Pages

Selasa, 26 Agustus 2014

Penyesalan Di Ujung Senja

Penyesalan Di Ujung Senja
Oleh: Muhammad Harjum Nurdin

Daun yang tua.
berguguran dan layu.
Seakan kering di telan waktu.
Menuggu datangnya tempat yang sejuk,
melebihi kehidupan di dunia yang fana ini.
Tempat apakah itu?
            Semua berteriak ramai, berceloteh, dan saling menghibur diri. Burung-burung seakan tak mau kalah, saling bersiulan dan berdendang dengan merdunya. Seorang anak yang imut dan menggemaskan berlari kecil ke arah ku. Wajah yang masih polos dan lugu, seperti tunas daun yang tidak mengerti tentang artinya hidup. Tak tau betapa pentingnya hidup ini. Tak mengerti apa itu artinya sebuah penyesalan. Aku terpekur mengenang kejadian dulu di waktu aku masih muda. Masa di mana aku mulai memberi arti dalam hidup ini.
        Aku seorang lelaki yang telah berumur hampir satu abad. lelaki yang menyia-nyiakan masa mudanya, lelaki yang memberi noda dalam hidup ini. lelaki yang mungkin hidupnya belum bahagia di kala muda. lelaki yang selalu di rundung kesedihan dan penyesalan yang amat dalam. Kadang aku bertanya, kenapa penyesalan itu selalu datang di akhir. Kalau saja waktu bisa di ulang aku mau memberi arti dalam hidup ini. Walau hanya sesaat.
            Aku terpekur membayangkan kejadian di masa muda ku. Ini semua berawal dari perkenalan dengan seorang wanita yang sangat ku cintai,  Perawakannya cantik, manis, baik di mataku tapi tidak dengan orang tuaku. Mereka menentang hubungan kami. Tanpa tahu letak ketidak setujuan mereka. Beribu pertanyaan menyerbu pikiranku akan ketidaksukaan mereka terhadap dia. Setiap ku tanya alasan apa yang menjadi kayu penghadang dalam hubungan kami. Mereka enggan memberiku jawaban.
            Siang itu mentari diselimuti awan hitam yang amat tebal, tak terlihat wajah mentari yang sangar itu. Aku termenung sendiri memikirkan sosok idaman hatiku selama ini, sosok yang kelak menjadi pendamping hidupku, sosok yang menjadi penyemangatku, sosok orang menemani masa tuaku. Namun sayang kisah percintaanku tidak semulus dengan apa yang aku harapkan. Ada banyak kayu yang menghadang hubungan kami, beribu masalah yang harus kami tempuh layaknya awan hitam tebal yang menyelimuti sang atap langit. Begitu berat.
            Hari ini hujan lebat, dedaunan melayang tak tau arah. Cuaca yang tidak mendukung dan berbalik dengan apa yang kurasakan saat ini. Saat dimana sebuah ikatan mempersatukan dua hati yang suci ini. Meskipun tidak di restui oleh orang tuaku. Mereka menghadiri pernikahanku dengan terpaksa. Sebegitu bencinya mereka sama dia (yang kucinta)? Perasaan ku bercampur aduk bagaikan sebuah es campur. Enak di pandang tapi keruh airnya. Aku tak bisa membendung gejolak emosi yang ada di dalam diriku. Batinku seakan berteriak. Apakah aku harus membatalkan pernikahanku? Apakah aku harus meninggalkan calon istriku ini? Aku bingung antara melanjutkan pernikahan ini apa lebih memilih orang tuaku? Tapi aku percaya kelak nanti mereka pasti akan mengerti dengan keputusan ku ini. Maafkan anakmu ini bila tidak menuruti apa yang kalian mau. Aku hanya ingin menemukan kebahagiaanku yaitu hidup bersama dengan dia wanita yang telah ku pilih untuk menemani masa tuaku.
            Suasana pernikahanku sangat ramai, sederhana tapi meriah tapi tidak dengan suasana hatiku. Bercampur aduk. Batinku seperti bom yang sewaktu-waktu hendak meledak karena suasana yang tidak sesuai dengan yang ku harapkan. Aku mengira kalau mama dan papaku menyetujui pernikahanku ini tapi  nyatanya keinginanku itu tidak berbuah manis. Mereka masih belum menyetujui pernikahan kami. Semua anggota keluarga setuju dengan pernikahanku tapi tidak dengan mama dan papaku hati mereka tak bisa di luluhkan. Begitu keras dan teguh pendirian. Tapi aku percaya lambat laun hati mereka akan bisa redup layaknya sebuah batu yang apabila sering terkena butiran hujan akan mengikis dengan sendirinya. Walaupun butuh lama untuk membuat batu itu terkikis. Itulah sebuah penantian. Penantian sampai saat ini belum aku dapatkan. Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ada di benakku yang belum menemukan jawaban. Sampai akhirnya aku lelah menunggu jawaban atas pertanyaanku. Pertanyaan yang selalu menghantui ku. Sebuah pertanyaan tentang ketidaksetujuan orang tuaku dengan pernikahan kami. Pertanyaan itu sampai sekarang di umurku yang sudah tidak muda lagi ini selalu menghantui otakku.
            “kek, napa meyamun?” ucap anak kecil lucu dan menggemaskan membuyarkan lamunanku.
Anak dari buah hati pernikahanku dengan dia. Cucu yang sangat aku sayangi.
            “Gak kok, ndi. Nenek gak melamun kok. Sana gih main lagi sama kakak, mama dan papa kamu.
            Penyesalan itu selalu datang menggerogoti pikiranku. Kadang aku berfikir untuk mengikuti apa kehendak dari mama dan papaku dulu. Harusnya aku patuh dengan perintah mereka. Aku menyesal dengan semua ini. Aku menyesal menikah di usia muda. Padahal waktu dulu mama dan papa ingin melihat aku menjadi seorang guru tapi aku malah menolak dan lebih memilih untuk segera menikah. Mungkin itu alasan mereka tidak menyetujui pernikahanku yang telah kandas duluan di tengah jalan. Aku benci dengan semua ini, muak dengan hidupku yang kelam ini. Hidup dengan orang yang ku kira akan menemani aku di kala tua, tapi nyatanya usia pernikahan baru seumur jagung ia malah meniggalkan diriku entah kemana perginya sosok orang paling ku benci itu. Tragis sekali kisah percintaanku, dikhianati orang yang ku percaya bahwa ia akan membahagiakan ku dan menemani ku saat usia sudah di ujung senja kelak. Tak terasa butiran air mataku jatuh ke pipiku yang telah kecut dan keriput. Wajah yang tak seindah dulu. Wajah yang penuh dengan penyesalan.
            Suasana sore seperti ini mungkin enak untuk santai ditemani awan sore yang sangat cerah begitupun dengan sang mentari yang nampak indah meskipun sudah semakin menua sampai ia kembali ke peraduannya. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan. Yang bisa ku lakukan sekarang hanya menunggu kehidupan yang kekal nanti dan meninggalkan dunia yang fana ini. Dunia yang penuh dengan penyesalan. Dunia yang sangat keras. Mungkin kembali ke yang maha kuasa adalah jalan terbaik untuk melupakan rasa penyesalan ini. Penyesalan yang telah bertahun-tahun ini menghantui pikiranku.
           Suasana sore ini begitu senyap, hening tanpa ada satupun suara. Burung pun enggan untuk mendendangkan suaranya yang merdu. Begitu pun angin,enggan untuk menghembuskan nafasnya. Hening yang menyelimuti diriku di kala mentari yang semakin menua. Aku bagaikan mentari yang setiap detiknya menunggu kembali ke peraduan tanpa ada satupun orang yang dapat melihatnya. Tidak banyak yang bisa ku lakukan, aku hanya menunggu waktu yang akan menjemput ku dengan membawa penyesalan ke alam yang kekal nan indah kelak. Penyesalan yang senantiasa bersamaku di kala hening yang menjemputku disaat usiaku yang sudah senja ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Change Background of This Blog!


Pasang Seperti Ini

About