Kau,
Aku dan Rerintik Jemari Hujan
Cerpen
Karangan: Muhammad Harjum Nurdin

Langkahnya tertatih menuju pojok rumah. Lemah.
Mekar bunga di pagi hari tak henti mengayun seolah mau menyapa Jumers yang baru
terbangun. Tidur semalam rupanya tak nyaman. Perasaan cemas terus menghantui.
Entah. Liburan kali ini jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Sengatan mentari
mengawali hari. Bukan seperti biasanya. Panas menusuk tanpa iba. Keringat
bercucuran membasahi tubuh. Dengan bermodalkan nekat, Jum bergegas menelusuri lorong-lorong
rencana awal. Entah apa yang telah direncanakan jauh sebelumnya. Sengatan
mentari kian menyiksa. Di sebuah halte tua Jum menanti akan datangnya janji
sahabat-sahabatnya. Semua ini merupakan pengalaman pertamanya. Ya, seumur
hidup, gumannya ketika menatap jauh pemandangan dari dalam mobil yang mereka
tumpangi. Panorama yang dilewati rupanya belum cukup untuk melengkapi ceritanya
nanti sehingga walau berdempetan, dia berusaha untuk menikmati setiap lembaran
panorama alam pada setiap perkampungan yang mereka lalui. Hanya satu yang terus
membayang dalam pikiran, bahwa suatu saat nanti moment ini akan tersulam
menjadi sebuah cerita indah. Semuanya disimpan rapi dalam benak. Sayang… cuaca
cerah yang menemani perjalanan rupanya tak lagi bersahabat. Langit yang tadinya
kelihatan senyum kini perlahan mulai murung. Gumpalan awan murka pun melaju
dengan jalur yang tak beraturan. Warna awan yang terpantul di setiap pojok kaca
mobil seperti menyisakan ingatan dari sebuah masa. Masa silam yang pernah
membawah nuansa asmara sesaat yang kini tinggal puing-puing kenangan. Hilang
ditelan amukan badai liar. Mendung yang datang bagai lukisan pujian para
Malaikat bagi yang Yang Kuasa secara acak, berganti-ganti seperti kepulan asap
kendaraan deru yang pikuk berteriak tentang banyak hati sepi yang sedang rindu.
Aneh. Sepertinya sangat mengenal kesunyian yang berbicara atas nama sepi dan
terus berbaur bersama udara, seperti senja yang begitu akrab melahirkan
ketakutan akan sunyi tepat menjelang matahari lenyap di batas hari. Mendung
merapat mendahului hamburan Yang Kuasa. Murka menyapa. Semua penumpang
kelihatan kesal ketika menatap pilu bumi ini kembali dibasahi. Beberapa dari
gerombolan pasrah akan keadaan. Basah kuyuk. Mengawali gulita terlihat lampu
yang tersusun rapi pada mobil itu mulai memancarkan sinar kelembutan, menyapa.
Menerangi setiap hati sesal. Malam pun perlahan menguasai. Sekitar 30 menit
lagi kita akan tiba, bisik sahabat karibnya menguatkan. Malam kian larut,
percikan Yang Kuasa pun belum beranjak. Sesaat Jumers merasa kesal akan tidak
bersahabatnya alam. Remang-remang lampu dari kota tua itu nampak memukau,
sapaan sinarnya terus menyoroti. Menembus kaca seolah mau mengucapkan selamat
datang. Sejenak Jum terdiam, lalu… Terimakasih Tuhan sepucuk syukur terlahir
dalam jiwa.
Di tempat liburannya, Jum tinggal terpisah
dengan yang lainnya. Pagi yang indah di tempat liburannya yang baru. Fajar baru
saja terlepas dari pelukan malam. Ditandai dengan merdunya kicauan burung. Para
petani bergegas menuju tempat mengaso asa. Ada rindu di sana. Kerinduan akan
sang mentari yang akhir-akhir ini enggan mampir. Rumput-rumput liar di sekitar
kelihatan murka berharap. Rupanya tetesan si embun malam tidak seperti
biasanya. Tidak ada harapan di sana. Hanya sekuntum mawar yang bersolek merayu.
Begitu indah menghijau permai mewarnai alam. Tiada henti, walau sakit. Lambaiannya
seakan mengucapkan selamat pagi, ketika mentari malas menyapa. Jum terdiam di
bawah tudung rumah. Entah apa yang akan ia lakukan. Sarapan pun tersedia. Jum terus
melirik jadwal harian yang telah direncanakan jauh sebelum liburan. Otaknya
mulai bekerja keras mencari cara yang mulia untuk memulai kegiatan perdananya
itu. Di sebuah rumah yang sedang dalam perjalanan menuju usia senja, perlahan
mereka mulai dikawal jadwal. Ucapan selamat datang dan perkenalan mengawali
kebersamaan dengan warga sekitar. Canda-tawa turut mewarnai acara tersebut.
Kerinduan untuk menyatu pun merapat. Pertemuan itu mengantar semuanya sampai
perkenalan yang mendalam seperti sepasang kekasih yang dicambuk rindu setelah
sekian tahun dipisahkan oleh jarak dan kesempatan untuk bersanding. Hingga
suatu siang ketika mentari enggan menyapa, Jum berkenalan dengan seorang gadis.
Gadis separuh baya dari pantai selatan losari. Waktu berlalu, satu per satu
kegiatan pun tersudahi. Sesaat untuk melepas lelah. Di sebuah kursi tua
keduanya saling berbagi cerita. Senyum manis yang melebar di sudut bibir gadis
itu menghipnotis keadaan menjadi suasana yang begitu damai dan bersahabat.
Senyum itu mendahului kata yang dibarengi canda-tawa. Adelya demikian sapaan
gadis itu. Keduanya terus mencoba mengintip arti dibalik pertemuan itu. Impian
jitu seakan hampa. Lagi-lagi cuaca tak bersahabat. Percikannya terus menghantam
bumi. Memaksa setiap insan untuk sejenak diam. Merenung. Pesona alam yang
mewarnai sekitar kini ternoda sudah. Tampannya bermandikan raga bumi lantaran
tangisan yang mencabik tubuh bumi. Tercabik berkeping. Rapuh. Senja yang indah
pun diculik paksa tanpa jejak. Entahlah kalau hilang dikunya amukan tak
terduga. Kedua insan berlainan jenis itu pun nyaris terbawah rayuan waktu.
Sejenak Jum melirik arloji yang melingkar diam di tangan gadis itu. Pukul
17.15. ia tersentak karena malam benar-benar sudah mengambang. “aku harus
segera kembali ke tempat penginapan”. Gumamnya dalam hati.
Entah apa gerangan yang selalu menuntun jiwanya
pada moment sore itu. Entah pulalah kalau ini yang dinamakan cinta pada pandangan
pertama atau sejenisnya? Jum sendiri tak memahaminya dengan baik. Yang pasti
sebuah kerinduan untuk berdua, bersama dan bersatu kian mengusik kalbu. “dari
sinar matamu aku mengenalmu, menangkap maksudmu juga bisikan jiwamu tentang
aku, kau dan kita” Jum menyulut api keyakinan dalam dada. Lantas membaringkan
tubuhnya menjamu malam yang beranjak pekat dan berselimut pengap meski mata
belum sudi berhenti berkedip. Rembulan padam berganti pekak. Resah, gelisah
terus menghantui. Rupanya kerinduan akan tatapan itu kian melangit. Jum lalu
bertanya pada malam tentang semua ini. Namun tak ada jawaban. Malam hanya
terdiam bisu. Rupanya malam tak mengamini semuanya. Semerbak angin malam
membawa Jum menemui malam yang sepi. Sembari menapaki jalan pikiran di
hadapannya tanpa tahu apa yang ada di ujung jalan pikirannya. Walau
kunang-kunang menerangi di sepanjang jalan pikiran, namun Jum masih membisu.
Wajah Gadis itu dan segudang pertanyaan menari-nari di benak. Sejenak Jum
melarikan pandangan menjemput purnama yang melayang jauh setelah sekian lama
bersembunyi di balik omega malam selepas mentari terkubur. Malam memang telah
mengubun. Pekatnya gulita kian memaksa para penghuni sekitar merinding. Ada ide
liar yang mampir di benak. Jum lalu bertanya pada waktu. Karena yakinnya hanya
waktulah yang tahu benar akan arti sebuah peristiwa. Sepi, sunyi, pekat, kelam
dan diam merayapi punggung bumi dan memenjarakannya dalam kebisuan. Lingkaran
jarum jam terus melaju menjemput fajar. Kidung binatang-binatang liar mulai
bersahutan menyapa guna mengusir malam. Malam akan melepas fajar dari rahim
semudera. Paduan suara sang jago dan beburungan hutan yang merdu menandai
lahirnya sebuah hari baru. Sayang, tidak seperti biasanya. Pucat, dingin yang
menembus tulang mengudang datangnya aneka rasa yang merujuk pada sebuah tanya
atau lebih tepat sebuah omelan. Mengapa bumi tercinta ini tak henti dikuasai
percikan rerintik jemari hujan. Apakah alam sudah muak menatap tingkah kita?
Dalam kegalauan itu, Jum menelusuri setiap lorong genangan air menuju tempat
pertemuan itu. Langkah tertatih penuh enggan. Mengapa gadis itu belum juga
merapat? Argh… mengapa harus gadis itu, sadarnya menegurnya. Jum bersandar di
sebuah kusri buatan Asing. Pandangan tak henti mengantar-jemput mereka yang
datang dari setiap sudut jalan. Rupanya pengakuan hati akan gadis itu telah
berujung pada kesepian. Suasana sekitar terasa hampa. Menerawang jauh. Ingin
kusudahi semua ini, aku Jumers. Detakan jarum jam yang tergantung pasrah di
pojok rumah itu terus melingkar tuk mencari angka pasti. Jum mengayunkan
kakinya menuju pintu di barengi tembang terkini Motor Jupiter Z-. Sebuah
tatapan tajam yang datang seakan menghalangi langkahnya. Menghentikannya.
Tatapan mesra dari sepasang bola mata yang telah melumpuhkan keperkasaan
prinsipnya untuk tidak jatuh hati. Tanpa kata, tanpa langkah kecuali diam dan
gelora rindu yang terus berkecamuk di dada tentang kebersamaan yang baka dalam
waktu.
“Percumbuan mesra embun dan rerumputan liar,
senja dan damai serta malam dan sunyi yang telah kudandani dengan aneka
kegiatan ternyata perlahan mengkredit usiaku di tanah datar yang selalu mengakrabi
banjir. Aku akan segera selesai. Entahlah tentang rasa, tentang dia, tentang
aku, tentang kami juga senja, juga malam dan tentang waktu yang telah merahimi
dan melahirkannya dalam sebuah kisah yang tak mungkin akan usai”. Gejolak rasa
yang tak bertepi dalam jiwa Jum. Dan lagi sadarnya berujar, malam ini merupakan
malam yang terakhir, malam perpisahan. Bertemu untuk berpisah, kata orang.
Malam yang indah terasa hampa. Rerintik jemari hujan pun tak berhenti menyapa.
Tembang rindu anak jaman mengawali moment yang pantas disesali dan ditangisi.
Dalam pelukan malam. Jum dan diana lama terdiam. Terhanyut dalam, dalam malam.
Rupanya lantunan anak jaman memaksa keduanya tuk sejenak merenung. Demikian
keduanya tenggelam dalam keheningan akan kebersamaan yang indah sehingga mereka
gagal melihat keindahan yang terhampar di depan mata. Gadis itu tertunduk,
beberapa menit berlalu, ia membuka suara “Aku akan memberitahumu tentang apa
yang terjadi di ujung pertemuan ini. Mungkin suatu saat nanti kau akan tahu apa
yang membuatku merasa kehilanganmu. Entah sesaat atau selamanya. Namun jika
kamu akan pergi, aku akan selalu menantimu disini, bersama bulan. Jum, sesaat
kehilanganmu bukan berarti akhir segalanya, namun tanpamu, kutak bisa, aku
pemilik seyum manis itu. Jangan pernah lupa akan datangnya gemercik tatkala
rerintik jemari hujan turun perlahan, yang kita saksikan bersama di awal
pertemuan itu. Karena kala itu kita ketiadaan orang lain, sahabat untuk berbagi
kecuali aku, kau dan rerintik jemari hujan. Dan lagi akan emperan rumah, tempat
kita bertemu dan menunggu hujan segera redah. Akan switer abu-abu kesayanganku,
yang berani lebih dulu memeluk tubuhmu yang mengigil bersama dinginnya tanah
ini, dan akan semuanya saat sejenak kita menggelengkan kepala karena memang
saat itu merupakan kali pertama kita berjumpa. Ingatkah kamu? dan pada
akhirnya, memang benar, tak pernah sekalipun aku memberimu mawar merah saat
kita terjebak hujan bersama. Jangan pernah lupa sesaat kita sama-sama tertawa,
kemudian mengabadikannya pada sebuah kamera buatan asing. Saat sama-sama
terdiam pasrah, menatap tajam rintik hujan, saat aku menadahkan tangan di bawah
percikannya, lalu memejamkan mata seolah tak menyetujui percikan itu. Menolak.
Kemudian kita mulai memohon agar Yang Kuasa melihat dua insan yang baru saja
dipertemukan di antara kabut dan tanah basah. Jangan pernah lupakan aku”. Pada
malam ini, malam yang tak ditemani pancaran bintang-bintang mungil, telah
kusaksikan sebuah kejutan yang kau buat untukku, tapi bukan kejutan yang membawa
bahagia seperti dulu melainkan kesedihan yang mendalam, yang sakit karena kau
akan pergi meninggalkanku, lagi-lagi aku gadis itu. Rupanya gadis itu tak
mengamini semuanya. Lama keduanya terdiam. Kemudian ia menyambung, aku bahagia
karena telah dipertemukan dengan dirimu. Aku bahagia. Bagiku kaulah sosok
terbaik yang pernah kutemui dalam setiap lembaran hidupku, kau dan semua
perjuanganmu untuk meraih mimpi-mimpimu membuatku bersemangat dalam menghadapi
hidup yang sesaat ini. Aku banyak belajar darimu tentang senyuman, tentang
ketabahan dan pengorbanan untuk melepas orang lain. Kutitipkan mimpi-mimpiku di
hatimu. Kalaupun suatu nanti di dunia ini kita tak lagi disatukan, kuberharap
di surga nanti, kelak kita bisa berdua selamanya. Sorotan mata gadis itu mengabur
oleh desakan air mata. Diana, maafkan aku. Jum beranikan diri menatap ke dalam
matanya yang memang sudah tak lagi ditemukan sorotan cahaya mata yang silam,
yang selalu menjadi alamat kerinduan. Kemana hilangnya kemilau itu, bisik Jum
dalam batinnya. Mungkinkah hilang bersama semenit semangat hidupnya? Rasanya
dentang waktu berdetak semakin pelan. Terlihat bibir gadis itu mulai menggulung
senyum, tapi tak seindah senyuman yang dulu ia berikan. Tak lama kemudian…”
ucapan selamat berpisah dan selamat jalan dibarengi protes keras terdengar
lemah dari setiap bibir yang rapuh. Di sudut kampung yang sepi Jum dan Diana
berpisah. Akhirnya Jum pun berlari, pergi bersama sepoi yang gemericiknya
kembali menyapa. Di sudut kampung itu Jum menengadahkan kepala. Langit
tersenyum kecil. Jum pergi meninggalkan gadis itu bersama segudang pertanyaan
yang tak habis terjawab. Langkah kakinya yang lemah terus mengayun, menjauhi
ujung jalan itu. Pulang bersama rasa yang kini kembali tentang Jum, Diana dan
rerintik jemari hujan yang telah menguping semua kisah di tanah basah.
“Jangan Pernah Takut Dan Jangan Pernah Berhenti
Berharap Akan Datangnya Kebaikan”.
Untukmu Yang sedang Merindu (Hardiyanti Bahar)
Malam di Kampung halaman 16 Juni 2014
0 komentar:
Posting Komentar