Kelas dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua

1.      Pemerolehan Bahasa Kedua
·         Pengertian
Pemerolehan Bahasa kedua (PBK) pada diri pembelajar dapat terjadi melalui bermacam cara, pada usia berapa saja, serta pada tingkat kebahasaan yang berlainan. Burt dan Dulay (1982) memberikan definisi tentang PBK sebagai suatu proses pembelajarab bahasa yang lain, setelah pembelajar memiliki dasar bahasa pertamanya. Sering adanya kekkaburan konsep tentang ‘acquisition’ dan ‘learning’, Yule (1985) memberikan gambaran yang dapat membedakan kedua istilah tersebut. Istilah pemerolehan mengacu pada pengertian, bahwa tersedianya bahasa yang digunakan, berkenaan dengan perkembangan kemampuan berbahasa seseorang secara bertahap dalam situasi komunikatif. Sedangkan istilah belajar mengacu pada proses menerapkan kaidah-kaidah tata bahasa dan kosakata yang dilakukan seseorang, untuk mencapai tujuan tertentu.

·         Faktor-faktor yang berpengaruh pada PBK
Secara garis ada dua faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua sesorang. Yaitu yang berkaitan dengan apa yang terjadi di dalam diri pembelajar dan apa yang terjadi di luar diri pembelajar. Ellis menggolongkan factor yang terdapat pada pembelajar individu menjadi dua, yaitu faktor pribadi (personal faktor) dan faktor umum (general faktor).
Factor-faktor pribadi ini kenyataannya agak sulit untuk diteliti. Namun Schumman dan Schumman (1977) mencoba dan menyatakan bahwa penelitian dapat dilakukan dengan meneliti buku harian (diary) pembelajar. Tiga faktor pribadi yang dianggap penting untuk diketahui adalah adanya keaktifan kelas (dynamic group), sikap terhadap guru dan materi pelajaran, serta teknik belajar sendiri. Teknik ini dapat dilakukan secara konvensional atau melalui kontak langsung dengan penutur aslinya. Selain factor pribadi, factor umum berperan untuk menentukan bagaimana seseorang memperoleh bahasanya. Factor yang dimaksud meliputi umur, bakat atau intelegensi, kemampuan kognitif, sikap atau motivasi, serta kepribadian pembelajar.

2.      Peranan Input di Lingkungan Kelas dalam PBK
·         Pengertian input di lingkungan kelas  

Istilah input diartikan sebagai ‘sesuatu’ yang diperoleh sebagai hasil adanya interaksi. Input dapat diperoleh secara lisan maupun tertulis. Jadi input di lingkungan kelas berarti input yang pemerolehannya hanya melalui kegiatan di dalam kelas. Tiga pandangan tentang input masing-masing diberikan oleh kaum behavior, kaum nativis, kaum interaksionis. Pandangan behavior menganggap pembelajar sebagai ‘suatu mesin penghasil bahasa’, sehingga lingkungan linguistic dipandang sebagai faktor penentu yang sangat penting. Pandangan nativis menganggap pembelajar sebagai pembangkit mekanisme internal. Lain pula halnya dengan pandangan interaksionis yang menganggap factor mekanisme internal pembelajar dan factor lingkungan linguistic bersama-sama berperan pennting dalam proses pemerolehan bahasa.
·         Teori empirik penunjang
Krashen (1981) menyatakan secara tegas bahwa PBK seseorang bergantung pada input yang telah dipahami. Dengan kata lain, pembelajar bisa berbahasa kedua, karena telah mendapat input yang bisa dimengerti maknanya. Yang dimaksud dengan hipotesis ini ialah bahwa pembelajar memperoleh bahasa dengan mengerti input yang lebih sukar sedikit dari tingkat kemampuan berbahasa yang telah diperoleh. Teori yang kedua yang disajikan adalah teori wacana. Teori ini berpandangan bahwa sebagai partisipan, pembelajar memiliki kemampuan untuk memahami maksud komunikasi dengan pihak lain, serta pembelajar dapa memperoleh bahasa target. Secara rinci, Hatch (1978) mengemukakan bahwa :
-          Perkembangan unsur-unsur sintaksis bahasa kedua mengikuti rute alamiah,
-          Penutur asli mengatur tuturannya agar dapat dipahami oleh partisipan yang bukan penutur asli,
-          Strategi cakapan digunakan untuk mendatangkan input, dan
-          Proses pemerolehan bahasa kedua perlu dikaitkan dengan konstruksi wacana sebagai pembentuk interlanguage talk.
·         Teacher talk sebagai input
Teacher talk (bahasa guru) didefinisikan oleh Ellis (1984) sebagai bentuk/tipe bahasa yang khusus, dan dipergunakan oleh guru ketika menyampaikan materi bahasa kedua kepada pembelajar di kelas. Gaies (1979) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tuturan/ujaran yang digunakan guru lebih sederhana pada bentuk sintaksisnya, ketika mereka menyampaikan input kepada pembelajar daripada ketika mereka berbicara antarsesamanya (guru). Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan, dapa disimpulkan bahwa bahasa guru mengandung penyesuaian formal yang dilakukan pada setiap tingkatan bahasa, modifikasi bahasa yang non gramatikal tidak dilakukan, juga terjadinya penyesuaian interaksional.

·         Peranan input di lingkungan kelas dalam PBK
Hacth (1978) mengatakan bahwa pemerolehan merupakan hasil dari kebiasaan dalam percakapan yang disusun oleh pembelajar. Hal ini tercermin dengan adanya pola-pola ujaran yang pada kesempatan tertentu, misalnya pada awal pembelajaran, dipergunakan untuk berkomunikasi, ferkuensi kemunculan bentuk gramatika khusus yang secara pemerolehan didapat oleh pembelajar, tersedianya input yang dapat dipahami.

B.     Peranan Lingkungan Formal dalam Pemerolehan Bahasa Kedua
1.      Pengertian dan Ciri Lingkungan Formal
Lingkungan formal adalah salah satu lingkungan belajar bahasa yang memfokuskan pada penguasaan kaidah atau aturan-aturan bahasa secara sadar dalam bahasa target. Penyadaran akan kaidah bahasa target ini dapat dilakukan secara deduktif atau secara induktif. Pengenalan secara deduktif, maksudnya pembelajar diberi eksplanasi tentang kaidah-kaidah bahasa target, baru kemudian setelah pembelajar memiliki penguasaan yang cukup, mereka dibawa kepada suasana praktek. Krashen menegaskan, bahwa lingkungan formal memiliki ciri-ciri sebagai berikut ;
-          Bersifat artificial,
-          Di dalamnya pembelajar bahasa diarahkan untuk melakukan aktivitas bahasa yang menampilkan kaidah-kaidah bahasa yang telah dipelajarinya, dan diberikan balikan oleh guru yang berupa pelacakan kesalahan atau koreksi terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar, dan
-          Merupakan bagian dari keseluruhan pengajaran bahasa di sekolah.

2.      Peranan Lingkungan Formal dalam PB2
Ellis (1986: Glossary) menjelaskan, bahwa urutan perkembangan dalam pemerolehan bahasa adalah urutan tataran yang harus dilalui oleh pembelajar bahasa untuk menguasai bahasa target. Ia membagib urutan perkembangan ini menjadu dua macam, yaitu order of development dan sequence of develofment. Teori monitor Krashen menyatakan, bahwa hasil dari belajar secara sadar hanya dapat dipakai untuk memonitor. Kelancaran menggunakan B2 tidak dihasilkan oleh: (i) pengetahuan formal yang dimiliki oleh pembelajar tentang B2, (ii) aturan-aturan yang dipelajari pembelajar di dalam kelas, atau (iii) aturan-aturan yang dipelajari pembelajar dari buku-buku tata bahasa.
3.      Isu-Isu Tentang Peranan Lingkungan dalam PB2
Ada dua isi pokok yang selama ini santer berkembang dalam pemerolehan dan pengajaran B2. Pertama, isu tentang ‘peranan pengetahuan gramatika (tentang kaidah bahasa)’. Selama ini berkembang beranggapan, bahwa pengetahuan gramatika merupakan factor utama dalam belajar bahasa. Pengikut pandangan ini berpendapat, bahwa dengan menguasai kaidah-kaidah bahasa target pembelajar bahasa akan dengan sendirinya menguasai kemampuan berkomunikasi dalam bahasa target.
C.    Peranan Lingkungan Informal dalam Pemerolehan Bahasa Kedua

1.      Pengertian Lingkungan Bahasa
Yang dimaksud dengan lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar sehubungan dengan B2 yang sedang dipelajari. Yang tergolong lingkungan bahasa adalah situasi di restoran atau di toko, percakapan dengan kawan-kawan, ketika menonton televise, saat membaca koran, dalam proses belajar-mengajar dikelas, membaca buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Lingkungan bahasa dapat dibedakan menjadi dua macam yang satu sama lain saling berbeda, yaitu: 1) lingkungan artificial atau lingkungan formal, dijumpai dalam proses be;ajar-mengajar dikelas, dan 2) lingkungan natural atau lingkungan informal.
Lebih jauh Krashen berpendapat bahwa untuk menguasai B2 pembelajar dapat menggunakan dua cara, yaitu melalui proses pembelajaran atau learning dan melalui proses pemerolehan atau acquisition. Pembelajaran merupakan proses yang didasari dan bertitik berat pada perhatian pembelajar terhadap bentuk bahasa atau struktur.
Ada empat hal dari lingkungan bahasa yang berpengaruh dalam PB2, yaitu :
1.      Sifat alami bahasa sasaran,
2.      Cara pembelajar dalam komunikasi,
3.      Persediaan acuan kongkret, dan
4.      Model bahasa sasaran.
Dalam lingkungan bahasa yang bersifat alami tiitk berat komunikasi adalah isi pesan, bukan bentuk linguistiknya. Belajar bahasa secara alami memperhatikan performansi yang lebih baik daripada melewati lingkungan formal yang berfokus pada pemerolehan secara sadar tentang aturan kebahasaan atau pun pemakaian bentuk-bentuk formal linguistik.

2.      Peranan Lingkungan Informal Terhadap PB2
Lingkungan informal berperan besar dalam PB2, peranan tersebut menyangkut masalah kehadiran sebagai bahan input dan sekaligus bahan monitor. Oleh karena banyak dan beragamnya lingkungan informal, dalam makalah ini hanya dibatasi pada: lingkungan kawan sebaya, orang tua, bahasa guru, dan bahasa penutur asing.
Kawan sebaya tampaknya memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan guru dan orang tua terhadap pembelajaran B2. Milon (1975) dalam penelitiannya menemukan kenyataan bahwa seorang anak jepang berusia tujuh tahun yang berimigrasi ke Hawai lebih memahami bahasa Inggris Kreol Hawai yang dipelajari dari rekan sebayanya, daripada bahasa Inggris standar yang diajarkan oleh gurunya.
Bahasa guru pada umumnya memiliki ciri penyesuaian secara formal pada seluruh tataran kebahasaan. Gaies (1977,1979) melihat bahwa ujaran guru menampakkan penyederhanaan aturan sintaktik ketika dia berbicara di tengah-tengah siswanya. Henzl (9179) bahkan melihat bahwa bahasa guru pun seringkali disesuaikan dengan tataran kecakapan murid yang diajak berbicara.

Lingkungan orang tua tampaknya hanya dibatasi pada peranan bahasa pengasuh terhadap pemerolehan bahasa pertama. Sedangkan untuk pembelajaran dewasa, kekuatan bahasa pengasuh ini tentu saja menjadi berkurang, lebih-lebih bila dihubungkan dengan PB2. Bahasa pengasuh itu mirip dengan bahasa penutur asing. Kemiripan itu terletak pada ciri-ciri penyederhanaan atau penyesuaian . penyesuaian itu melibatkan masalah regression, yakni penutur asli bergerak ke tataran yang lebih rendah untuk mencari tingkat paling tepat bagi penguasaan bahasa sasaran pembelajar, matching, penutur asli memprakirakan sistem bahasa pembelajar dan kemudian menirukan bentuk bahasa yang berhasil diidentifikasinya, dan negotiation, penutur asing menyederhanakan dan memperjelas tuturannya sesuai dengan balikan yang diberikan pembelajar.






BAB IX
Usia Dalam Pembelajaran Bahasa Kedua

A.     PENGARUH UMUR TERHADAP PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA (PBK)

Pemerolehan bahasa kedua (PBK) merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Banyak faktor yang mempengaruhi sesorang dalam PBK. Secara garis besar faktor-faktor itu dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal. Sehubungan dengan faktor eksternal Ellis (1986) membedakan atas faktor pribadi dan faktor umum. Yang termasuk faktor pribadi adalah keaktifan kelas, sikap tehadap guru dan materi pelajaran, teknik belajar pembelajar. Sedangkan yang termasuk faktor umum adalah umur, bakat, kemampuan kognitif, motivasi, dan kepribadin.

1.      Umur dan PBK
Pendapat yang popular mengenai PBK adalah bahwa anak-anak lebih baik daripada orang dewasa dalam semua hal di dalam PBK, terutama berkenaan dengan pencapaian hasil akhir. Anak-anak kelihatan sangat sangkil dalam memperoleh bahasa baru, sedangkan orang dewasa kelihatan mengalami kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua (BK). Gejala yang secara luas teramati ini telah mengarahkan pada hipotesis mengenai usia optimal atau periode kritis (Lenneberg, 1967) atau periode senditif (Oyama, 1976) untuk belajar BK.
·         Faktor Biologis
Ahli neurologi , Penfield dan Roberts, berargumentasi bahwa kemampuan anaka yang lebih besar untuk belajar bahasa dapat dijelaskan dengan plastisitas yang lebih besar dari otak kanan anak itu. Plastisitas otak itu ditemukan berkurang bila usia bertambah. Penfield dan Roberts (1959) menunjukkan bukti bahwa anak-anak mempunyai kapasitas menonjol untuk mempelajari kembali keterampilan bahasa setelah kecelakaan atau penyakit yang merusak bidang ujaran dalam hemisfer serebral dominaan. Sedangkan orang dewasa biasanya tidak mampu memperoleh kembali ujaran normal. Pada akhirnya, Penfield dan Roberts menyimpulkan bahwa waktu untuk memulai persekolahan umum dalam belajar BK, sesuai dengan tuntutan psikologi otak, adalah antara umur 4-10 tahun.
Lennebert (1967) berpendapat bahwa belajar bahasa alamiah (hanya dengan pejanan) dapat terjadi hanya selama periode kritis untuk pemerolehan bahasa, yaitu antara umur 2 tahun dan pubertas. Sebelum umur 2 tahun belajar bahasa tidak mungkin karena kurang kedewasaan otak. Sedangkan pada saat pubertas laterisasi fungsi bahasa ke henisfer dominan telah selesai, yang mengakibatkan hilangnya plastisitas serebral yang diperlukan untuk belajar bahasa alamiah. Jadi, setelah masa pubertas bahasa harus diajarkan dan dipelajari melalui usaha sadar dank eras.
·         Faktor Kognitif
Rosansky (1975) dan Krashen (1975) berpendapat bahwa permulaan tahapan operasi formal menandai permulaan dari akhir periode kritis, pada tahap ini seseorang mempunyai kemampuan berpikir yang lebih tinggi tentang konsep abstrak dan hipotetik di samping konsep kongkret, sehingga memungkinkan seseorang mempunyai kemampuan berpikir secara abstrak tentang bahasa; mengkonsepkan generalisasi linguistic, memanipulasi kategori-kategori linguistic, mengkonstruksikan dan mengerti teori tentang bahasa.
·         Faktor Afektif
Taylor (1974) dan Schuman (1975) menghubungkan ide periode kritis dengan perubahan afektif yang terjadi pada pembelajar pada permulaan pubertas. Dikatakan bahwa anak-anak mempunyai kapasitas empatik yang lebih besar daripada orang dewasa. Anak-anak belum mengembangkan hambatan-hambatan tentang identitas diri, karena itu tidak takut kedengaran aneh dan siap untuk mengambil resiko ketika bereksperimen dengan pengetahuan BK-nya yang masih jauh dari sempurna itu. Anak- anak yang masih muda tidak terhalangi dalam belajar BK dengan sikap negative terhadap penutur bahasa itu dan anak-anak pada umumnya mempunyai motivasi integrative yang kuat untuk belajar. Ini berarti bahwa secara karakteristik anak-anak mendekati tugas belajarnya dengan saringan sosio-afektif yang rendah. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa orang dewasa mempunyai beberapa keuntungan kognitif dan afektif yang lebih baik daripada anak-anak, terutama ketika bahasa dipelajari dalam situasi kelas dengan banyak penekanan pada kebenaran formal. Orang dewasa mempunyai kapasitas penyimpanan ingatan yang lebih besar, kapasitas berpikir analitik yang luas dan dapat mengembangkan motivasi instrumental yang kuat, yang merupakan kualitas pendorong kea rah belajar yang sangat sangkil dalam situasi semacam itu.

2.      Pengaruh Umur terhadap Urutan PBK
Bailey (1974) meneliti urutan pemerolehan orang dewasa tentang seperangkat morfem gramatikal yang sama seperti dilakukan oleh Dulay dan Burt. Mereka menemukan bahwa urutan pemerolehan orang dewasa dan anak-anak dangat mirip. Fathman (1975) mencoba meneliti hubungan antara umur bersama-sama dengan variabel-variabel yang lain dan urutan pemerolehan. Dua buah studinya dilaksanakan dengan menggunakan Tes Second Language Oral Production English (SLOPE) untuk mendapatkan percakapan subjek penelitian.

3.      Pengaruh Umur terhadap Kecepatan dan Keberhasilan PBK
Kecepatan dan keberhasilan PBK tampaknya secara kuat dipengaruhi oleh umur pembelajar. Snow dan Hoefnagel-Hohle (1978) menunjukkan bahwa pembelajar yang maju paling cepat mungkin adolesen. Dalam studi mereka dari pembelajar bahasa Belanda ditemukan bahwa orang dewasa (15 tahun ke atas) belajar jauh lebih cepat daripada anak-anak (6-10 tahun) dan remaja (12-15 tahun). Faktor umur ini hanya berhubungan dengan morfologi dan sintaksis, tidak untuk pelafalan.
Oyama juga menyelidiki pengaruh awal usia belajar bahasa dengan kesimpulannya sebagai berikut :
a.       Awal usia belajar tidak mempengaruhi urutan PBK,
b.      Awal usia belajar mempengaruhi kecepatan belajar, dan
c.       Lama masa pejanan dan awal usia belajar mempengaruhi tingkatan keberhasilan.
Dulay, Burt, dan Krashen (1982) berdasarkan penelitian mereka dan bandingannya dengan penelitian Oyama (1976), Seliger, Krashen, Ladefoged (1975), Asher dan Gracia (1969), menyimpulkan sebagai berikut :
a.       Anak-anak kelihatan lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan sistem fonologi bahasa baru, bahkan banyak di antara mereka yang mencapai aksen seperti penutur asli.
b.      Pada akhirnya anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam PBK, tetapi tidak selalu lebih cepat. Orang dewasa tampaknya maju lebih cepat daripada anak-anak dalam bidang morfologi dan sintaksis, paling tidak pada permulaan masa belajar.
B.     FAKTOR USIA DALAM PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Pendapat yang mengatakan bahwa pembelajar anak-anak lebih berhasil ketimbang pembelajar dewasa dalam pemerolehan bahasa kedua (PBK) masih dipertanaykan. Hasil penelitian tertnyata menunjukkan bahwa dalam beberapa hal justru pembelajar dewasalah yang lebih berhasil ketimbang pembelajar anak-anak.

1.      Batas Pembelajar Dewasa dan Anak-Anak
Orang sulit menentukan pada usia berapa seseorang dikatakan memasuki usia dewasa dan meninggalkan masa kanak-kananknya. Ada beberapa usul untuk menentukan batas kedua jenis pembelajar tersebut.
a.       Dari Segi Biologis
Batas usia optimal belajar bahasa secara biologis ini dikemukakan oleh Penfield dan Roberts (1959). Mereka mengatakan bahwa belajar bahasa alamiah hanya dengan ‘exposure’. Hal ini dapat terjadi hanya selama periode kritis yakni sekitar usia dua tahun sampai pubertas.
b.      Dari Segi Perkembangan Kognitif
Pendukung pendekatan ini adalah Rosansky (1975) dan Krashen (1975). Mereka percaya bahwa tahap ‘berpikir formal’ dalam istilah piaget, menandai permulaan dari akhir periode kritis.
c.       Dari Segi Saringan Afektif
Tailor dan Schuman (1975) menghubungkan periode kritis dengan perubahan afektif yang terjadi pada si pembelajar pada permulaan pubertas.

2.      Pemerolehan Bahasa Kedua
Tarigan menyatakan bahwa berdasarkan kelaziman maka digunakan istilah PBK kalau pemerolehan bermula pada atau sesudah tiga atau empat tahun. Sehingga nanti pada pembahasan akan dijumpai PBK untuk anak-anak dan PBK untuk pembelajar dewasa. Ellis (1986) memberikan definisi yang jelas tentang PBK yaitu, proses yang dilakukan baik sadar maupun tidak untuk memperoleh bahasa yang berbeda dengan bahasa ibu. Pemerolehan bahasa kedua adalah proses yang amt rumit, karena banyak variabel yang mempengaruhinya.






BAB X
Motivasi Dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua

Dalam pemerolehan bahasa terdapat banyak factor yang turut mempengaruhi hasil dan tujuannya. Salah satu faktor itu adalah motivasi, yang secara khusus akah dibahas disini. Untuk menghindari penyimpangan dalam pembahasan maka ruang lingkup pembahasan ini dibatasi hanya pada faktor motivasi dalam pemerolehan bahasa kedua.

A.    Pemerolehan bahasa kedua
1.      Pengertian
Pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang dipergunakan oleh pembelajar bahasa kedua untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tua atau penutur awal sampai dia memilih berdasarkan suatu ukuran atau takaran penelitian bahasa yang paling baik serta yang sederhana dari bahasa tersebut. Bialystok (1978) dan Stovick (1980) mengatakan bahwa pemerolehan bisa didapati dari pembelajaran dan sebaliknya. Perbedaan pemerolehan dan pembelajaran adalah pemerolehan untuk memproduksi wacana secara lisan maupun tertulis sedangkan pembelajaran hanya berfungsi untuk memperhalus produksi dengan memonitor, mengecek dan memperbaikinya. Selanjutnya dikatakan bahwa pemerolehan adalah suatu proses dibawah sadar seperti pada pemerolehan bahasa pertama.
2.      Faktor-faktor yang berpengaruh dalam PBK
Banyak factor yang mempengaruhi sesorang dalam PBK di antaranya adalah faktor-faktor diri pembelajar. Ellis (1986) menggolongkan faktor-faktor  tersebut menjadi dua, yaitu:
1.      Faktor-faktor pribadi (personal factor)
2.       Faktor-faktor umum (general factor)

B.     Motivasi dalam proses pemerolehan bahasa kedua
1.      Pengertian Motivasi
Beberapa pengertian motivasi diberikan oleh beberapa ahli secara khusus dalam hubungannya dengan proses PBK. Hebb menyatakan bahwa motivasi adalah suatu kemudi yang berupa energy (tenaga) yang dapat menggerakkan suatu tindakan. Lebih lanjut Lambert (1972) menyatakan motivasi adalah alas an untuk mencapai tujuan secara keseluruhan. Douglas Brown (1981) memberikan pengertian motivasi sebagai dorongan dari dalam dorongan sesaat, emosi atau keinginan yang menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu.

2.      Jenis-jenis dan fungsi motivasi dalam PBK
·         Jenis-jenis motivasi
Motivasi dapat digolongkan dalam 2 jenis, yaitu:
a.       Motivasi instrinsik
Secara umum motivasi instrinsik ini adalah keinginan seseorang untuk mencapai tujuan yang bukan pemberian dari luar (no external reward).
b.      Motivasi ekstrinsik
Ini merupakan motivasi yang ditimbulkan oleh faktor eksternal yaitu di luar dari seseorang. Hasil penelitian Gardner dan Lambert (1959,1965,1972) di Kanada tentang sikap dan motivasi dalam belajar bahasa kedua memberikan kesimpulan bahwa intelegensi dan bakat bukan merupakan faktor tunggal tetapi masih ada lagi variabelyang mungkin member sumbangan keberhasilan dalam PBK yaitu sikap dan motivasi. 

·         Fungsi Motivasi
Secara umum, fungsi motivasi dapat dikelompokkan sebagai berikut :
-          Mendorong manusia untuk berbuat sesuatu,
-          Menentukan arah perbuatan,dan
-          Menyeleksi perbuatan.
Fungsi-fungsi tersebut secara umum didasarkan pada motivasi Maslow dengan 5 hirarki kebutuhannya yaitu : kebutuhan manusia akan makan, rasa aman, kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri. Hirarki kebutuhan Maslow ini secara umum dimiliki oleh semua manusia yang hidup.

3.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi dalam PBK
Faktor-faktor yang berpengaruh pada motivasi dalam PBK ada 2 kelompok yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal yang mempengaruhi motivasi adalah sebagai berikut :
a.       Pandangan seseorang tentang bahasa yang dipelajari,dan
b.      Sikap seseorang terhadap bahasa yang dipelajari.


Faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi seperti di bawah ini :
a.       Faktor orang tua yang digolongkan pada peran aktif dan peran pasif terhadap anaknya yang belajar bahasa,
b.      Lingkungan sosial tempat pembelajar itu berada, dan
c.       Faktor sosial psikologis lingkungan pembelajar bahasa.

4.      Peran Motivasi dama Proses PBK
Dari hasil-hasil penelitian yang telah diadakan dapatlah disimpulkan bahwa ada 3 bentuk motivasi yang berpengaruh dalam PBK, yaitu :
-          Motivasi integratif,
-          Motivasi instrumental, dan
-          Identifikasi kelompok sosial.

Gardner, dkk. (1976) mengadakan penelitian di Montreal pada tingkat 7-11 (kelas bahasa Perancis). Mereka menemukan bahwa ukuran dari motivasi integrative cenderung untuk korelasi yang lebih tinggi dengan ukuran komunikasi lisan daripada motivasi instrumental. Motivasi integratif lebih berperan dari motivasi instrumental tida bisa diterima secara bulat, karena terdapat beberapa hasil penelitian yang menolak argument itu. Spolsky (1969), dari hasil penelitiannya terhadap mahasiswa asing di Amerika, menyatakan bahwa questioner yang digunakannya dalam studi di Kanada tidak cocok dipakai di Amerika karena subjek penelitian ini tidak ingin menerima motivasi yang menyarankan mereka untuk meninggalkan negaranya selamanya.



BAB XI
Strategi Komunikasi Pemerolehan Bahasa Kedua

Berbagai strategi yang sering digunakan pembelajar untuk mengatasi problema komunikasi tersebut. salah satunya adalah strategi komunikasi, yang selain berorientasi pada problema komunikasi, juga merupakan jalan pintas karena mampu member penyelesaian dengan segera. Hal ini berbeda dari strategi-strategi lain yang juga berorientasi pada problema komunikasi.

A.          Strategi Komunikasi
1.                        Pengertian Strategi Komunikasi
Menurut Corder (1983), yang dimaksud dengan strategi komunikasi adalah suatu teknik sistematis yang digunakan pembelajar untuk mengekspresikan arti, ketika ia dihadapkan pada kesulitan. Tarone (1983) mendefinisikannya dalam dua versi seperti ini :
-                Strategi komunikasi adalah upaya pembelajar secara sistematis untuk mengekspresikan arti dalam bahasa target, ketika ia tidak dapat membentuk atau memilih kaidah bahasa target dengan tepat.
-                Strategi komunikasi adalah upaya sadar pembelajar untuk mengkomunikasikan pikirannya, ketika tata bahasa antara (interlanguage) tidak memadai untuk menyampaikan pikiran tersebut.

2.                        Jenis-Jenis Strategi Komunikasi
Faerch dan Kasper (1983) membagi strategi komunikasi menjadi dua bagian besar, yaitu strategi reduksi (pengurangan) dan strategi pencapaian.
a.             Strategi Reduksi (pengurangan)
- Formal
Pembelajar komunikasi dengan sistem fonologi, mrfologi, sintaksis, serta leksikon yang dikurangi dengan maksud agar terhindar dari ketidaklancaran atau kesalahan.
- Fungsional
Pembelajar berkomunikasi dengan cara mengurangi tujuan komunikasinya, baik secara global maupun local, agar terhindar dari problem komunikasi.

b.            Strategi Pencapaian
Strategi pencapaian digunakan pembelajar bahasa kedua sebagai upaya untuk mengatasi problem komunikasi dengan mengembangkan sumber-sumber komunikasi.
Ø  Strategi Kompensasi
1.               Ahli Kode
Kemungkinan melakukan ahli kode atau meminjam kata-kata dari bahasa pertama atau bahasa yang lain selalu ada pada setiap pembelajar bahasa kedua.
2.               Strategi Transfer Interlingual
Strategi ini bisa terjadi pada tataran fonologi, morfologi, siktaksis, pragmatik dan wacana, dan bisa juga merupakan gabungan ciri-ciri linguistik bahasa antara dan bahasa pertama. Jika transfer terjadi dari satu butir leksikon ke fonologi atau morfologi bahasa antara, transfer tersebut dinamakan pengasingan (foregrezig), dan pada level bahasa antara disebut terjemahan harifah.
3.               Strategi Transfer Inter/Intralingual
Strategi ini digunakan pembelajar bahasa kedua pada situasi khusus, pada saat bahasa kedua dianggap mirip dengan bahasa pertamanya.
4.               Strategi Berdasarkan Bahasa Antara
Menurut Faerch dan Kasper (1983), dalam mengatasi problema kamunikasi kadang-kadang pembelajar menggunakan strategi berdasarkan kepada bahasa-antara, yaitu dengan menggeneralisasikan bentuk, membuat paraphrase, mempermainkan kata dan mengembangkan unsur pokok (restructuning).
5.               Strategi Kerja Sama
Upaya yang dilakukan pembelajar dalam mengatasi problem komunikasi dengan kompensasi bisa berupa kerja sama dengan lawan bicaranya.
6.               Strategi non-Linguistik
Cara lain yang ditempuh pembelajar bahasa kedua untuk mengatasi problema komunikasi, masih dalam kaitannya dengan strategi menirukan bunyi.

Ø  Strategi Pencarian
Menurut Ellis (1986), strategi ini dipakai pembelajar jika ia menghadapi kesulitan dalam menempatkan item atau butir yang dibutuhkan, akan tetapi ia memutuskan untuk tidak menggunankan strategi kompensasi. Terdapat 3 strategi pencarian yaitu :
1.               Menunggu sampai item atau butir yang diperlukan muncul,
2.               Menggunakan bidang semantik,
3.               Menggunakan bahasa lain, pembelajar menggunakan bentuk item atau butir dalam bahasa lain dan menerjemahkanknya ke dalam bahasa kedua.

3.               Penggunaan Strategi Komunikasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan strategi komunikasi adalah sebagai berikut :
a.                Level Penguasaan
Level penguasaan bahasa kedua pembelajar mempengaruhi pemilihan dan penggunaan strategi komunikasi. Strategi reduksi banyak digunakan oleh pembelajar bahasa kedua pada tahap awal dan akan beralih ke strategi pencapaian apabila penguasaannya bertambah atau meningkat (Ellis, 1986).
b.               Sumber Problema
Pemilihan strategi yang dipengaruhi oleh sumber problema tertentu. Ahli kode biasanya banyak dipilih, apabila bahasa pertama dan bahasa kedua memiliki kemiripan atau satu rumpun.
c.                Kepribadian
Dikatakan oleh Tarone (1983) dan Ellis (1986) bahwa faktor kepribadian mungkin berkorelasi tinggi dengan pemilihan dan penggunaan strategi komunikasi. Hasil observasi Tarone tentang pendekatan pembelajar untuk bercerita menunjukkan bahwa ada pembelajar yang berbicara dengan cepat dan mendetail, ada juga yang teliti dan sering memohon bantuan.
d.               Situasi Belajar
Dalam menggunakan strategi komunikasi, sangat mungkin pembelajar dipengaruhi oleh situasi belajarnya. Didalam lingkungan kelas mungkin pembelajar jarang menggunakannya. Pada situasi belajar yang berfokus pada penggunaan bahasa kedua yang benar, strategi komunikasi semakin jarang digunakan.
e.                Usia dan Tujuan
Tujuan khusus yang harus dicapai pembelajar dan pemusatannya, pada komunikasikah atau pada bahasanyakah, akan mempengaruhi kegramatikalan tuturan pembelajar. Oleh sebab itu, pemilihan dan penggunaan strategi komunikasi dipengaruhi pula oleh tujuan.
4.               Peranan Strategi Komunikasi
a.                Sebagai Media Otomatisasi
b.               Sebagai Media Pengembangan Sumber-Sumber
c.                Sebagai Media Mempertahankan Kelangsungan Percakapan
d.               Sebagai Media Pengembangan Kosakata atau Gramatika
BAB XII
Hipotesis-Hipotesis Pengajaran Bahasa Kedua

A.    Beberapa Prinsip Pengajaran B2
 Hadley berkaitan dengan upaya pengembangan kemahiran mulai dari tingkat pemula sampai tingkat lanjut atas (superior), mengemukakan beberapa prinsip yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam pengajaran B2. Prinsip-prinsip itu dapat digunakan untuk melaksanakan pangajaran dengan tujuan apa pun. Hadley menyebut prinsip ini sebagai hipotesis, karena prinsip-prinsip itu masih terus berkembang dan direvisi.
Hipotesis 1pelajaran harus diberi kesempatan untuk berlatih menggunakan bahasa dalam konteks pemakaian yang ada dalam bahasa target itu.
Orientasi terhadap pencapaian kemahiran akan memberikan peluang kepada pelajar untu (1) belajar bahasa dalam konteks pemakaian bahasa, dan (2) menerapkan pengetahuan yang telah diperolehnya untuk menghadapi situasi kehidupan yang sebenarnya. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam semata-mata pelajaran merupakan salah satu contoh aplikasi prinsip ini. Ada beberapa konsekuensi berdasarkan hipotesis diatas.
1.      Pelajar harus didorong menyatakan maksudnya dengan B2 sendiri mungkin yaitu segera setelah mereka mendapat pelajaran keterampilan produktif,
2.      Perlu diciptakan kesempatan untuk melakukan interaksi komunikatif yang aktif di antarapelajar,
3.      Di kelas yang berorientasi pada kemahiran latihan bahasa kreatif (yang dipertentangkan dengan latihan konvergen) perlu “digalakkan”,
4.      Sedapat mungkin yang digunakan di dalam pengajaran adalah bahasa yang autentik.

Hipotesis 2pelajar harus diberi kesempatan untuk berlatih menggunakan berbagai fungsi bahasa yang mungkin diperlukan untuk bergaul dengan orang lain dalam budaya target.



Ada pakar (diantaranya Krashen) yang berpendapat bahwa “pengajaran tata bahasa” dan “pembetulan kesalhan” tidak banyak berpengaruh dalam pemerolehan bahasa kedua. Namun banyak pula yang percaya bahwa pengajaran dan umpan balik memberikan dampak yang positif terhadap pemerolehan B2.
Higgas dan Clifford dalam Hadley mengemukakan bahwa sejalan dengan hipotesis “masukan” dari Krashen perlu dibentuk pula hipotesis “keluaran” : pelajar akan lebih mudah memperoleh keterampilan prodduktif jika didorong melakukan tugas-tugas yang lebih tinggi daripada kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu guru dikelas perlu (1) memberikan masukan yang dipahami disamping pengajaran formal, (2) mendorong pelajar menyatakan maksudnya dengan bahasa yang lebih tinggi tingkatannya, dan (3) secara tetap memberikan umpan balik.
Hipotesis 3 = pengembangan ketepatan bahasa harus digalakkan dalam pengajaran yang                                  berorientasi pada kemahiran.
Hipotesis 4pengajaran perlu bersifat responsive terhadap kebutuhan afektif maupun kognitif pelajar. Di samping itu, perlu diperhatikan perbedaan mereka dalam kepribadian prefernsi serta gaya belajarnya.
Hipotesis 5 = pemahaman budaya perlu diupayakan dengan berbagai cara sehingga pelajar peka terhadap budaya lain serta setiap untuk hidup lebih harmonis dalam masyarakat B2.

Untuk pengajaran bahasa Indonesia hipotesis diatas berarti bahwa pelajar melalui bahasa Indonesia ditimbulkan sebagai warga Negara Indonesia melalui teks misalnya mereka diperkenalkan dengan budaya daerah lain. Bila kelas terdiri dari pelajar yang berasal dari berbagai daerah pelajar dapat didorong saling memberikan informasi tentang budaya daerah asalnya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.










2 komentar:

 

Blogger news

Blogroll

Change Background of This Blog!


Pasang Seperti Ini

About