Pages

Selasa, 24 Juni 2014

Teori Postrukturalisme Memandang Teks Sastra

Postrukturalisme bukanlah kelanjutan dari Strukturalisme. Dua tokoh yang paling diasosiasikan dengan Postrukturalisme adalah Roland Barthes, yang karyanya mulai bergeser dan berpindah dari fase Strukturalis ke Postrukturalis, dan Jacques Derrida. Postrukturalisme adalah sebuah pemberontakan terhadap Strukturalis. Jika Strukturalisme selalu berorientasi pada struktur yang tetap atau memaknai tanda sebagai referen, Postrukturalisme adalah aliran yang mengembangkan hubungan aspek penanda dengan petanda. Menurut Postrukturalisme, jika makna hanya ditelaah melalui strukturnya yang dilambangkan dalam kata, maka pada dasarnya kata tersebut tidak selamanya mampu menanpung hakikat makna. Karena dalam konteks bahasa sastra yang sangat kompleks, esensi makna justru sering berada di luar makna kata itu sendiri atau makna tidak selalu hadir sesuai pada strukturnya.

Mengutip pendapat Terry Eagleton (2000: 144) bahwa membaca sebuah teks sastra dapat diibaratkan seperti melihat kerlipan mutiara dalam satu untaian kalung. Jika seorang pembaca hanya terpaku pada satu kerlipan, maka dia tidaklah mungkin dapat menilai seluruh untaian. Karena itu, dalam memahami setiap untaian, setiap kerlipan mutiara pasti terkait dengan mutiara yang lainnya.

Model pendekatan dalam pencarian makna ini seperti yang dikembangkan oleh Riffaterre (1981) dan Roland Barthes (1981) mendasarkan telaah dengan dua tahapan. Pertama, mendaftar semua unsur (struktur) yang terdapat dalam karya yang ditelaah dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah. Dengan demikian tidak ada satu unsur pun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai peranan. Kedua, unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur lainnya dalam upaya mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antar sesama unsur (jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X dengan Y).
Contoh pencarian esensi makna pada karya sastra Indonesia dengan model tersebut dapat dilihat pada puisi-puisi Goenawan Mohamad yang terkumpul dalam buku Sajak-sajak Lengkap 1961-2001, seperti “Parikesit, Dongeng Sebelum Tidur, Asmaradana, Gatoloco”. Dalam memahami puisi-puisi Goenawan Mohamad tersebut, tidak mungkin dapat diketahui esensi puisinya jika hanya melihat struktur bahasa yang dituangkan. Bahwa dalam mengetahui esensi makna puisi Goenawan Mohamad paling tidak diperlukan pemahaman kode budaya, khususnya yang berkaitan dengan dunia pewayangan ataupun tembang Macapat. Salah satunya ada dalam puisi “Asmaradana” berikut.

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

1971


Dalam memahami esensi makna pada puisi tersebut tentu saja perlu kita kaitkan dengan unsur lainnya di luar unsur lainnya di luar unsur struktur teks (unsur X) yaitu unsur di luar teks seperti kode budaya ataupun hubungan antar teks (unsur Y). Terry Eagleton (2010: 199) menyatakan bahwa semua teks sastra dirajut dari teks-teks sastra lain, bukan dalam pengertian konvensional yang di dalamnya terkandung jejak “pengaruh” teks-teks lain, tetapi dalam pengertian yang lebih radikal bahwa setiap kata, frasa, atau segmen merupakan pengerjaan ulang dari tulisan-tulisan lain yang mendahului atau mengelilingi karya individual. Tidak ada yang namanya “keaslian” sastra, tidak ada karya sastra “pertama”: semua kesusastraan bersifat “intertekstual”. Puisi tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dengan tembang Asmaradana, tembang macapat dari Jawa yang biasanya ditujukan untuk pemuda atau pemudi dalam masa pertumbuhan. Untuk sampai pada pengertian tersebut, kita tentu harus mengetahui tentang tembang Asmaradana yang dalam tembang macapat Jawa ini mengisahkan tentang cinta Damarwulan dan Anjasmara (unsur Y). Jika unsur X tersebut dikaitkan dengan unsur Y, barulah dapat dimengerti bahwa puisi ini bercerita tentang kisah asmara Damarwulan dan Anjasmara. Goenawan Mohamad memang tidak mengambil keseluruhan cerita dalam puisi tersebut. Ia bahkan tidak menyebut-nyebut nama Damarwulan di dalam puisinya. Ia hanya mengambil satu moment yang dianggap penting dalam cerita itu, moment tentang perpisahan Damarwulan dan Anjasmara. Dalam cerita rakyat Jawa dikisahkan bahwa Damarwulan harus pergi meninggalkan Anjasmara karena mendapat perintah dari Ratu Kencana Wungu untuk mengalahkan Menak Jinggo yang dianggap memberontak kepada Majapahit. Disitulah awal perpisahan Damarwulan dengan Anjasmara, Putri Patih Loh Gender yang begitu mencintainya. Damarwulan berhasil mengalahkan Menak Jinggo dan sekaligus memboyong Waeta dan Puyengan, selir Menak Jinggo. Dan pada akhirnya Damarwulan mempersunting Ratu Kencana Wungu. Goenawan Mohamad menggambarkan perpisahan tersebut secara tegas dan dengan nuansa yang sedikit melankoli seperti dalam kutipan berikut.

...
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

1971

Dengan model telaah tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam proses pemahaman dan pemaknaan unsur struktur (X) ternyata tidak mampu mewadahi konsep secara menyeluruh. Unsur tersebut masih harus dihubungkan dengan unsur lain yang terdapat di luar teks. Model inilah yang dikembangkan aliran Postrukturalisme sebagai bagian dari kritiknya terhadap Srtukturalisme[].

Postrukturalisme berguna untuk melihat bagaimana teks karya sastra menampilkan teks yang terbuka untuk dikritisi dan didekonstruksi dan terfokus pada eksistensi tokoh. Salah satu metode postrukturalisme yang dapat digunakan adalah dekonstruksi yang mencoba melakukan rekonstruksi tentang pandangan metafisi (konseptual) yang diarahkan pada tulisan, metabahasa dan subjektivitas.

Postrukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan strukturalisme. Sebagai sebuah teori, ia berkaitan erat dengan manusia, dunia, dan prilaku praktis yang menghasilkan makna, dalam lingkup. Postrukturalisme mengajak kita untuk memikirkan berbagai hal terkait munculnya tanda (sign) dari objek, oposisi binari, mitos, historisitas, ideologi, dan kesadaran manusia.

Irmayanti M. Budianto (2007) melihat dua hal yang berkaitan dengan cara pandang dalam melihat postrukturalisme. Pertama, aspek yang berkaitan dengan ontologis empiristis (erat kaitannya dengan strukturalisme), dan aspek kedua berkaitan dengan metafisis –“dibalik” sesuatu yang sifatnya ontologis empiristis yang sifatnya konseptual berasal dari kesadaran atau akal budi atau rasio manusia.

Postrukturalisme merupakan after structuralism yang mencoba mengembangkan strukturalisme guna mengantisipasi berbagai fenomena kebahasaan dan sosial budaya yang sangat kompleks. Dasar strukturalisme adalah struktur teks yang mengalami transformasi dari intransitif ke transitif yang dimaksudkan untuk melihat  1) bagaimana mengadopsi relasi yang muncul dalam problem teks dan 2) posisi/reaksi pembaca karena teks. Hal tersebut untuk memunculkan pemikiran kritis baru bagi para peneliti untuk melihat adanya aspek ideologi dan politis dalam teks. Peneliti harus mampu melakukan olah pikir kritis-logis terhadap subjek (self subject) yang terstruktur melalui kesadaran dirinya dan implikasi prilaku pembaca.

Prostrukturalisme berusaha mencari problem pada karya sastra, seperti struktur, semiologis, ideologis, dan subjektivitas. Semiologis mencoba meletakan dikotomo antara penampakan (appearance) dan esesni (Milner, 2002:92). Menitikberatkan pada sisi epistemologi yaitu mencari kebenaran, hubungan antara kesadaran seseorang dengan objek yang dikajinya, bukan pada hasil prilaku praktisnya. Ideologi menekankan pentingnya sistem pemikiran seseorang yang ditransfer menjadi Aku, atau Ego atau Subjek yang memiliki norma tertentu (Budianto 2004: 130). Problem subjektivitas berkaitan dengan “kekuatan” dirinya, seperti pemikiran, perasaan, emosi, empati, kebebasan, kehendak, ketidakinginan tentang sesuatu.

Paradigma Baru dalam Postrukturalisme: Metode Dekonstruksi

Metode dekonstruksi bukan hanya diartikan sebagai pembongkaran terhadap suatu struktur teks, melainkan suatu rekonstruksi peneliti dalam melihat berbagai penelitian sastra tentang pandangan (oposisi) metafisis (konseptual) dalam berbagai argumen si subjek ketika muncul dalam figur relasi sebuah teks. Dekonstruksi di arahkan pada tulisan metabahasa (metalanguage) dan subjek.


Tulisan adalah pemaknaan aras ekspresi dari berbagai tanda, metabahasa adalah prapengandaian peneliti untuk melihat bagaimana wacana atau gagasan atau konsep lahir dari si penulis yang diperoleh melalui observasi, kontemplasi, atau renungan kritis.  Sedangkan Subjek memiliki kesadaran diri (self subject) yang dinamis bahkan ambigu, mampu berpikir kritis, melakukan imajinasi, berpikir dari kesadaran dirinya sendiri hingga ketidaksadaran diri (unconsiousness). Lacan dalam bukunya melihat kesadaran ego muncul melalui simbol,  bahasa, interpretasi, historisitas, dan dunia kehidupan manusia..

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Change Background of This Blog!


Pasang Seperti Ini

About