1. PERISTIWA TUTUR
Peristiwa tutur adalah terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistic dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok
tuturan,di dalam, tempat, dan situasi tertentu. Terjadinya peristiwa tutur
itu harus memenuhi apa yang dikatakan oleh Delhaems yang disebut dengan
SPEAKING “
S : Setting and scene (tempat dan
suasana tutur).
P : Participants (peserta tutur).
E : Ends= purpose and goal (tujuan tutur).
A : Act sequences (pokok tuturan).
K : Keys= tone or spirit of act (nada tutur).
I : Instrumentalities (sarana tutur).
N : Norms of interaction and interpretation (norma
tutur).
G : Genres (Jenis tuturan ).
1. Setting and scene
Dipakai untuk menunjuk kepada aspek tempat dan
waktu dari terjadinya sebuah tuturan. Secara umum karakter ini menunjuk kepada
keadaan dan lingkungan fisik tempat tuturan itu terjadi. Suasana tutur
berkaitan erat dengan faktor psikologis sebuah tuturan. Dapat juga suasana
tutur dipakai untuk menunjuk batasan kultural dari tempat terjadinya tuturan
tersebut. Jadi jelas bahwa tempat tutur (setting) tidaklah sama dengan suasana
tutur (scenes) karena yang pertama menunjuk kepada kondisi fisik tuturan sedangkan
yang kedua menunjuk kepada kondisi psikologis dan batasan kultural sebuah
tuturan. Dimungkinkan pula bagi seorang penutur untuk beralih dari kode yang
satu ke dalam kode yang lain dalam suasana tertentu di tempat (setting) yang
sama. Sebagai contoh dalam peristiwa transaksi / tawar menawar sandang di
sebuah pasar, seorang pedagang mendadak akan berubah dari cara bertutur yang
ramah menjadi sangat ketus terhadap calon pembeli karena mungkin dia sangt
lamban dan berbelit dalam menawar.
2. Participants
Dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua
pihak dalam bertutur. Pihak yang pertama adalah orang kesatu atau sang penutur
dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi tertentu dapat pula
terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan hadirnya pihak
ketiga. Pemilih kode yang terkait dengan komponen tutur ini akan melibatkan dua
dimensi sosial manusia, yakni dimensi horisontal (solidarity) yang menyangkut
hubungan penutur dengan mitra tutur yang telah terbangun sebelumnya dan dimensi
vertikal (power), yakni yang berkaitan dengan masalah umur, kedudukan, status
sosial dan semacamnya dari pada peserta tutur itu.
3. Ends= purpose and goal
Tujuan suatu peristiwa dalam suatu perintah di
harapkan sejalan dengan tujuan lain warga masyarakat itu. Sebuah tuturan
mungkian sekali dimaksudkan untuk menyampaikan informasi atau sebuah pikiran.
Barangkali pula tuturan itu dipakai untuk merayu, membujuk, mendapatkan kesan,
dan sebagainya. Dalam bertutur pastilah orang itu berharap agar tuturannya
tidak dianggap menyimpang dari tujuan masyarakatnya. Sebuah tuturan mungkin
juga ditunjukkan untuk merubah perilaku diri seseorang dari seseorang dalam
masyarakat. Tuturan yang dimaksudkan untuk merubah perilaku seseorang itu
sering pula disebut sebagai tujuan konotatif dari penutur. Tuturan dapat juga
dipakai untuk memelihara kontak antra penutur dan mitra tutur dalam suatu
masyarakat. Tujuan yang demikian sering pula dikatakan sebagai tujuan fatis
dari sebuah tuturan. Demikianlah, orang yang bertutur pastilah memiliki tujuan
dan sedpat mungkin penutur aka berupaya untuk bertutur sejalan dengan tujuan
dari anggota masyarakat tutur itu.
4. Act sequences
Pokok tuturan merupakan bagian dari komponen
tutur yang tidak pernah tetap, artinya bahwa pokok pikiran itu akan selalu
berubah dalam deretan pokok-pokok tuturan dalam peristiwa tutur. Perubahan
pokok tuturan itu sudah barang tentu berpengaruh terhadap bahasa atau kode yang
dipilihnya dalam bertutur. Dengan perkataan lain pula perpindahan pokok tuturan
dalam bartutur itu dapat pula menyebabkan terjadinya alih kode.
5. Key
Nada
tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi di mana suatu tindakan dapat
dilakukan dalam bertutur. Nada tutur ini berkaitan eret dengan masalah
modalitas dari kategoti-kategori gramatikal dalam sebuah bahasa. Nada ini dapat
berwujud perubahan-perubahan tuturan yang dapat m,enunjuk kepada nada santai,
serius, tegang, kasar, dan sebagainya. Nada tutur dapat pula dibedakan menjadi
nada tutur yang sifatnya verbal dan non verbal. Nada tutur verbal dapat berupa
nada, cara, dan motivasi yang menunjuk pada warna santai, serius, tegang, cepat
yang telah disebutkan di depan. Adapun nada tutur non verbal dapat berupa
tindakan yang bersifat para linguistik yang melibatkan segala macam bahasa
tubuh (body language), kial (gestur), dan juga jarak selama bertutur
(proximis). Nada tutur yang bersifat non verbal ini sangat penting perannya
dalam komunikasi. Bahkan dalam masyarakat tutur Jawa, nada yang non verbal ini
dipakai sebagai salah satu parameter tata krama dari seseorang. Orangb yang
berbicara dengan jari yang menunjuk kepada mitra tutur dapat dipakai dalam
indikasi bahwa penutur itu kurang sopan/tidak bertatakrama dan bukan berciri
“Jawa”. Demikian juga kalau seorang penutur bertutur dengan mitra tutur yang
lebih tua dan penutur itu bertutur dengan memandang wajah mitra tuturnya
dapatlah dikatakan bahwa penutur itu juga belum njawani.
6. Intrumentalities
Sarana tutur menunjuk kepada salutan tutur
(channels) dan bentuk tutur (form of speech). Adapun yang dimaksud dengan
saluran tutur adalah alat di mana tuturan tiu dapat dimunculkan oleh penutur dan
sampai kepada mitra tutur. Sarana yang dimaksud dapat berupa saluran lisan,
saluran tertulis, saluran bahkan dapat pula lewat sandi-sandi atau kode
tertentu. Saluran l;isan dapat pula berupa silan, nyanyian, senandung, dan
sebagainya. Adapun bentuk tutur dapat berupa bahasa, yakni bahasa sebagai
sistem yang mandiri, dialek dan variasi-variasi bahasa yang lainnya. Bentuk
tutur akan lebih banyak ditentukan oleh saluran tutur yang dipakai oleh penutur
itu dalam bertutur. Bentuk tutur orang bertelpon pastilah berbeda dengan orang
bertutur dengan tanpa menggunakan pesawat telepon. Dalam peristiwa transaksi
barang mewah terjadi tawar menawar dilakukan lewat pesawat telepon, pasti
bentuk tuturnya berbeda denag tawar menawar langsung yang dilakukan dengan tanpa
peasawat telepon.
7. Norms of interaction and interpretation
Norma tutur dibedakan atas dua hal yakni norma
interaksi (interaction norm) dan norma interpretasi (interpretation norms)
dalam bertutur. Norma interaksi menunjuk kepada dapat/tidaknya sesuatu
dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Sebagai contoh
dalam masyarakat tutur Jawa, manakala ada orang sedan bertutur denga orang
lain, kendatipun kita amat sangat berkepentingan dengan seseorang yang telibat
dalam peristiwa tutur itu, Kita tidak boleh memenggal tuturan mereka. Artinya
bahwa pemenggalan percakapan yang sedang berlangsung dan pihak ketiga akan
dianggap sebagai pelanggar norma, yakni norma kesopanan yang ada dalam
masyarakat tutur Jawa itu. Di dalam masyarakat tutur Jawa juga tidak
diperkenankan orang bertutur dengan tidak memperhatikan keberadaan sang mitra
tutur. Artinya bahwa dominasi waktu dan kesempatan yan dilakukan oleh penutur
saja akan mengakibatkan kesan tidak baik dari pihak mitra tutur terhadap
penutur itu. Di samping itu norma interpretasi masih memungkinkan pihak-pihak
yang telibat dalam komunikasi untuk memberikan interpretasi terhadap mitra
tutur khususnya manakala yang terlibat dalam komunikasi para mahasiswa dalam
hal norma interpretasi. Para mahasiswa Arab lebih sering melakukan pertentangan
dan pertengkaran yang dilakukan dengan berhadapan muka. Namun demikian, mereka
juga sering duduk berdampingan antara yang satu denga yang lainnya. Para
mahasiswa Arab juga sering berbicara denga suara yang lebih keras dari pada
mahasiswa Amerika (Graves, 1996 dalam Gumpers, 1972). Akhirnya dapat pula
disampaikan bahwa norma interpretasi erat sekali kaitannya dengan sistem
kepercayaan masyarakat tutur itu. Orang Jawa percaya bahwa mereka yang berumur
lebih tua adalah sesepuh mereka. Oleh karenanya mereka akan lebih cenderung
dihargai dalam bertutur. Menyampaikan hal yang sama akan lebih
diinterpretasikan denga arti yang berbeda jika itu disampaikan oleh orang yang
sebaya atau bahkan lebih muda dari sesepuh itu. Hal demikian dapatlah digunakan
sebagai bukti bahwa norma interaksi dalam suatu masyarakat tutur pastilah tidak
dapat dipisahkan dari sisitem kepercayaan dan adat istiadat yang terdapat dan
berlaku di daerah itu.
. . Genres
Menunjuk kepada jenis kategori kebahasaan yang
sedang dituturkan. Maksudnya adalah bahwa jenis tutur ini akan menyangkut
kategori wacana seperti percakapan, cerita, pidato dan semacamnya. Berbeda
jenis tuturnya akan berbeda pula kode yang dipakai dalam bertutur itu. Orang
berpidato tentu menggunakan kode yang berbeda denga kode orang bercerita.
Demikian pula orang yang bercerita tidak dapat disamakan dengan kode orang
yangsedang bercakap-cakap.
2. TINDAK TUTUR
Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial,
maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi
situasi tertentu.
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula
diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard pada
tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh
J.O Urmson (1965) dengan judul How to Do Thing with Word? Tetapi teori tersebut
baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969), menerbitkan
buku berjudul Speech Act and Essay in the Philosophy of Language.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang teori tindak tutur, terlebih dahulu kita harus memahami tentang jenis kalimat. Menurut tata bahasa tradisional, ada tiga jenis kalimat, yaitu kalimat deklaratif, kalimat interogatif dan kalimat imperatif. Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar untuk menaruh perhatian saja, sebab, maksud pengujar hanya memberitahukan saja.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang teori tindak tutur, terlebih dahulu kita harus memahami tentang jenis kalimat. Menurut tata bahasa tradisional, ada tiga jenis kalimat, yaitu kalimat deklaratif, kalimat interogatif dan kalimat imperatif. Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar untuk menaruh perhatian saja, sebab, maksud pengujar hanya memberitahukan saja.
Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya
meminta agar pendengar memberi jawaban secara lisan, sedangkan kalimat
imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar atau yang
mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang
diminta.
Pembagian kalimat atas kalimat deklaratif,
interogatif, dan imperatif adalah berdasarkan bentuk kalimat itu secara
terlepas. Kalau kalimat-kalimat tersebut dipandang dari tataran yang lebih
tinggi, misalnya dari tingkat wacana, maka kalimat tersebut dapat saja menjadi
tidak sama antara bentuk formalnya dan bentuk isinya. Ada kemungkinan sebuah
kalimat deklaratif atau kalimat interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan
pertanyaan, tetapi menjadi suatu bentuk perintah.
Austin membedakan kalimat deklaratif
berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Kalimat
konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka, seperti, "Ibu
dosen kami cantik sekali", atau "Pagi tadi dia terlambat bangun".
Sedangkan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya,
apa yang diucapkan oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya, misalnya,
"Saya menamakan kapal ini "Liberty Bell", maka makna kalimat itu
adalah apa yang diucapkannya.
Sebuah kalimat performatif harus memenuhi
beberapa persyaratan, antara lain:
1. Prosedur konvensional harus ada untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Prosedur tersebut harus menentukan siapa yang harus mengatakan, dan melakukan apa, serta dalam situasi apa.
2. Semua peserta harus melaksanakan prosedur ini dengan patut dan melaksanakannya secara sempurna.
3. Pemikiran, perasaan dan tujuan tentang hal tersebut harus ada pada semua pihak.
1. Prosedur konvensional harus ada untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Prosedur tersebut harus menentukan siapa yang harus mengatakan, dan melakukan apa, serta dalam situasi apa.
2. Semua peserta harus melaksanakan prosedur ini dengan patut dan melaksanakannya secara sempurna.
3. Pemikiran, perasaan dan tujuan tentang hal tersebut harus ada pada semua pihak.
Kalimat performatif ini lazim digunakan dalam
upacara pernikahan, perceraian, kelahiran, kematian, kemiliteran dan
sebagainya. Dalam pengucapannya, kalimat performatif biasanya ditunjang oleh
tindakan atau perilaku yang nonlinguistik, seperti pemukulan gong, pengetukan
palu dan sebagainya.
Kalimat performatif dapat dibagi atas situasi
resmi dan yang tidak resmi. Yang pertama sudah dijelaskan sebelumnya. Yang
kedua, adalah kalimat yang tidak terikat oleh ketiga syarat yang disebutkan di
atas. Kita dapat memberikan contoh, "Saya berjanji...", Kami minta
maaf atas...", Kami peringatkan Anda..., dan Saya bersedia hadir
dalam...".
Kalimat performatif dapat juga digunakan untuk
mengungkapkan sesuatu secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit artinya
menghadirkan kata-kata yang mengacu pada pelaku seperti saya dan kami. Umpamanya,
"Saya berjanji akan mengirimkan uang itu secepatnya", "Kami
minta maaf atas keterlambatan pembayaran hutang itu", dan "Saya
peringatkan, kalau Anda sering bolos, Anda tidak boleh ikut ujian".
Kalimat performatif yang implisit adalah
kalimat yang tanpa menghadirkan kata-kata yang menyatakan pelaku, misalnya,
"jalan ditutup" atau "ada perbaikan jalan" dan "ada
ujian". Di balik kalimat-kalimat performatif yang implisit itu tentu ada
pihak yang meminta kita melakukan apa yang dimintanya.
Austin membagi kalimat performatif menjadi
lima kategori, yaitu:
1. Kalimat verdiktif, yakni kalimat perlakuan yang menyatakan
keputusan atau penilaian, misalnya," Kami menyatakan terdakwa
bersalah".
2. Kalimat eksersitif, yakni kalimat perlakuan yang menyatakan
perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya, misalnya, "Kami harap
kalian setuju dengan keputusan ini".
3. Kalimat komisif, adalah kalimat perlakuan yang dicirikan
dengan perjanjian; pembicara berjanji dengan anda untuk melakukan sesuatu,
"Besok kita menonton sepak bola.
4. Kalimat behatitif, adalah kalimat perlakuan yang berhubungan
dengan tingkah laku sosial karena seseorang mendapat keberuntungan atau
kemalangan, misalnya, "Saya mengucapkan selamat atas pelantikan Anda
sebagai siswa teladan".
5. Kalimat ekspositif
adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan atau perincian
kepada seseorang, misalnya, "Saya jelaskan kepada Anda bahwa dia tidak
bersalah".
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat
performatif oleh Austin, dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang
berlangsung sekaligus, yaitu:
1. Tindak tutur lokusi - adalah tindak tutur yang menyatakan
sesuatu dalam arti terbatas, atau tindak tutur dalam kalimat yang bermakna dan
dapat dipahami, misalnya, "Ibu guru berkata kepada saya agar saya
membantunya". Searle menyebut tindak tutur ini dengan istilah tindak
bahasa proposisi.
2. Tindak tutur ilokusi - adalah tindak tutur yang biasanya
diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ini
biasanya berkaitan dengan pemberian izin, ucapan terima kasih, menyuruh,
menawarkan, dan menjanjikan, misalnya, "Ibu guru menyuruh saya agar segera
berangkat".
3. Tindak tutur perlokusi - adalah tindak tutur yang berkaitan
dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilahku
nonlinguistik dari orang lain, misalnya, karena adanya ucapan dokter,
"Mungkin Ibu menderita penyakit jantung koroner", maka si pasien akan
panik atau sedih. Ucapan si dokter adalah tindak tutur perlokusi. Dalam suatu
peristiwa tutur, peran pembicara dan pendengar dapat berganti-ganti. Dalam
kaitan ini, Austin melihat tindak tutur dari pembicara, sedangkan Searle
melihat tindak tutur dari pihak pendengar. Menurut Searle, tujuan pembicara
sukar diteliti, sedangkan interpretasi pendengar mudah dilihat dari
reaksi-reaksi yang diberikan terhadap pembicara.
Menurut Searle kita bisa memperlihatkan tiga
jenis tindakan ketika kita berbicara, yaitu tindakan tuturan, tindakan
proposisi, dan tindakan ilokusi. Tindakan tuturan sama dengan tindakan lokusi
oleh Austin. Tindakan tuturan mengacu pada fakta bahwa kita harus menggunakan
kata-kata dan kalimat jika kita ingin mengatakan apapun. Tindakan proposisi
adalah hal-hal yang berkaitan dengan acuan atau ramalan, sedangkan tindakan
lokusi berkaitan dengan tujuan pembicara yaitu pernyataan, pertanyaan, janji,
atau perintah.
Kalau dilihat dari konteks situasi, ada dua
macam tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak
langsung. Tindak tutur yang pertama mudah dipahami oleh si pendenagr karena
ujarannya berupa kalimat dengan makna-makna lugas, sedangkan yang kedua hanya
dapat dipahami oleh si pendengar yang sudah cukup terlatih dalam memahami
kalimat yang bermakna konteks situasional.
Selain bentuk ujaran di atas, kita mengenal
bentuk ujaran yang disebut dengan tipe fatis, seperti kata-kata "Udara
hari ini cerah ya?" atau "Bagaimana kabarmu?", dan "Anda
terlihat cemerlang hari ini!". Kita menggunakan ungkapan tersebut bukan
ditujukan untuk isi ujaran, tetapi lebih pada nilai-nilai afektif sebagai suatu
indikator bahwa seseorang ingin berkomunikasi dengan orang lain, untuk membuka
percakapan, atau menjaga hubungan tetap terbuka dengan orang lain. Ungkapan
fatis tidak bermaksud untuk benar-benar membicarakan sesuatu, tetapi lebih
cenderung untuk membuka suatu aktifitas percakapan. Menurut Malinowski,
ungkapan fatis atau phatic communion ini adalah salah satu tipe percakapan yang
ikatan hubungannya diciptakan dengan bertukar kata-kata. Dalam keadaan
tersebut, kata-kata tidak membawa arti, tetapi membawa fungsi sosial, dan hal
tersebut adalah tujuan yang prinsipil.
3. TINDAK TUTUR DAN PRAGMATIK
Tindak tutur sebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam
masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik. Fenomena
lainnya didalam kajian pragmatik adalah deiksis, presuposisi dan implikatur
percakapan.
a. Deiksis adalah hubungan antara kata yang
digunakan didalam tindak tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau
dapat berubah dan berpindah. Kata-kata referen antara lain kata-kata yang
berkenaan dengan persona, tempat, waktu.
b. Presuposisi adalah makna atau informasi
“tambahan” yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secra tersirat.
Presuposisi terdapat pula dalam kalimat deklaratif dan kalimat interogatif.
c. Implikatur percakapan adalah adanya
keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang
bercakap-cakap. Keterkaitan ini tidak tampak secara literal, tetapi hanya
dipahami secara tersirat.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul &
Agustina Leonie. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan awal. Jakarta: Rhineka Cipta
0 komentar:
Posting Komentar