Pages

Rabu, 24 Desember 2014

HAPPY BIRTHDAY REZKY ANNISA.J



LEMBARAN BARU
Oleh Muh.Harjum Nurdin

Datang sudah hari ini,
Hari dimana dulu kau dilahirkan
Hari dimana orang tertawa sekaligus haru
Menjelang perkenalanmu dengan dunia ini

Hari ini dikau mengenang kembali
Kerikil-kerikil tajam yang memperkaya arti hidupmu
Manisnya madu cerita hidup yang membuat senyummu lepas…
Tapi apa yang telah kumu berikan
Untuk orang – orang yang tertawa sekaligus haru
Menjelang kelahiranmu

hari ini genap sudah umurmu 17 thn
Apa yang telah kuberikan untuk
Agamamu untuk tuhanmu untuk kedua orang tuamu
 Untuk sahabatmu yang rela berkorban untukmu
Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini kamu menuju satu puncak tangga yang baru
Karena kamu akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurmu yang baru…

Apa yang yang harus kau persiapkan untuk
masa depanmu, untuk akhirat mu, untuk
kedua orang yang mencintaimu dan untuk tuhanmu
 Tapi… coba kamu tengok kebelakang
Ternyata kamu masih banyak berhutang

Ya, berhutang pada dirimu…
Karena ibadahmu belum terjamin

SELAMAT ULANG TAHUN
Oleh Muh.Harjum Nurdin

Selamat ulang tahun kawan
Selamat panjang umur
Sambut suka mu

Hari jadi mu ini
Menanarkan pandang indah masa lampau
Yang dulu keras menyapa
Yang kini lembut tersaput masa

Helai helai yang memudar putih
Menyurukkan ku pada lampau-lampau tengik yang kau ubah menjadi indah
Dalam bayang jajar lilin yang enggan terbilang
Perlambang enggan ku menyaji rindu

Selamat ulang tahun dek ...
Demi selang masa yang telah kita lalui
Izinkan aku
Memintakan slalu jamahan tangan Nya

Selamat Ulang Tahun dek
Tambatkan secercah lagi
Lantun indah di hati mu

Jakarta, 25 desember 2014
Selamat Ulang Tahun ya Rezky Annisa

HAPPY BRITH DAY
Puisi Muh.Harjum Nurdin

Seuntai kasih membawa kita bahagia......
sepatah kata.....
membuat kita percaya...
setitik air penghapus dahaga
tapi....
persahabatan melebihi segalanya....

Di hari yang bertabur kasih
saat sesosok manusia mungil muncul
membawa kebahagiaan bagi pemiliknya...

Kini adalah hari jadi untukmu dek....
semoga apa yang kau harapkan terkabulkan...
amin....yarobbal 'alamin;

Minggu, 30 November 2014

KUSEBUT RAHASIA

                                Kusebut Rahasia

tentang sebuah debar tak biasa
dalam geliat tarian plasenta
tiupan ruh dari syurga

kusebut rahasia
semilir kasih dalam bisik doa
raut bening sekilau kejora

aku dan rahasia
dalam merdu kidung sukma
menikmati rindu yang nyaris terlupa

sebuah rahasia
antara aku dan Dia
dalam bait-bait hening
saat malam perlahan purna

Panciro, 28 April 2014

MELIPAT MALAM

                                     Melipat Malam

aku melipat malam
menggulung begitu banyak rindu
yang terhampar serupa permadani
bergambar siluet ayah
juga seraut ibu

aku melipat malam
juga desah rintih kepiluan
kehilangan yang tak tersuarakan
pada bait-bait hening
kidung kerinduan

aku melipat malam
seribu janji yang tenggelam di angan
saat angin berputar haluan
lepas, jauh dari buritan
melesak menembus awan

aku melipat malam
dalam pigura kenang
memupus bayang
seraut keterasingan

Panciro, 4 agustus 2014

MENAPAK JEJAK LALU

                                Menapak Jejak Lalu


kembali kita buka gerbang waktu 
menapaki jejak-jejak lalu
walau nyaris hilang digerus waktu

ingatkah gelak tawa di pematang sawah
menggiring itik pulang kala senja
menyelam di sejuk danau penuh canda
menikmati keriaan tiada tara
dalam nuansa sederhana
saat kita teramat belia

kembali kita gelar kisah
saat rentang waktu membawamu jauh
kita memeluk sunyi
memunguti serpih terserak
jejak rindu teramat panjang
yang tak hilang walau serupa bayang

kini, kembali kuhidu aroma lalu
saat kupeluk erat hadirmu
begitu banyak rindu tumpah
tanpa kita harus berkata-kata
membiarkan hati kita bicara

oh. begitu cepat putaran waktu
belum tuntas kuluahkan resah
menghabiskan malam sejuta kenang
mengalirkan anak-anak sungai rindu
menuruni lembah bebukitan lalu

tapi aku harus pulang
kembali ke pelukan malam
tempat kulabuhkan mimpi dan harapan
melukis indah hadirmu dalam bingkai kenangan

Makassar, 25 oktober 2014

LORONG SUNYI

                                   Lorong Sunyi

sendiri kaki-kaki menapak sepi
menghitung bayang tumpah di ujung jari
mengukur panjang rentang perjalanan hari
menari di antara perih pagutan duri-duri
menadah peluh di sela rintih tak terperi

sendiri menyusuri alunan sunyi
semilir angin serupa kidung pemimpi
menyusuri lorong-lorong hening
dalam gema satu nada
menyentuh labirin tanpa jeda
hingga atma melayang
menyentuh batas tirai tak kasat mata
menembus relung kasih paripurna

Kamar ukuran 4x3 13 mei 2014

SELEMBUT JEMARI HUJAN

Selembut Jemari Hujan

pagi berkisah tentang hujan
lembut mengecup kelopak rindu
mengusap sejuk sepotong tunas baru
perlahan tumbuh di balik selaput harap
berdiam dalam hening
menghitung denyut waktu
menasbih sepotong mimpi
dalam samar raut Kekasih

jemari hujan masih menari
mengusap debu seribu wajah
memupus resah, memusnah desah
menyisa segaris senyum
pada bibir-bibir lelah berkeluh
mengikrar setia pada langit
serupa hujan menuai sejuk
menelan bara dalam sekam
menumbuh embun di sanubari

selembut jemari hujan
geliat rindu damai dalam diam

Taman mini jogja, 14 desember 2012

LUKISAN SUNYI

                                Lukisan sunyi

lembaran sepi mendekapku begitu erat
menyelimuti hati teramat hening
menguliti gigil hingga ke belulang
menyisa gemetar dalam debar
hingga detak jantung nyaris hilang
tenggelam dalam debur mimpi
saat sayap rindu mulai mengepak
hingga tak lagi kaki menapak
tinggi membelah angkasa
mengetuk jendela nirwana
melukis senyum sejuta cita
di awan lembut serupa bulu-bulu domba

Akkarena, 22 mei 2014

Rindu Biarlah Hilang

                 Rindu Biarlah Hilang

jauh rentang ruang kau bentang
menghalang pandang menirai kenang
hanyut sudah rindu bersama alir bayu
menuju pusaran waktu seribu ragu

akankan harap tenggelam di dasar samudera?
ataukah kembali mengidung ayat-ayat sukma
dalam desah napas syahdu
senandung masa lalu
dalam derai hening
: sepotong bisu

Panciro, 30 november 2014

"SAAT SEMILIAR ADALAH DOA"

                         Saat Semilir Adalah Doa

semilir berbisik lembut menyibak tirai pagi
membiarkan halimun beranjak menepi
memberi ruang sepijar cahaya
hangat menyentuh ceruk atma
membiaskan aneka rona bianglala
di antara muram seraut bayang di jendela

semilir membawa sukacita
pada berlembar hikayat lama
yang memantul wajah seribu rupa
polesan pura-pura
di antara ranyah tawa sang pendosa

semilir mengajak berkaca
pada lalu yang buram di mata
melarung pilu di bening genang doa
membiarkan sejuk bertahta di sukma
menguntum senyum, mekar
seindah teratai di tengah telaga

Masjid ukuran 5x5, 22 Mei 2014

Senin, 27 Oktober 2014

Setulus Senyumku Atas Senandungmu

*MAAFIN HERO*
karya :Muhammad Harjum Nurdin

Dalam heningnya malam yang syahdu
Gairah hidupkupun hilang merindu
Sejuta penyesalan penuhi ruang hampaku
Selimuti pekat ruang kalbuku
Membuat aku semakin pilu..
Kini hatiku semakin pilu
Karena asa yang terganggu
Jauh dari dasar hatiku
Lewat torehan hati yang pilu
Kucurahkan jeritan hati ini
Kulayangkan kata maaf padamu
Sebagai tanda keseriusanku.
Gambar Kata Kata Indah Bahagia 290x290 Gambar Kata Kata Indah Romantis Untuk Pacar Gambar Kata Kata Indah Cinta Pengorbanan 290x290 Gambar Kata Kata Indah Romantis Untuk Pacar
Gambar Kata Kata Indah Cinta Romantis 290x290 Gambar Kata Kata Indah Romantis Untuk Pacar Gambar Kata Kata Indah Cinta Untuk Hati 290x290 Gambar Kata Kata Indah Romantis Untuk Pacar
Gambar Kata Kata Indah Cita cita 290x290 Gambar Kata Kata Indah Romantis Untuk Pacar Gambar Kata Kata Indah Ikhlas 290x290 Gambar Kata Kata Indah Romantis Untuk Pacar
Gambar Kata Kata Indah Mencintai 290x290 Gambar Kata Kata Indah Romantis Untuk Pacar Gambar Kata Kata Indah Romantis 290x290 Gambar Kata Kata Indah Romantis Untuk Pacar
Gambar Kata Kata Indah Tulus 290x290 Gambar Kata Kata Indah Romantis Untuk Pacar Gambar Kata Kata Indah Untuk Pacar 290x290 Gambar Kata Kata Indah Romantis Untuk Pacar

Kamis, 11 September 2014

Senja di Pelupuk Mataku



Mega mulai berarak. Biru langit berganti kemerahan. Raja siang nan gagah pun sayup-sayup menuju barat. Senja jatuh di kota itu. Kota kelahiranku, 30 tahun lalu….
Aku menatap jalan. Hampir di sepanjang tepian, dipenuhi tanaman perdu. Tumbuhan yang tak berbatang besar itu tumbuh kokoh meski tidak tegak. Sementara di sisi lain, sepoian angin bertiup tidak seperti biasa. Dingin. Beku. Mengembuskan nuansa kepedihan.
Pedih? Apakah aku tengah merasakan itu? Ya, rasa itu belakangan ini menjalar hebat hingga membuncah di urat nadi. Hatiku turut pilu. Nelangsa. Tepekur kunikmati sendiri. Semua itu lantaran kebodohan yang sengaja kuperbuat. Mengguratkan kepedihan tidak hanya di batinku, tetapi juga Mas Priyo dan Yasni, putriku yang beranjak lima tahun.
Mereka adalah dua insan yang pernah kucerca hingga hatinya cacat. Karenaku, sirna kegembiraan yang tengah dirajut. Senyumnya menjadi layu, tak seperti dulu. Sikapnya menjadi tak acuh―terbukti ketika kukirimi Mas Priyo sepucuk surat yang berisi kerinduan yang mendalam terhadap dirinya dan Yasni―tak sepatah kata pun ia tanggapi. Aku tertohok dalam kenyataan ini. Aku hampir menyerah dalam menikmati balasan yang diberikan Tuhan.
Ya, ini balasan yang Tuhan beri padaku setelah sekian lama aku mengabaikan mereka. Kubuang jauh-jauh bayangan hidup susah bersama Mas Priyo dan Yasni yang selalu membutuhkan susu kaleng bermerek di swalayan. Tak kuhiraukan rajukan Mas Priyo yang sempat pelupuk matanya basah karena tangis. Ia tak ingin aku pergi. Namun, hatiku tak terenyuh. Bahkan, aku memalingkan wajah darinya lalu kuturuti perkataan amak untuk menikah dengan Annas―pengusaha asal Kalimantan―yang memiliki anak perusahaan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali.
Hampir dua tahun aku hidup bahagia dengan Annas. Perhiasan mewah, seperangkat make-up merek terkenal, menu makanan yang wah, dress limited edition, serta sempat berkeliling ke beberapa distrik yang ada di Jepang, semuanya kunikmati. Semua itu, tak pernah kudapati dari Mas Priyo. Paling-paling ia sanggup membawaku ke Anyer menikmati deburan ombak hingga senja jatuh sambil menyantap menu makanan resto yang harganya pun kami rundingkan terlebih dulu.
Maklumlah, Mas Priyo cuma penulis kacangan yang karyanya tak begitu dilirik penerbit. Berulang kali tulisannya ditawarkan ke beberapa penerbit, tetapi berulang kali juga penerbit menolak hasil karyanya. Dengan sabar, ia merevisi halaman demi halaman novel buatannya. Berminggu-minggu Mas Priyo berkutat di depan komputer pentium duanya. Ia tak pernah jemu menjalin deretan huruf itu sehingga menarik dan memiliki makna meskipun membutuhkan waktu tak sebentar. Mas Priyo tak pernah gentar akan mimpinya ingin menjadi penulis terkenal seperti Mira W. atau Putu Wijaya. Segala usaha ia kerahkan untuk mewujudkan keinginannya yang luar biasa.
Sementara aku, wanita seranjangnya, membutuhkan makan dan penghidupan yang layak. Butuh make up juga uang jajan. Terlebih ketika itu, aku tengah hamil besar yang membutuhkan ini itu untuk memenuhi kebutuhan bayiku yang tinggal hitungan minggu akan lahir ke dunia. Aku sempat meminta pada Mas Priyo untuk meninggalkan dunia khayalnya yang gila. Namun, dengan kata-katanya yang lembut, Mas Priyo memohon kesabaranku. “Sabar ya, Dek. Sebentar lagi selesai. Kali ini tulisan Mas pasti nembus penerbit,” jawabnya ketika itu. Aku menghela nafas sejenak lalu kubalas, “Takkan berguna usaha Mas selama ini. Mas cuma penulis kacangan. Lupakan mimpi gila Mas itu!” intonasiku meninggi. Mungkin kata-kataku menohok hatinya sehingga ia lekas keluar rumah meninggalkanku. Sikap seperti itu selalu dilakukannya ketika kami bertengkar. Sekata kasar pun tak pernah ia lemparkan padaku apalagi menyambut pipiku dengan sebuah tamparan. Mas Priyo selalu berhasil memadamkan amarahnya. Ia laki-laki yang lembut.
****
Ketika Yasni lahir―putri pertamaku―keadaan finansial Mas Prio memburuk. Untuk makan pun susah. Apalagi membiayai persalinan hingga beli susu. Belum lagi kekurangan lain yang membuatku merana lantaran bersuamikan Mas Priyo. Hari demi hari pipiku basah. Air mata terus-terusan menetes. Sungguh berat bersuamikan Mas Priyo yang tak berharta. Ia cuma bermodal mimpi dan berkhayal. Sementara cintaku, tiba-tiba menyurut ke titik nol. Kosong. Hampa.
Beberapa bulan setelah melahirkan Yasni, aku mengikuti anjuran amak untuk memaksa Mas Priyo agar menceraikanku. Amak tak tega melihatku terus-terusan menangis jalani kehidupan yang susah ini. Awalnya, Mas Priyo tetap menahanku untuk di sampingnya. Akan tetapi, aku terus memaksanya bercerai. Lebih dari separuh cintaku telah pudar. Ketidakberdayaan Mas Priyo yang membuatku bersikeras meninggalkannya. Aku tak mau terus-terusan melarat!
Setelah kuenyahkan bayang-bayang Mas Priyo dari hidupku, hanya berselang beberapa bulan aku dinikahi Annas, pria asal Kalimantan yang sudah tiga tahun menetap di Lampung. Di kota tapis berseri itulah ia memiliki cukup banyak perusahaan dan mendominasi dunia pasar, baik Indonesia maupun beberapa negara tetangga. Ia baik. Cukup dermawan terhadap keluargaku. Tak sedikit barang-barang branded diberikannya pada kedua adik kembarku: Fabiyan dan Febiyanti. Hidupku juga dipenuhi barang-barang mewah, tak seperti Mas Priyo, hidup dalam khayalan. Aku bahagia. Rona sukacita hampir tak pernah surut bersama Annas.
****
Beranjak dua tahun aku hidup bersama Annas. Ternyata pelipur lara pasti menjadi garam dalam alur kehidupan. Rumah tangga kami mulai goyah. Terlebih kami belum dikaruniai buah hati sehingga tak ada perantara yang dapat menyatukan dua hati sepasang manusia yang penuh egois ini. Kata-kata kasar telah membiasa di telingaku. Bahkan, beberapa kali pipiku disambut sebuah tamparan yang melayang hebat dari tangannya. Ketika itu, aku hanya bisa menangis. Meratapi nasibku, laksana insan yang tak pernah temukan kebahagiaan. Sempat beberapa kali aku mencoba kabur, tetapi langkahku seketika mati seraya Annas menghuyungkan bentakannya ke telingaku. Aku selaksa binatang buruan yang berhasil dimangsa lalu dicabik-cabik hingga terluka. Persis binatang.
Air mataku mengalir lebih hebat kali ini. Tak seperti tangisan ketika hidup susah bersama Mas Priyo. Meskipun demikian, Mas Priyo tak pernah mencaci apalagi memukul. Kalaupun bertengkar, ia hanya meninggalkan rumah sejenak untuk menenangkan pikiran. Setelah itu, peluk dan cium serta welas asihnya takkan tahan ia berikan untukku. Aku merindui lelakiku itu.
****
Akhir-akhir ini bayangan Mas Priyo membuntuti hidupku. Membuatku rindu kata-katanya yang lembut, kecupan bibirnya di keningku, serta rindu dengan sejuta mimpi gilanya ingin menjadi penulis terkenal. Juga Yasni, putri kecilku. Rupanya sudah seperti apa dia. Kali terakhir ibu hanya mengabarkan bahwa balitaku itu baik-baik saja, tetapi sekali pun tak pernah mengantarkan ringikan tangisan Yasni melalui ponsel. Rinduku semakin hebat terhadap dua insan itu. Rasanya hingga sesak hati ini menahan rindu. Mas Priyo… Yasni….
****
Satu bulan lalu aku telah mengirimkan sepucuk surat buat Mas Priyo tanpa sepengetahuan Annas. Aku mengatakan bahwa rindu ini benar-benar menyiksa. Aku ingin bertemu dengannya sambil nanti kubawa Yasni di hadapannya. Ia pasti suka. Nomor ponsel sudah kucantumkan di surat itu. Namun, Mas Priyo tidak juga menghubungiku apalagi membalas suratku. Aku sudah cek kantor pos terdekat, tetapi belum ada balasan darinya.
Sudah hari ke-2 Annas pergi ke luar kota. Belum lama ia menghubungiku lalu berkata bahwa satu minggu lagi baru akan pulang. Annas juga bilang, selama ia di luar kota, aku tak diizinkannya keluar rumah. Bahkan satu langkah pun! Sedangkan rinduku pada Mas Priyo dan Yasni, benar-benar hampir membuatku gila. Ah, tak kuhiraukan perkataan Annas. Lama-lama aku bisa mati lantaran menahan rindu.
****
Dari Lampung aku menuju Jakarta. Sebelumnya, aku ke rumah Mas Priyo, tetapi kata tetangga rumah, Mas Priyo sudah tak di situ. Sekarang menetap di Jakarta. Ah, sial! Pantas saja tak ada surat balasan darinya. Aku yakin, Mas Priyo masih mengharapkanku seranjang dengannya. Ia pasti rindu lirih manjaku di telinganya.
Melalui secarik kertas, alamat Mas Priyo tertera di situ. Permumahan Menteng-Jakarta. Ah, aku tak percaya jika itu alamat rumahnya. Paling-paling ia sudah putus asa akan mimpi gilanya lalu sekarang membabu di Jakarta. Baguslah seperti itu, daripada ia hidup dalam harapan dan khayalan.
Ketika sampai di alamat tersebut, rinduku menghebat. Nadiku hampir tak berdenyut. Lisanku jadi terbata-bata ketika dua orang pembantu menyebut nama Mas Priyo dengan sebutan Tuan. Hatiku membuncah. Tanda tanya berselerak dalam batin. Hanya dalam waktu beberapa tahun Mas Priyo sudah mempunyai rumah semewah ini? Dipanggil Tuan? Ah, sial! Jangan-jangan ini Priyo lain, bukan Masku!
****
Setelah cek dan ricek, sepertinya benar bahwa Mas Priyoku adalah pemilik rumah mewah itu. Kata dua pembantu kemarin, Mas Priyo sudah jadi penulis terkenal. Hasil karyanya jadi best seller di toko-toko buku terkemuka di seluruh Indonesia. Selain penulis, Mas Priyo juga sudah mempunyai satu pabrik garmen, cita-citanya selain menjadi penulis. Ah, Mas Priyo, si pengkhayal gila kini menjadi tenar. Pasti makan susah tak dikenalnya lagi. Mungkin sekarang banyak menu hidangan tersaji di meja makannya. Kudapan salad tak asing lagi di lidahnya. Lebih dari itu, mungkin traveling keluar negeri sering dilakukannya. Tak seperti dulu, sebatas menyeberangi pulau sekadar menikmati deburan ombak di Anyer.
Air mataku meleleh satu per satu. Menandai aku benar-benar lemah tanpanya. Rindu tak sanggup kubendung. Segera ingin berjumpa dengan lelakiku, Mas Priyo.
Aku menuju toko buku terbesar di Jakarta. Hari ini bertepatan Mas Priyo launching buku terbarunya. Sudah banyak karya yang dihasilkan suamiku itu.
Suami? Layakkah ia masih kusebut suami? Bukankah ia kupaksa bercerai lalu kutendang bayangnya dari hidupku? Masih pantaskah aku disebut istri untuknya? Masih pantaskah juga aku disebut ibu meski menelantarkan Yasni? Terlalu sempurna bila sebutan-sebutan itu ditujukan untukku.
Acara launching selesai. Akhirnya dua pasang biji mata itu saling bertumbuk di satu arah. Lama sekali aku tak ditatapnya seperti itu. Rindu, benar-benar rindu. Hingga sesak jantungku. Janji, aku tak mau meninggalkannya lagi.
“Kau tampak kurus, Dek Laila,” Mas Priyo membuka pembicaraan setelah cukup lama kami saling memandang. “Kau tetap cantik.” tambahnya.
Ya, kecantikanku memang memesona. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Priyo, banyak lelaki yang menginginkanku jadi istrinya. “Kecantikanmu tak berubah. Persis tujuh tahun lalu.”
“Mas, kuingin kau kembali,” pintaku lirih. Mas Priyo masih menatapku. Kali ini aku tak berdaya dengan semua pandangannya seolah menilik relung hatiku. Tak lama senyum simpulnya mengembang. Lelaki itu, benar-benar membuatku kepayang. Tak hanya harta yang dimiliki, tetapi juga tutur katanya lembut mewakili orang Jawa yang identik dengan kelemahlembutan.
“Berapa tahun kau tinggalkan aku, Dek? Berapa tahun aku menahan rinduku? Berapa tahun aku melukai diriku lantaran terus-terusan mengharapkanmu?”
“Mas…”
“Berapa lama aku sakit karena amak menamparku? Lihat, di pinggir bibirku ini! Bekas tamparan itu masih jelas!”
“Mas…” aku tak sanggup meneruskan kata-kataku. Suaraku memarau. Air mataku tumpah.
“Betapa susahnya aku membesarkan Yasni tanpa penghasilan apa pun, Dek!” tandas Mas Priyo.
“Yasni?”
“Ya, amak menyerahkannya padaku. Sejak kau menikah dengan si konglomerat itu, amak sudah tak mau membesarkan Yasni.”
“Mas, tapi….” kataku terputus.
“Masih pantaskah kau disebut istri? Ibu? Atau mantan ibu yang merindui anaknya?” potongnya.
“Mas, cukup! Hatiku sakit.”
“Masih pantas juga kau lihat hatimu sakit? Lihat aku, Dek! Bertahun-tahun aku menyusun remukan hati yang sudah berkeping-keping, berselerak entah di mana! Hampir mati aku karenamu,” suara Mas Priyo gemetar. Kali ini aku benar-benar menyaksikan kekecewaannya. Air matanya menitik.
“Yasni yang menguatkan aku, Dek. Anak kita hebat. Dia tangguh melewati kemelaratan ayahnya. Tak seperti ibunya!”
“Maafkan aku. Aku ingin semuanya membaik lagi,” ucapku pelan setengah memohon.
Di sekitar latar aku melihat seorang bocah mengenakan dress lengan buntung dan berpita biru yang menghiasi rambutnya. Bocah itu tengah asyik berlari-lari dan sesekali memerhatikan Mas Priyo dan aku. Itukah ia? Yasni….
“Itu anak kita. Yasni. Dia bahagia. Dia sudah bisa makan enak. Juga sudah sempat berkeliling kota dan Singapur,” Mas Priyo menunjuk bocah kecil yang sudah kukenal wajahnya. Wajahnya oval, cantik, mirip denganku. Dahinya sedikit lebar seperti ayahnya. Menandakan kecerdasan.
Selang beberapa menit, Yasni yang berdress pink menghampiri ayahnya.
“Itu ibu kamu, Yas,” Mas Priyo memperkenalkannya padaku. Yasni tak berkata apa pun. Di matanya, aku hanyalah makhluk asing.
“Melupakanmu sungguh tak mudah, Dek. Sebab itu, hingga kini aku belum juga menikah.”
“Jadi, Mas mau…?”
“Pulanglah ke rumah! Annas pasti menunggumu. Biarkan aku dan Yasni menjalani hidup kami. Kembalilah padanya!” tutupnya dengan nada bergetar. Mas Priyo membelakangi tubuhku sambil menggendong Yasni dalam pelukannya. Ia pergi meninggalkanku.
Air mataku tumpah. Kecewa. Redup hatiku. Kejam, apakah kata itu pantas untuk Mas Priyo? Rasanya tidak! Aku yang kejam, tak menghiraukannya. Semua itu lantaran kebodohanku. Aku buta, tuli, perasaanku nol. Tak bisa melihat, mendengar, dan merasakan bahwa Mas Priyo menyayangiku dengan utuh. Bulat. Aku kalah dengan waktu. Tak sabar dengan waktu yang dulu mempermainkanku di titik kemelaratan!
Senja jatuh di pelupuk mataku yang basah. Angin menusuk rusuk. Terasa linu. Sepi. Beku. Aku nelangsa. Kosong. Hatiku tak berisi. Nol. Kukerahkan jiwaku untuk kembali pulang. Bersama Annas, berharap kelembutannya.
****

Selasa, 26 Agustus 2014

Penyesalan Di Ujung Senja

Penyesalan Di Ujung Senja
Oleh: Muhammad Harjum Nurdin

Daun yang tua.
berguguran dan layu.
Seakan kering di telan waktu.
Menuggu datangnya tempat yang sejuk,
melebihi kehidupan di dunia yang fana ini.
Tempat apakah itu?
            Semua berteriak ramai, berceloteh, dan saling menghibur diri. Burung-burung seakan tak mau kalah, saling bersiulan dan berdendang dengan merdunya. Seorang anak yang imut dan menggemaskan berlari kecil ke arah ku. Wajah yang masih polos dan lugu, seperti tunas daun yang tidak mengerti tentang artinya hidup. Tak tau betapa pentingnya hidup ini. Tak mengerti apa itu artinya sebuah penyesalan. Aku terpekur mengenang kejadian dulu di waktu aku masih muda. Masa di mana aku mulai memberi arti dalam hidup ini.
        Aku seorang lelaki yang telah berumur hampir satu abad. lelaki yang menyia-nyiakan masa mudanya, lelaki yang memberi noda dalam hidup ini. lelaki yang mungkin hidupnya belum bahagia di kala muda. lelaki yang selalu di rundung kesedihan dan penyesalan yang amat dalam. Kadang aku bertanya, kenapa penyesalan itu selalu datang di akhir. Kalau saja waktu bisa di ulang aku mau memberi arti dalam hidup ini. Walau hanya sesaat.
            Aku terpekur membayangkan kejadian di masa muda ku. Ini semua berawal dari perkenalan dengan seorang wanita yang sangat ku cintai,  Perawakannya cantik, manis, baik di mataku tapi tidak dengan orang tuaku. Mereka menentang hubungan kami. Tanpa tahu letak ketidak setujuan mereka. Beribu pertanyaan menyerbu pikiranku akan ketidaksukaan mereka terhadap dia. Setiap ku tanya alasan apa yang menjadi kayu penghadang dalam hubungan kami. Mereka enggan memberiku jawaban.
            Siang itu mentari diselimuti awan hitam yang amat tebal, tak terlihat wajah mentari yang sangar itu. Aku termenung sendiri memikirkan sosok idaman hatiku selama ini, sosok yang kelak menjadi pendamping hidupku, sosok yang menjadi penyemangatku, sosok orang menemani masa tuaku. Namun sayang kisah percintaanku tidak semulus dengan apa yang aku harapkan. Ada banyak kayu yang menghadang hubungan kami, beribu masalah yang harus kami tempuh layaknya awan hitam tebal yang menyelimuti sang atap langit. Begitu berat.
            Hari ini hujan lebat, dedaunan melayang tak tau arah. Cuaca yang tidak mendukung dan berbalik dengan apa yang kurasakan saat ini. Saat dimana sebuah ikatan mempersatukan dua hati yang suci ini. Meskipun tidak di restui oleh orang tuaku. Mereka menghadiri pernikahanku dengan terpaksa. Sebegitu bencinya mereka sama dia (yang kucinta)? Perasaan ku bercampur aduk bagaikan sebuah es campur. Enak di pandang tapi keruh airnya. Aku tak bisa membendung gejolak emosi yang ada di dalam diriku. Batinku seakan berteriak. Apakah aku harus membatalkan pernikahanku? Apakah aku harus meninggalkan calon istriku ini? Aku bingung antara melanjutkan pernikahan ini apa lebih memilih orang tuaku? Tapi aku percaya kelak nanti mereka pasti akan mengerti dengan keputusan ku ini. Maafkan anakmu ini bila tidak menuruti apa yang kalian mau. Aku hanya ingin menemukan kebahagiaanku yaitu hidup bersama dengan dia wanita yang telah ku pilih untuk menemani masa tuaku.
            Suasana pernikahanku sangat ramai, sederhana tapi meriah tapi tidak dengan suasana hatiku. Bercampur aduk. Batinku seperti bom yang sewaktu-waktu hendak meledak karena suasana yang tidak sesuai dengan yang ku harapkan. Aku mengira kalau mama dan papaku menyetujui pernikahanku ini tapi  nyatanya keinginanku itu tidak berbuah manis. Mereka masih belum menyetujui pernikahan kami. Semua anggota keluarga setuju dengan pernikahanku tapi tidak dengan mama dan papaku hati mereka tak bisa di luluhkan. Begitu keras dan teguh pendirian. Tapi aku percaya lambat laun hati mereka akan bisa redup layaknya sebuah batu yang apabila sering terkena butiran hujan akan mengikis dengan sendirinya. Walaupun butuh lama untuk membuat batu itu terkikis. Itulah sebuah penantian. Penantian sampai saat ini belum aku dapatkan. Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ada di benakku yang belum menemukan jawaban. Sampai akhirnya aku lelah menunggu jawaban atas pertanyaanku. Pertanyaan yang selalu menghantui ku. Sebuah pertanyaan tentang ketidaksetujuan orang tuaku dengan pernikahan kami. Pertanyaan itu sampai sekarang di umurku yang sudah tidak muda lagi ini selalu menghantui otakku.
            “kek, napa meyamun?” ucap anak kecil lucu dan menggemaskan membuyarkan lamunanku.
Anak dari buah hati pernikahanku dengan dia. Cucu yang sangat aku sayangi.
            “Gak kok, ndi. Nenek gak melamun kok. Sana gih main lagi sama kakak, mama dan papa kamu.
            Penyesalan itu selalu datang menggerogoti pikiranku. Kadang aku berfikir untuk mengikuti apa kehendak dari mama dan papaku dulu. Harusnya aku patuh dengan perintah mereka. Aku menyesal dengan semua ini. Aku menyesal menikah di usia muda. Padahal waktu dulu mama dan papa ingin melihat aku menjadi seorang guru tapi aku malah menolak dan lebih memilih untuk segera menikah. Mungkin itu alasan mereka tidak menyetujui pernikahanku yang telah kandas duluan di tengah jalan. Aku benci dengan semua ini, muak dengan hidupku yang kelam ini. Hidup dengan orang yang ku kira akan menemani aku di kala tua, tapi nyatanya usia pernikahan baru seumur jagung ia malah meniggalkan diriku entah kemana perginya sosok orang paling ku benci itu. Tragis sekali kisah percintaanku, dikhianati orang yang ku percaya bahwa ia akan membahagiakan ku dan menemani ku saat usia sudah di ujung senja kelak. Tak terasa butiran air mataku jatuh ke pipiku yang telah kecut dan keriput. Wajah yang tak seindah dulu. Wajah yang penuh dengan penyesalan.
            Suasana sore seperti ini mungkin enak untuk santai ditemani awan sore yang sangat cerah begitupun dengan sang mentari yang nampak indah meskipun sudah semakin menua sampai ia kembali ke peraduannya. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan. Yang bisa ku lakukan sekarang hanya menunggu kehidupan yang kekal nanti dan meninggalkan dunia yang fana ini. Dunia yang penuh dengan penyesalan. Dunia yang sangat keras. Mungkin kembali ke yang maha kuasa adalah jalan terbaik untuk melupakan rasa penyesalan ini. Penyesalan yang telah bertahun-tahun ini menghantui pikiranku.
           Suasana sore ini begitu senyap, hening tanpa ada satupun suara. Burung pun enggan untuk mendendangkan suaranya yang merdu. Begitu pun angin,enggan untuk menghembuskan nafasnya. Hening yang menyelimuti diriku di kala mentari yang semakin menua. Aku bagaikan mentari yang setiap detiknya menunggu kembali ke peraduan tanpa ada satupun orang yang dapat melihatnya. Tidak banyak yang bisa ku lakukan, aku hanya menunggu waktu yang akan menjemput ku dengan membawa penyesalan ke alam yang kekal nan indah kelak. Penyesalan yang senantiasa bersamaku di kala hening yang menjemputku disaat usiaku yang sudah senja ini.

Kamis, 03 Juli 2014

DIBALIK KEPURA-PURAAN KAMI



curahan hati anak band - 15 JULI 2014
mungkin kalian kira kami bahagia!
tapi kalian tak tahu kalau kami hanya berpura-pura!
dan melalui tulisan ini, kami tak ingin lagi berpura-pura! kami juga manusia! kami ingin mengungkapkan semuanya!

diatas panggung, bolehlah kami yang menjadi pusat perhatian.
semua orang menatap kami dengan penuh puja
kami berkonsentrasi pada alat musik yang kami pegang, menunjukan skill yang kami punya
kami yang keren.
semua bersorak senang.

tapi tahukah.. pukulan drum itu sebenarnya merupakan luapan emosi?
emosi akan tidak adilnya dunia pada kami yang tak bisa memilih.
rasa bosan akan semua kekejaman duniarasa amarah- yang tak bisa diungkapkan kata-kata.

lalu tahukah.. suara distorsi gitar yang dimainkan dengan kerumitan tingkat tinggi itu.
dan semua cewek yang melihatnya langsung berseru.
sebetulnya skill itu hanya perwujudan keinginan kami, agar dunia melihat kami.
kami nggak bisa apa-apa selain merangkai melodi itu untuk membuat pendengar senang.

dan suara bass itu.
mendasari permainan.
senarnya yang berat itu , tampak ringan saja dipetiknya.
ya memang terasa ringan- ringan dibandingkan dengan masalah-masalah dunia yang makin lama makin tak masuk akal.
meskipun semua terlihat sempurna.

suara dentingan piano pun terdengar.
ya kini seorang keyboardis.
semua menyukai kelembutan permainannya
tapi tak ada yang tahu kalau hati pemainnya tak selembut permainannya.
dia berhati keras karena semua masalah yang dihadapinya- tapi tak ada cara lagi selain memainkan keyboard dengan lembut.

dan kini orang yang membawa mic
suaranya merdu- penampilannya menarik dan asik membawakan panggung
tapi mana ada yang tahu tentang nyanyian hatinya?
entah- vokalis memang paling pandai berpura-pura dihadapan semuanya.

sepertinya kami keren- kami nongkrong dengan teman-teman band kami, padahal sebenarnya kami juga ingin bersosialisasi dengan teman-teman kami yang lain. tapi karena jadwal kami yang padat kami tak bisa bersosialisasi dengan teman-teman yang lain! sekali-kali kami ingin membicarakan hal lain yang bukan tentang musik! sekali-kali kami ingin kami dianggap bukan karena musik kami...

oh ya, berhenti menilai kami pemain hati! kami tidak pernah memainkan perasaan seseorang! kami hanya merasa kesepian sehingga kami berhubungan dengan banyak orang! dan salahkan juga mereka yang tenggelam dengan kekerenan kami

yang terpenting, kami anak band. ingin cinta sejati yang tulus. bukan karena penampilan kami di panggung, bukan karena pukulan drum, bukan karena petikan gitar, jari-jari kami memainkan keyboard, atau suara merdu kami! tolong mengertilah! yang terlihat sempurna tak selalu benar-benar sempurna!

Dunia Lain

~ Aku dan “Mereka” ~
Pagi itu di hari Jumat, cuaca cukup mendukung untuk berangkat ke sekolah. Dengan pakaian olahraga, aku diantar Ayahku menggunakan sepeda motor ke sekolah. Dalam perjalanan, aku merasakan hawa dingin yang tidak enak dan seketika itu pula bulu kudukku berdiri tanpa kutahu sebabnya.
Seperti biasa, sebelum memasuki gerbang sekolah, tak lupa aku pamitan dan mencium tangan Ayahku terlebih dahulu. Memasuki gerbang sekolah, hawa tak enak yang sedari tadi menghantuiku diperjalanan semakin menjadi-jadi. Semakin cepat aku melangkah, semakin tak enak pula hawanya. Hingga pada saatnya, aku terkejut setengah mati dengan apa yang kulihat. Ada seorang lelaki yang tewas mengenaskan didepanku. Kepalanya hampir pecah dengan darah yang bercucuran dan darah itu mengenai tepat di telapak sepatuku. Kejadian itu terjadi tepat di lapangan sepakbola yang ada di sekolahku. Menyeramkan memang ! Karena hanya aku yang bisa melihat kejadian itu, sementara yang lain tidak bisa melihatnya dengan kasat mata.
Kembali aku melangkah dengan cepat menuju kelas. Aku merasa tidak enak badan disekujur tubuh. Hingga pada akhirnya, sekujur tubuhku mulai terserang demam yang cukup tinggi. Teman-teman yang lain membujukku untuk istirahat di UKS. Namun, aku tak mau karena tak ingin ketinggalan pelajaran.
“ Aku antar ke UKS ya, Raa. Biar bisa istirahat. “ bujuk salah satu temanku. Aku hanya menggelengkan kepala.
Tet . . tet . . tet . . Bunyi bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Dengan lemas aku berjalan dengan dibopong oleh salah satu temanku. Sesampai di rumah, aku hanya bisa terbaring lemah karena sakit yang tiba-tiba itu. Kemudian, aku ceritakan apa yang kulihat tadi pagi di sekolah kepada orang tuaku.
“ Ma, tadi Raraa lihat ada cowok yang meninggal di lapangan sepakbola sekolah. Kepalanya ngeriii . . hampir pecah dan darahnya mengenai tepat di sepatu Raraa. “ ungkapku lemah.
“ Kenapa nggak di tolong ? “ tanya mamaku kaget.
“ Gimana mau nolong. Orang dianya bukan dari alam kita. “ jelasku. Barulah mama mengerti. Kata mama, mungkin sakitku ini karena efek melihat peristiwa di sekolah tadi.
Ya, memang ! Aku punya penglihatan yang jarang dipunyai orang. Tapi, kadang aku takut dengan pemberian Tuhan yang satu ini. Apakah aku harus mensyukurinya atau membuangnya jauh-jauh ? Aku ingin hidup normal layaknya anak-anak yang lain, bukan abnormal seperti yang ada pada diriku ini.
Setiap ada kejadian mengerikan di sekolah, entah itu kesurupan, kerasukan, atau apalah namanya. Aku selalu mengetahui siapa “orang-orang” yang berani merasuki teman-temanku itu. Hanya saja aku bungkam, aku tak ingin dijauhi oleh teman-teman karena ketidaknormalanku ini. Aku tak ingin teman-teman menganggapku orang yang aneh karena ini lah, itu lah. Aku berusaha bersikap normal, walaupun aku tahu aku tak bisa terus-terusan menyimpan dan menyembunyikan semua ini.
***
Hari itu di sekolah, adalah hari pembagian raport kenaikan kelas. Dengan gugup aku menunggu pembagian itu. Namun, nilai-nilai di raport membuatku enggan berkomentar apa-apa.
“ Kok bisa nilaiku jadi serendah ini ? “ tanyaku dalam hati tanpa kutahu jawabannya.
Dan pembagian jurusan pun telah diumumkan. Aku mendapat jurusan Bahasa, jurusan yang memang aku minati pada saat kelas X (Sepuluh). Bertemu teman-teman baru yang tidak selokal pada saat kelas X (Sepuluh), menjadikan sensasi tersendiri didalam kelas kami. Perlahan-lahan, ku mulai akrab dengan teman-teman baruku ini. Kadang tertawa bersama, kadang juga menangis bersama-sama.
***
Pada bulan Ramadhan tahun 2012. Aku dan teman-teman mengikuti pesantren kilat seharian. Dari jam 08.00 pagi hingga habis Maghrib kami hanya ada di sekolah. Saking ramainya kami ngumpul-ngumpul, tak terasa waktu berbuka puasa akan tiba. Seluruh murid disuruh masuk ke dalam aula untuk membaca Ayat Suci Al-Quran bersama-sama. Waktu berbuka pun tiba, kami kembali ke kelas untuk makan bersama. Waktu itu, keadaan koridor sekolah lumayan gelap. Hanya beberapa kelas yang terlihat terang.
Aku dan teman-teman yang lain bersama-sama menuju ke kelas yang letaknya paling ujung. Entah karena apa, saat itu hatiku mulai merasakan sesuatu yang lain. Perasaan yang campur aduk. Semakin ku tepis, semakin mengerikan saja keadaannya. Aku pun memasuki kelas dengan raut muka yang terpaksa normal.
“ Selamat makan “ kataku kepada teman-teman yang lain.
“ Yah, nasinya udah dingin. “ keluh salah satu teman perempuanku.
“ Tapi, ikannya lumayan kok. Ada lalapannya pula. “ kataku lagi.
Dengan lahap mereka memakan makanan yang tersedia. Sementara aku ? Aku tak bisa lahap, karena aku tahu ada seorang anak perempuan yang menatapku tajam dengan wajahnya yang pucat, dibalik jendela kaca yang terpampang disamping kiriku. Namun, seolah tak terjadi apa-apa, aku berusaha menghabiskan semua makanan yang ada.
“ Aku kenyang “ kataku sambil mengelus-elus perutku.
“ Kita pulang yukk .. “ ajak temanku yang lain.
“ Yukk ... Tapi barengan yaa .. “ kataku lagi.
Aku pulang dengan hati yang gelisah. Aku gelisah karena ingin mengetahui maksud dan tujuan anak perempuan itu. Mengapa dia semakin sering menampakkan diri padaku ? Kenapa bukan kepada orang lain ?
“ Assalamualaikum.. “ kataku memberi salam setelah memasuki rumah.
“ Waalaikumsalam.. “ jawab mamaku yang sedang menonton TV.
“ Cape . . Mau makan lagi “ keluhku.
“ Itu di dapur masih ada makanan. “ kata mama dengan menunjukkan jari telunjuknya ke dapur. Aku pun makan lagi.
***
Setelah beberapa bulan kemudian, saat itu di kelas menunjukkan pukul 11.30 siang. Aku terdiam dan merebahkan kepalaku di meja. Mataku seakan tak mau tertutup, tangan dan tubuhku mulai gemetar. Aku mendengar jeritan anak perempuan yang menangis meminta tolong. Aku pun hampir menangis dibuatnya.
“ Apa yang harus kulakukan ? Aku tak bisa menyentuhmu apalagi menolongmu ! “ tanya dan sesalku dalam hati.
Teriakan demi teriakan terdengar sangat memilukan. Aku mendengar dia di caci oleh sekelompok lelaki yang aku pun tak tahu siapa. Aku hanya bisa mendengar tanpa bisa menolong. Sampai pada saatnya, teriakan itu tidak terdengar lagi dan aku memejamkan mata untuk menguasai ketakutanku.
Tak bisa kita pungkiri bahwa didunia ini ada kehidupan lain yang tidak bisa diketahui dengan kasat mata. Oleh sebab itu, hargailah mereka, jika kita menginginkan kebersamaan secara damai dalam satu dunia.

Jumat, 27 Juni 2014

Kado Terindah Di Hari Ulang Tahun

ULANG TAHUN SAHABATKU
Puisi Muh.Harjum Nurdin

Sang kuasa adil .
Memberi kita kehidupan mulia .
Teman yang mengerti keadaan .
Menuang keikhlasan .
Menimbun kebencian .
Membendung kesedihan .
Mencerahkan keceriaan .
Semua berarti .

Kelak saat kita berpisah nanti .
Dan kalau pun kelak kita di satukan kebali
dalam umur yang sudah ditentukan sang kuasa .
Keikhlasan masa lalu itu muncul .
Karena sosok seorang teman sepertimu .
Bagiku sangat lah spesial .
Dari yang tidak kenal
lalu berkenalan .
Karena keramahan .
Terima kasih kamu telah mau menerimaku sebagai seorang teman .

DOA DAN ASA
Puisi Muh.Harjum Nurdin

Kencang sang waktu berlari tak mampu ku kendalikan
dan tak mampu aku perlambat lajunya
dentang lonceng malam ini tepat kau berusia dewasa
mengiringi usia kisah kita

Tidaklah berupa rangkaian bunga
Ataupun boneka beruang seperti kepunyaan Alice
Tidak pula sebuah puisi yang ditulis dengan pena penuh puja dan puji

Aku berharap di usia Tujuh Belas Mu
Kau di beri hadiah oleh Tuhan berupa kesabaran
Sehingga saat kesakitan datang kau bisa hadapi
Dan kembali berdiri meskipun tanpa satu kaki Mu

Dan Aku berdoa agar Tuhan senantiasa mengutus malaikatnya
Untuk menjaga Mu di setiap engkau melangkah
Karena aku sadari aku tak bisa menjaga Mu seutuhnya
meskipun aku berusaha untuk seperti itu

Doa dan Harap ini akan terus saya ucap
Bukan hanya saat ini . .

Garwa ku.
Maafkan Aku
Jika Aku Tak mampu menjadi Laki-laki yang semestinya menemanimu malam ini
Dan Tak Mampu memberi Apa yang kamu inginkan
di hari dimana kau dilahirkan di 17 tahun yang lalu . ..

SEIKAT PUISI ULANG TAHUN
Oleh Muh.Harjum Nurdin

Seikat puisi ulang tahun
dapat dipesan di para pengrajin
di tepian jalan malioboro yogyakarta
bersebelahan dengan dagangan anyaman dan cindera matawarna warni

Pagi ini kupesan puisi ulang tahun seikat
pengrajin itu mengambil kertas mulai mencoba bekerja tapi ia gagal

karena ia mencoba membuat puisi ulang tahun
yang dialamatkan kepada puisi itu sendiri
akhirnya ia hanya bisa membuat prolog

jadi mari kita ganti judul puisi ini
menjadi prolog puisi ulang tahun
seikat pula
itupun kalau boleh

satu lagi
boleh tidak boleh
akan kutambahkan di baris terakhir
selamat ulang tahun cecil mariani

Yogyakarta, 12 maret 2005

ULANG TAHUN UNTUK BUNDA
Oleh Muh.Harjum Nurdin

Rentang waktu
terkadang membuat kita lupa
bahwa kita semakin dewasa

Rentang waktu
terkadang membuat kita lupa
bahwa kita telah melanggar titah Yang Kuasa

Rentang waktu
terkadang membuat kita sadar
bahwa kita hanya manusia
yang tak punya apa-apa
selain jasad yang tak berguna

Rentang waktu
terkadang membuat kita sadar
bahwa Tuhan tidak melihat harta dan rupa
melainkan hati yang ada di dalam dada
dan amal jasad yang lata

Walau Einstein berkata bahwa rentang waktu itu berbeda
tergantung dalam keadaan apa kita berada
Namun Tuhan telah berkata,
“Hanya Akulah yang tahu umur manusia”.

Sekular barat berkata,
“Waktu adalah dollar di dalam kantung”
Namun Hasan Al-Bana berkata,
“Waktu adalah pedang, potong atau terpotong”.

Waktu…..
Alam terus menari dalam simfoninya
Waktu…..
Umur manusia didikte olehnya
Waktu….. setiap detaknya
memakukan kita di persimpangan jalan
jalan Tuhan atau jalan setan

Rentang waktu…..
semoga tak melalaikan kita
tuk terus berjalan di jalan-Nya

Lhokseumawe, November ‘9

LEMBARAN BARU
Oleh Muh.Harjum Nurdin

Datang sudah hari ini,
Hari dimana dulu aku dilahirkan
Hari dimana orang tertawa sekaligus haru
Menjelang perkenalanku dengan dunia ini

Hari ini aku mengenang kembali
Kerikil-kerikil tajam yang memperkaya arti hidupku
Manisnya madu cerita hidup yang membuat senyumku lepas…
Tapi apa yang telah aku berikan
Untuk orang – orang yang tertawa sekaligus haru
Menjelang kelahiranku

hari ini genap sudah umurku 22 thn
Apa yang telah kuberikan untuk
Agamaku untuk tuhanku untuk kedua orang tuaku
Untuk sahabatku yang rela berkorban untukku

Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru…

Apa yang yang harus ku persiapkan untuk
masa depanku, untuk akhirat ku, untuk
kedua orang yang mencintaiku dan untuk tuhanku
Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang

Ya, berhutang pada diriku…
Karena ibadahku masih pas-pasan…

SELAMAT ULANG TAHUN
Oleh Muh.Harjum Nurdin

Selamat ulang tahun kawan
Selamat panjang umur
Sambut suka mu

Hari jadi mu ini
Menanarkan pandang indah masa lampau
Yang dulu keras menyapa
Yang kini lembut tersaput masa

Helai helai yang memudar putih
Menyurukkan ku pada lampau-lampau tengik yang kau ubah menjadi indah
Dalam bayang jajar lilin yang enggan terbilang
Perlambang enggan ku menyaji rindu

Selamat ulang tahun kawan ...
Demi selang masa yang telah kita lalui
Ijinkan aku
Memintakan slalu jamahan tangan Nya

Selamat Ulang Tahun Sob
Tambatkan secercah lagi
Lantun indah di hati mu

Jakarta, 05 Juni 2012
Selamat Ulang Tahun ya nDiL.


HAPPY BRITH DAY
Puisi Muh.Harjum Nurdin

Seuntai kasih membawa kita bahagia......
sepatah kata.....
membuat kita percaya...
setitik air penghapus dahaga
tapi....
persahabatan melebihi segalanya....

Di hari yang bertabur kasih
saat sesosok manusia mungil muncul
membawa kebahagiaan bagi pemiliknya...

Kini adalah hari jadi untukmu sobat....
semoga apa yang kau harapkan terkabulkan...
amin....yarobbal 'alamin;

ULANG TAHUN
Oleh Muh.Harjum Nurdin

Ulang tahun
Kau hari yang ku tunggu-tunggu
Kau juga mengingatkanku pada hari kelahiranku
Dimana bertambahnya umurku

Ulang tahun
Andai kau ada di setiap hariku
Pasti aku selalu gembira
Dan merasakan indahnya hari itu

Ulang tahun
Kau membuatku sangat bahagia
Karena hari itulah aku mendapatkan banyak hadiah
Hari ulang tahun hari yang tak penah ku lupakan

BISMILLAH KADO TERINDAH
Oleh Muh.Harjum Nurdin

Tiada kiloan emas permata
Ku persembahkan di hari istimewa
Ku sematkan kata terindah penuh makna

Bismillah.....
Satu kata penuh hikmah
Bahagia menyentuh jiwa
Terbungkus rapi bersemayang di dada

Dariku untuk mu
Ku panjatkan doa
Agar kau sehat dan bahagia

Bismillah.....
Kupersembahkan pada mu
Di hari bahagia mu
Kado terindah dalam hidup mu

HAPPY BIRTHDAY YA
Oleh Muh.Harjum Nurdin

Di Hari Ini
Enggak Ada Kata-Kata Indah Yang Bisa Ku Rangkai
Ataupun Hal Istimewa Yang Mampu Ku Urai

Mungkin Ini Gag Berarti Apa-Apa Bagimu
Tapi Yang Pasti
Do'aku Akan Iringi Di Setiap Jejak Langkahmu

Aku Menyadari Kita Udah Berpisah 1 Tahun Lebih
Gag Jumpa Hampir Setahun
Bahkan Engkau Memutuskanku 5 Bulan Lalu

Tapi Entah Kenapa
Aku Gag Pernah Bisa, Menggantikanmu Dengan Yang Lain

Beberapa Waktu Lalu,, Memang Pernah Kucoba Merelakan Hatiku Pada Yang Lain
Tapi Akhirnya,
Kandas Dalam Waktu Singkat
Hanya Karena Aku Tak Bisa Membohongi, Bahwa Hatiku Masih Untukmu

Bukan Sok Puitis,,,,,Tapi Percaya Gag Percaya Itulah Kenyataannya

Makasih Atas Warna Yang Pernah Engkau Lukis Dalam Hidupku
Dan Ijinkan Diriku Menyimpannya, Walau Mungkin Sebenarnya Aku Tak Berhak Memilikinya Lagi

Semua Ini Karena, '' KAU YANG TERINDAH''

HAPPY BIRTHDAY YAAAAAAAACH,
Semoga...... Aku Menjadi Yang TERBAIK
 

Blogger news

Blogroll

Change Background of This Blog!


Pasang Seperti Ini

About