Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang
membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan
dan berada diluar diri individu. Bersifat antihumanis karena mengesampingkan
agen manusia dari inti penyelidikannya. Fenomena hanya memiliki makna ketika
dikaitkan dengan sutruktur sistematis yang sumbernya bukan terletak pada
individu. Pemahaman strukutalis terhadap kebudayaan memusatkan perhatian pada
sistem relasi struktur yang mendasarinya. [1]
Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak
sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori
fungsionalisme struktural. Strukturalisme lebih memusatkan perthatian pada
struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari struktur sosial dan struktur bahasa.
Seperti dalam teori sebelumnya, Etnometodolgi yang memusatkan pada teori
percakapan dan komunikasi secara umum, makas struturalisme lebih kepada
bermacam-macam gerak isyarat. F. De Saussure yang merupakan tokoh
strukturalisme memberikan pembedaan antara langue dan parole. Menurutnya,
Langue adalah sistem tata bahasa formal, sistem elemen phonic yang hubungannya
ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue memungkinkan adalanya parole yang
merupakan percakapan sebenarnya, cara pembicara menggunakan bahasa untuk
mengatakan dirinya sendiri.[2]
Strukturalisme muncul di tahun 1960an berbasis karya Ferdinand de
Saussure yang diorientasikan untuk memahami struktur-struktur yang mendasari
bahasa. Basis teorinya berasal dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap
orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya menggunakan bahasa meskipun
mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan dengan tata bahasa.
Strukturalisme didasarkan pada kepercayaan bahwa obyek budaya itu seperti
literatur, seni dan arsitektur. Harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih
besar dimana mereka berada dan berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah
untuk mengemukakan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi
dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia.[3]
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa strukturalisme melihat makna sebagai
hasil struktur atau regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar
individu. Hal ini dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip
universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia. Sebagai contoh, penggunaan sistem
tanda pengaturan lampu lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama, bahwa
warna merah kendaraan harus berhenti, kuning, harus hati-hati dan hijau boleh
jalan. Hal tersebut dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat
mengetahuinya. Bahasa manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran
dan tindakan-tindakannya yang membentuk pola universal yang menghasilkan
realitas sosial
Post-Strukturalisme
Bila
strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka
Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tak
teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya
sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa
lembaga sosial tak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tak mampu memaksa
orang. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan
pula. Akibatnya sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang,
yang menurut pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Karena itu
menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari
bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh
logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang
benar, tepat, indah dan seterusnya).[4]
Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan.
Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai
kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya,
post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna
melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang
tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi
pada kata, kalimat atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil
hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya, bersifat antihumanis dalam
upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal
muasal makna stabil.[5]
Michael Foucoult adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori
post-strukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori
post-strukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh
dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah, universal, yang tergantung
pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan)
bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang
post-strukturalis Foucoult tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu
pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang
paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu
ekonomi kapitalis (Marx), atau suatu bentuk
baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara dimana
bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu
muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern. [6]
Salah satu karya Foucoult adalah Archeology of Knowledge yang merupakan
tujuan dari studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan modus dari
diskursus atau wacana. Ia mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah
atau sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu, Foucoult juga ingin mempelajari
pernyataan-pernyataan baik lisan maupun tertulis sehinga ia dapat menemukan
kondisi dasar yang memungkinkan sebuah diskursus atau wacana bisa berlangsung.
Konsep kunci dari Foucoult adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila
arkeologi memfokuskan pada kondisi historis yang ada, sementara geneologi lebih
mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan proses tentang jaringan
jaringan diskursus. [7]
Hubungan secara konseptual antara Strukturalis dan
Pos-strukturalis
Berdasarkan namanya, post-strukturalisme dibangun diatas gagasan
strukturalisme, namun bergerak keluar dan menciptakan mode berpikirnya sendiri.
Strukturalisme dipengaruhi oleh ilmu bahasa, bahwa bahasa sebagai simbol dapat
menciptakan makna yang berlaku secara universal, sedangkan pos-strukturalisme tidak
melihat adanya kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Bahkan Derrida
berupaya untuk melakukan “dekonstruksi logosentrisme”. Dia ingin melihat
masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah
menciptakan pemikiran dominan. Sedangkan Foucoult mengemukakan pandangannya
tentang pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan.
Bahwa orang yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.
Kenyataan empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan
kartu kredit sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang
atau jasa. Pendekatan Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam
kartu kredit yang dikeluarkan oleh sistem perbankan dan berlaku universal.
Pemohon kartu kredit harus memiliki persyaratan tertentu untuk mendapatkannya.
Simbol yang ada di kartu dimaknai bersama, baik oleh pembeli maupun penjual,
bahwa penggunaannya hanya dengan “menggesekkan” kartu ke alat terentu dan bank
akan mengeluarkan kredit pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa
“tinggal gesek” dimaknai secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar.
Post-strukturalis melihatnya bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak
bermanfaat, simbol kartu yang dimaknai sebagai alat tukar bergengsi justru
dimaknai oleh post-strukturalis sebagai penciptaan masalah baru. Ada unsur
ketidakstabilan. Makna “kewajiban” membayar berbeda pemaknaannya oleh pemakai
kartu, karena ketidakmapunannya untuk membayar atau karena ketidakdisiplinannya
dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang kartu
kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak dijalankan, maka ada sanksi
tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun sanksi hukum, bila tidak
sanggup membayar.
Bila dilihat dari sudut pandang pengetahuan/kekuasaan, maka orang-orang yang
mengetahui kebaikan dan keburukan kartu, tentu akan “menguasai” kartu tersebut,
dalam arti dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia akan mempelajari, berapa
beban bunganya dalam sebulan atau setahun, berapa biaya adiministrasinya,
berapa dendanya bila terlambat, berapa iuran anggotanya pertahun, dan setiap
tanggal berapa dia harus membayar tagihan serta berapa yang harus dibayar.
Pengetahuan ini yang menurut pandangan Foucoult berkaitan dengan kekuasaan.
Bila nasabah/pemegang kartu memiliki
pengetahuan, maka dia akan berkuasa (kartu tersebut bermanfaat) namun bila
tidak, maka pihak bank yang akan berkuasa (beruntung).
0 komentar:
Posting Komentar