Pages

Selasa, 24 Juni 2014

Hubungan Strukturalisme dan Semiotika

Semiotika Strukturalis
Saussure mendefinisikan semiotika (semiotics) sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Menurut Umberto Eco, tanda didefinisikan sebagi sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Littlejohn (1996: 64) dalam Sobur (2001: 95) menyatakan bahwa tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Tidak mengherankan bila sebagian teori komunikasi berasal dari semiotik, karena tanpa tanda manusia tidak bisa berkomunikasi.

Dalam ”Course in General Lingustics” karya Saussure, di kemudian hari hasil pemikirannya dianggap sebagai sumber teori linguistik yang paling berpengaruh, dimana kita mengenalnya dengan istilah ”strukturalisme” (Greenz, 2001: 178 dalam Sobur, 2003: 44). Hasil pemikiran Saussure yang terpenting adalah prinsip yang mengatakan bahwa tanda (sign) tersusun dari dua bagian yaitu penanda (signifier) adalah bunyi yang bermakna dan petanda (signified) adalah konsep dari bahasa. Hubungan antara keduanya terbentuk berdasar kesepakatan umum (konvensi). Menurut Saussure linguistik dapat ditelaah dari dua dimensi, yaitu dimensi vertikal (sinkronik) dan dimensi horisontal (diakronik). Untuk memahami analisis sinkronik terhadap teks adalah dengan melihat pola berlawanan yang terpasang dan terpendam dalam teks (struktur paradigmatis) sementara analisis diakronik memusatkan perhatian pada rangkaian peristiwa atau kejadian (struktur sintagmatis) yang membentuk narasi.

Semiotika strukturalisme mendasarkan diri pada semiologi Saussurean. Dimana analisis struktural berupaya menyatakan kembali (reconstitute), organisasi simbol-simbol di dalam sistem tempat mereka berada. (Irawanto, 1999: 29). Salah satu pemikir semiologi strukturalisme yang sangat dipengaruhi oleh Saussure adalah Roland Barthes, dimana menurut pemikirannya, bahwa signifikansi adalah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiotika Saussure adalah melanjutkan proses penandaan yang berhenti pada tataran denotatif. Sebab terdapat perbedaan yang mendasar antara tataran konotasi adalah makna yang khusus atau makna yang tersembunyi, sedangkan tataran denotasi adalah makna umum atau makna sesungguhnya. Dalam semiologi Bathes, denotasi merupakan sistem signifikansi (pemaknaan) tingkat pertama, sementara konotasi adalah sistem signifikansi tingkat kedua. (Budiman, 1999: 22, dalam Sobur, 2003: 70 – 71).

Tujuan analisis Barthes, bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata. (Sobur, 2003: 66).
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Seperti halnya Marx, Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada. Kebudayaan mewujudkan dirinya dalam teks-teks dan, dengan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. (Sobur, 2003: 71). Menurut Van Zoest (1993: 109) dalam Irawanto (1999: 35), film adalah salah satu bidang kajian semiotik atau analisis struktural, karena film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.

Pendekatan semiotik menekankan pandangannya pada bentukan dan makna yang digunakan individu dalam konteks budaya untuk memproduksi maknanya. Ini berarti bahwa budaya memegang peranan penting dalam merubah pengggunaan bahasa, penggunaan dan penerimaan bahasa yang terkait dengan social agreement (kesepakatan sosial) inilah yang kemudian menentukan pemaknaan atas realita yang ada yang direpresentasikan oleh tanda-tanda yang telah disepakati bersama. Semiotik menggunakan istilah tanda untuk menjelaskan bagaimana makna atau pemaknaan diproduksi secara sosial. Beberapa ciri-ciri yang dimiliki tanda, yaitu: (Branson & Stafford, 2003: 11).
(1) Sebuah tanda memiliki bentuk fisik, yang disebut signifier (penanda) seperti model potongan rambut atau lampu lalu lintas;
(2) Sebuah tanda mengacu kepada sesuatu selain dirinya, yang disebut signified (pertanda/yang ditandai) hal ini menekankan pada sebuah konsep yang dimaksud, bukan mengacu pada hal nyata yang ada didunia;
(3) Semiotik menekankan bahwa persepsi kita akan realita adalah dibentuk dan dikonstruksi sendiri oleh kata dan tanda yang kita gunakan dalam beragam konteks sosial.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Change Background of This Blog!


Pasang Seperti Ini

About