Teori modernisme
Teori modernitas, dalam sosiologi klasik dimiliki oleh para teoritisi
Marx, Weber, Durkheim dan Simmel yang melihat kemunculan dan pengaruh
modernitas. Meski keempatnya melihat keuntungan dengan adanya modernitas, namun
mereka juga mengutamakan kritis yang dihadapi dalam kehidupan modern.
Marx
melihat bahwa modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalis. Ia mengakui
kemajuan yang ditimbulkan oleh transisi dari masyarakat sebelumnya ke
masyarakat kapitalis. Selanjutnya, karyanya ditujukan untuk mengkritik sistem ekonomi kapitalis yang terdapat
kekurangannya, seperti alienasi dan eksploitasi. Weber melihat masalah
kehidupan modern menentukan adalah perkembangan rasionalitas formal dengan
mengorbankan tipe rasionalitas. Manusia semakin terpenjara dalam sangkar besi
sehingga tidak mampu mengungkapkan beberapa ciri kemanusiaan mereka yang paling
mendasar. Durkheim melihat modernitas ditentukan oleh solidaritas organik dan
mulai melemahnya kesadaran kolektif. Sedangkan Simmel dapat dikatakan senagai
sosiolog modernis, karena pembahasannya yang melihat dua sisi berhubungan,
yakni kota dan uang. Dalam Philosophy of Money , Simmel dapat mengungkapkan apa
yang tersembunyi dan apa yang ditekankan dalam masyarakat modern, apa pengaruh
uang, dan apa akbiat kerugian dari uang di masyarakat modern.
Keempat sosiolog itu meninggal menjelang tahun 1920. Kini teori modernis
tetap dikaji dalam bahasan kontemporer oleh sosiolog, antara lain Anthony
Giddens, George Ritzer, Jurgen Habermas dan Zygmunt Bauman. Ada beberapa konsep
yang dikemukakan dalam Teori Modernis : [2]
1. Modernitas Jugernaut. Dikemukakan oleh Giddens
yang menggambarkan bahwa kehidupan modern seperti sebuah Juggernaut (panser
raksasa). Bahwa masyarakat sangat dinamis, bisa melaju hingga taraf terntu,
namun juga terancam lepas kendali dan hancur lebur. Bayangan tentang panser
raksasa ini berkaitan dengan sesuatu yang bergerak melaui rentang waktu dan ruang fisik. Hal ini
untuk menunjukkan dominannya sistem dalam mempengaruhi kemampuan kita untuk
mengubah kehidupan. Seperti yang dikemukakan oleh Craib berkaitan dengan
pemikiran Giddens yang terkesan tidak ada kaitan antara penekanan peran
keagenan dalam pemikiran teoritis murni, “point of the dominance of system
tendencies against our ability to change the world”.[3]
Modernitas dan Kosekuensinya. Modernitas
memiliki konsekuensi mendasar yang terdiri
dari empat hal, yakni : (1) Kapitalisme yang ditandai oleh produksi
komoditi (2) Industrialisme yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan
mesin untuk memproduksi barang. (3) Kemampuan mengawasi yang mengacu pada
aktivitas warga negara secara individual. (4) Kekuatan militer atau
pengendalian atas alat-alat kekerasan.
Penekanan Giddens terhadap konsep ruang dan waktu sangat penting dalam
modernitas yang disebabkan oleh tumbuhnya organisasi rasional seperti birokrasi
dan kemampuannya menghubungkan otoritas lokal. Sejarah membentuk masa kini.
Kedinamisan itu bersumber dari keterlepasan (dissembedding). Mekanisme
keterlepasan ditandai dengan makna simbolik, uang, dimana kita dapat
bertransaksi dengan orang lain, tanpa terikat jarak dan waktu. Hal ini dapat
diambil contoh, dengan proses transfer di bank, kita dapat mengirim uang tidak
perlu datang ke bank, melainkan melalui mesin ATM, bahkan dapat dilakukan
melalui internet atau sms banking. Keterlepasan yang kedua, ditandai dengan
sistem kecakapan teknis atu keahlian profesional yang mengorganisir bidang
material dan lingkungan sosial dimana kita hidup kini. Dapat diambil contoh,
pembuatan mobil yang dapat dibuat melalui proses ban berjalan dan industri yang
sudah terorganisir dengan baik. Sehingga untuk membuatnya tidak perlu dibuat
satu demi satu mulai dari ban, kap, pintu, mesin dan sebagainya. Melainkan
sudah ada pemasoknya tersendiri. Sehingga dapat selesai begitu cepat. Profesi
Arsitek, kini mendesain gambar, tidak diatas meja gambar dan kertas yang penuh
kerumitan, tetapi cukup merencanakan disain dan konstruksi di depan komputer,
serta sudah ada contoh disain yang lebih spesifik. Namun semua ini dibutuhkan
kepercayaan yang baik. Simbol dan sistem keahlian dapat berlangsung bila
masyarakat mempercayainya sebagai faktor yang memudahkan seseorang untuk
melakukan tindakan. Sebagai contoh, agar transaksi keuangan berlangsung dengan baik kita harus mempercayai
sistem perbankan yang ada.
Modernitas dan identitas. Giddens lebih memusatkan perhatian pada aspek
mikro modernitas, terutama pada diri (modernity and self identity). Bahwa diri
(self) berkaitan secara dialektis dengan institusi masyarakat modern, sebagian
besar perhatiannya dicurahkan pada bagian-bagian makro. Meski memusatkan
perhatian pada masalah mikro namun kita tidak dapat mengabaikan hubungan
dialektika yang lebih luas. “Diri” dan “masyarakat” saling berkaitan dalam
lingkungan global. “transformation in self-identity and globalisation.. are the
two poles of the dialectic of the local and the global in condition of high
modernity. Changes in intimate aspects of personal life.. are directly tied to
the establishment of social connections of wide scope .. for the first time in
human history, “self’ and “society” are interrelated in a global milieu”.[4]
Sebagai ilustrasi dapat digambarkan bahwa hal yang ada pada diri, bahkan
tubuh tertarik kedalam lingkungan global melalui organisasi yang membuat
seseorang sedemikian rupa berupaya melakukan tindakan yang dinilai oleh
masyarakat sebagai sesuatu keharusan. Ada faktor yang menundukkan agar kita
mengikuti aturan yang telah ditentukan masyarakat, berkaitan dengan identitas
diri. Sebagai contoh, perempuan cantik diidentikkan seperti Barbie, boneka
terkenal buatan Amerika yang memiliki tubuh tinggi, langsing, berkulit putih,
berambut lurus dan sebagainya. Citra cantik ini dibentuk oleh industri kosmetik
dan industri perawatan kecantikan, selain itu ditopang oleh industri
periklanan, sehingga muncul kriteria yang menjadi standar agar seorang wanita
mendapatkan identitas cantik. Cantik itu berarti harus ke salon, meluruskan
rambut, melangsingkan tubuh dengan ramuan produksi kosmetik, berkulit putih
dengan menggunakan body lotion tertentu dan lain-lain.
2. McDonaldisasi dan Alat Konsumsi Baru
Sumber
teoritis permasalahan ini adalah karya Weber tentang rasionalitas, dengan
memperhatikan fakta bahwa restoran cepat saji (fast food) mencerminkan
kehidupan masa kini, yakni rasionalitas formal. Bila Weber melihat birokrasi
sebagai rasionalitas formal, maka Ritzer melihat restoran cepat saji
sebagai contoh yang lebih baik dari
rasionalitas formal yang merupakan komponen kunci dari kehidupan modern. Ritzer juga meneliti kartu kredit yang dapat
digunakan untuk transaksi pembelian dan penjualan. Alat-alat konsumsi baru,
seperti mall, supermarket, saluran tv kabel, dsb sebagai bagian dari komponen
kehidupan modern.
3. Modernitas dam Holocaust.
Paradigma modern menurut Bauman adalah Holocaust, yakni penghancuran
sistematis orang Yahudi oleh Nazi. Hal ini dipandang sebagai paradigma modern
rasionalitas birokrasi. Bauman melihat bahwa birokrasi sebagai alat netral yang
dapat digerakkan ke setiap arah. Birokrasi lebih menyerupai dadu, meski dapat
digunakan untuk tujuan kekejaman maupun kemanusiaan. Namun birokrasi lebih
besar kemungkinannya untuk menyokong proses yang tidak berperikemanusiaan.
4. Modernitas: Proyek yang belum selesai.
Habermas melihat modernitas sebagai proyek yang
belum selesai. Masih banyak yang harus dikerjakan dalam kehidupan modern. Ada
penjajahan kehidupan dunia oleh sistem. Salah satu yang dibahas Habermas adalah
makin bertambahnya masalah negara kesejahteraan sosial yang birokratis dan
modern. Masalah ini diselesaikan di tingkat sistem dengan menambah sub sistem
baru. Menurutnya masalah itu tak akan terselesaikan dengan cara seperti itu,
namun harus diselesaikan dalam rangka hubungan antara sistem dengan kehidupan
dunia.
5. Informasionalisme dan Masyarakat Jaringan
Dalam karyanya The Information Age : Economy,
Society and Culture, Manuel Castells
yang menggambarkan kemunculan masyarakat, kultur dan ekonomi yang baru
dari sudut pandang revolusi teknologi informasi (televisi, komputer dsb)
Revolusi ini memunculkan apa yang disebut oleh Castells dengan “kapitalisme
informasional” yang melahirkan gerakan masyarakat operasional yang berdasarkan
pada diri dan identitas.
Teori Globalisasi
Teori ini muncul sebagai akibat serangkaian perkembangan internal teori
sosial khususnya terhadap perspektif moderniasasi. Diantara karakteristik dari
teori ini adalah bias wetern-nya yang disesuai dengan perkembangan di barat dan
bahwa ide diluar dunia barat tak punya pilihan kecuali menyesuaikan diri dengan
ide barat. Sesungguhnya setiap bangsa dan kehidupan miliaran oran diseluruh
dunia sedang ditransformasikan oleh globalisasi. Sering kita mendengar istilah
gloobalisasi yang dikatikan dengan pedagangan, yakni World Trade Organization
(WTO) atau IMF. Bahwa setiap orang didunia ini merasakan sedang menghadapi
suatu persolan besar secara bersama-sama, yakni isu globalisasi.
Teori
Post-Modernisme
Post-modernisme adalah suatu pemikiran baru yang menggantikan pemikiran
modern. Dalam pendapat yang lain, dikatakan bahwa post-modernisme adalah
pengembangan dari modernitas. Bila modernisme ditandai dengan rasionalitas,
absolutisme, universalitas dan homogenitas melalui produksi ilmu pengetahuan
sebagai jalan menuju kemajuan, maka menurut post modernisme, teknologi sebagai
media untuk kebebasan dan humanisasi tidak mampu menjelaskan realitas, seperti
halnya fakta modern mengenai pembunuhan warga yahudi oleh Nazi, Jerman. [5]
Mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern,
meliputi periode historis baru, produk kultural baru dan tipe baru dalam
penyusunan tentang teori kehidupan sosial. Konsep pertama, berkaitan dengan keyakinan
yang tersebar luas bahwa era modern telah berakhir dan memasuki periode
historis yang baru. Konsep kedua berkaitan dengan dunia kultural dan dapat
dinyatakan bahwa produk post-modern cenderung menggantikan produk modern.
Konsep ketiga adalah kemunculan teori sosial post-modern dan perbedaannya
dengan teori sosial modern.
Pemikir post-modern menolak gagasan tentang narasi besar atau
metannarrative. Hal ini dikemukakan oleh pemikir utama post-modern, yakni
Lyotard. Bila ilmu modern disamakan Lyotard dengan metanarrative, maka ilmu
post-modern menolak narasi umum tersebut.
Ilmu pengetahuan post-modern bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa,
tetapi memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat
kemampuan untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan. [6]
Secara Epistemologi, post-modernisme menolak atas kebenaran sebagai
objek abadi yang tetap. Bagi Lyotard (1984), Rorty (1989) memiliki kesamaan
dengan Foucoult dalam ide bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis,
transendental atau universal, melainkan bersifat spesifik menurut ruang dan
waktu.[7] Berkaitan dengan hal ini,
dalam pandangan post-modernisme, bahwa pengetahuan tidak ada yang bersifat menyeluruh
yang mampu menjelaskan karakter ‘objektif’ dunia. Sedangkan modernisme
menganggap kebenaran yang diawali periode pencerahan yang bermuara pada satu pengetahuan yang
bersifat universal.
Post-modernitas mengacu pada periode historis yang umumnya dilihat
menyusul era modern dan mengacu pada produl kultural (dibidang kesenian, film,
arsritektur, dan sebagainya) yang berbeda dari produk kultural modern. Juga
mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern.[8] Ada
beberapa perbedaan antara Teori Modernis dengan Teori Post Modernis, dan ini
lebih banyak dikemukakan oleh Habermas dalam Habermas versus Post Modernis.
(Ritzer 2004 : 581-582)
Teori Modernis
Teori Post-Modernis
Kapitalisme, industrialisme, kemampuan mengawasi
aktivitas warga secara individual dan kekuatan militer
Periode historis baru, produk kulural baru dan tipe
baru tentang teori kehidupan sosial
Menganut gagasan tentang metanarasi
Menolak gagasan tentang metanarasi
Menerima pandangan
konsep seperti kapitalisme. (Giddens)
Tidak mungkin menciptakan pengetahuan sistematis
Berpegang pada tujuan pencerahan (habermas)
Mengorbankan pencerahan
Tidak mungkin membuat analisa kritis, karena tidak
akan memahami kata-kata kesusateraan mereka (Holub)
Dianggap sebagai karya pemikir kesusateraan.
Argumennya mengorbankan seluruh kekuatan logika (Holub)
Pembaca tidak dapat memahami apa pemikiran
post-modernis itu (Habermas)
Dijiwai oleh sentimen normatif, namun sentimen itu
disembunyikan dari para pembaca
Memahami dan menggambarkan fenomena yang terjadi
pada masyarakat modern
Gagal membedakan fenomena dan praktik yang terjadi
dalam masyarakat modern
Dalam kehidupan dunia, lahir gagasan teoritis
Mengabaikan praktek kehidupan dunia
Perubahan terjadi ynag dilandasi dinamika ekonomi.
Biasanya berkaitan dengan perubahan radikal
(Jameson)
Ilustrasi Empiris Teori Modernis dikatikan dengan
Post-Modernis
Ada
konsekuensi real dalam kehidupan modernis, yang tidak pernah terpikirkan oleh
para teoritis sebelumnya. Informasionalisme dan masyarakat jaringan begitu
mendominasi disaat ini. Modernis melihat bahwa hal itu menguntungkan secara
real. Sebagai contoh kasus penyanyi
Justin Bibier dan Briptu Norman yang pernah tampil di YouTube mengatasi
hambatan kapital untuk menjadi terkenal, ketika mereka mendonlod video atau
rekaman gambar yang memperlihatkan penampilannya ketika menyanyi. Video itu
dilihat oleh jutaan orang, dan seketika mereka menjadi terkenal. Secara
ekonomi, seharusnya dibutuhkan kapital yang besar untuk menjadi terkenal,
tetapi di era informasi ini hal itu bukanlah sesuatu hal yang merintangi
seseorang untuk terkenal, bila memang mereka memiliki potensi yang menarik
untuk dilihat oleh orang-orang yang mengakses internet.
Demikian pula dengan kasus Prita yang mengalami permasalahan ketika dia
mengadukan keluhannya lewat email dan dianggap mencemarkan nama baik sebuah
rumah sakit international yang merupakan rumah sakit tempat Prita berobat.
Keluhan Prita di jejaring sosial Facebook
menggema keseluruh tanah air, sehingga mengakibatkan dirinya berurusan
dengan pengadilan. Namun kenyataan ini justru menimbukan simpati oleh banyak kalangan
ditanah air, sehingga terjadi gerakan pengumpulan koin untuk Prita yang
berhasil memperoleh jumlah yang cukup besar, yakni sekitar Rp 800 juta yang
akan digunakan untuk menebus perkaranya dipengadilan berdasarkan tuntutan pihak
rumah sakit yang memperkarakan Prita.
Post-modernis melihat bahwa hal itu bukan suatu kebenaran yang
universal, adanya solidaritas pada kasus Prita, bukan karena timbulnya
kesadaran dalam masyarakat untuk membela orang yang ‘dizalimi’, mereka berpartisipasi
hanya sekedar ikut-ikutan saja. Demikian juga dengan Justin Bibier dan Briptu
Norman, post-modernis menganggap dalam diri mereka tidak ada prestasi, hanya
sekedar gaya dan mengikuti tren untuk mengunduh rekaman videonya ke situs
tertentu.
Kasus lainnya, ketika Demo Buruh besar-besaran untuk menuntut kenaikan
upah, dimana ribuan buruh turun kejalan berdasarkan pemberitahuan lewat situs
jejaring sosial atau SMS, bila para modernis melihat efektifitas informasi yang
disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi membuat timbulnya kesadaran kelas
bagi para buruh, ada kebenaran relatif terhadap ilmu dan teknologi, sedangkan
post-modernis menganggapnya bahwa tidak ada kesadaran kelas yang muncul, para
buruh hanya datang dan sekedar ikut serta, tidak ada keterkaitan dengan
tuntunan yang berhubungan dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam rangka Hari Buruh sedunia.
0 komentar:
Posting Komentar