
SEPUCUK SURAT SANG PERINDU
Karya: Muhammad Harjum Nurdin
Saat mega mulai berarak. Biru langit
berganti kemerahan. Raja siang nan gagah pun sayup-sayup menuju barat. Senja
jatuh di desa itu. Desa kelahiranku, 19
tahun lalu….
Aku duduk di kursi kayu tua yang umurnya kira-kira sudah beranjak 20 tahunan sambil menatap jalan, hampir di sepanjang tepian, dipenuhi tanaman perdu. Tumbuhan yang tak berbatang besar itu tumbuh kokoh meski tidak tegak. Sementara di sisi lain, sepoian angin bertiup kencang tidak seperti biasa. Dingin. Beku. Mengembuskan nuansa kerinduan.
Rindu? Apakah aku tengah merasakan itu? Ya, rasa itu belakangan ini menjalar hebat hingga membuncah di urat nadi. Hatiku turut pilu. Nelangsa. Tepekur kunikmati sendiri. Semua itu lantaran kebodohan yang sengaja kuperbuat. Mengguratkan kerinduan tidak hanya di batinku, tetapi juga Serly mantan kekasihku.
Dia adalah insan yang pernah kucerca hingga hatinya cacat. Karenaku, sirna kegembiraan yang tengah dirajut. Senyumnya menjadi layu, tak seperti dulu. Sikapnya menjadi tak acuh, terbukti ketika kukirimi Serly sepucuk surat yang berisi kerinduan yang mendalam terhadap dirinya. tak sepatah kata pun ia tanggapi. Aku tertohok dalam kenyataan ini. Aku hampir menyerah dalam menikmati balasan yang diberikan Tuhan.
Ya, ini balasan yang Tuhan beri padaku setelah sekian lama aku mengabaikan dia. Kubuang jauh-jauh bayangan hidup susah bersama Serly yang selalu membutuhkan cinta dan kasih sayangku. Tak kuhiraukan rajukan Serly yang sempat pelupuk matanya basah karena tangis. Ia tak ingin aku pergi. Namun, hatiku tak terenyuh. Bahkan, aku memalingkan wajah darinya lalu kuturuti perkataan Ibu untuk merajut hubungan dengan dian yang juga adalah orang terdekatku.
Hampir satu tahun aku pacaran dengan dian. Kendaraan yang wah, Baju merk distro, menu makanan yang wah, shoes limited edition, serta sempat berkeliling ke beberapa distrik yang ada di Makassar, semuanya kunikmati. Semua itu, tak pernah kudapati dari Serly. Paling-paling ia sanggup membawaku ke Pantai losari menikmati deburan ombak hingga senja jatuh sambil menyantap menu makanan resto yang harganya pun kami rundingkan terlebih dulu.
Aku duduk di kursi kayu tua yang umurnya kira-kira sudah beranjak 20 tahunan sambil menatap jalan, hampir di sepanjang tepian, dipenuhi tanaman perdu. Tumbuhan yang tak berbatang besar itu tumbuh kokoh meski tidak tegak. Sementara di sisi lain, sepoian angin bertiup kencang tidak seperti biasa. Dingin. Beku. Mengembuskan nuansa kerinduan.
Rindu? Apakah aku tengah merasakan itu? Ya, rasa itu belakangan ini menjalar hebat hingga membuncah di urat nadi. Hatiku turut pilu. Nelangsa. Tepekur kunikmati sendiri. Semua itu lantaran kebodohan yang sengaja kuperbuat. Mengguratkan kerinduan tidak hanya di batinku, tetapi juga Serly mantan kekasihku.
Dia adalah insan yang pernah kucerca hingga hatinya cacat. Karenaku, sirna kegembiraan yang tengah dirajut. Senyumnya menjadi layu, tak seperti dulu. Sikapnya menjadi tak acuh, terbukti ketika kukirimi Serly sepucuk surat yang berisi kerinduan yang mendalam terhadap dirinya. tak sepatah kata pun ia tanggapi. Aku tertohok dalam kenyataan ini. Aku hampir menyerah dalam menikmati balasan yang diberikan Tuhan.
Ya, ini balasan yang Tuhan beri padaku setelah sekian lama aku mengabaikan dia. Kubuang jauh-jauh bayangan hidup susah bersama Serly yang selalu membutuhkan cinta dan kasih sayangku. Tak kuhiraukan rajukan Serly yang sempat pelupuk matanya basah karena tangis. Ia tak ingin aku pergi. Namun, hatiku tak terenyuh. Bahkan, aku memalingkan wajah darinya lalu kuturuti perkataan Ibu untuk merajut hubungan dengan dian yang juga adalah orang terdekatku.
Hampir satu tahun aku pacaran dengan dian. Kendaraan yang wah, Baju merk distro, menu makanan yang wah, shoes limited edition, serta sempat berkeliling ke beberapa distrik yang ada di Makassar, semuanya kunikmati. Semua itu, tak pernah kudapati dari Serly. Paling-paling ia sanggup membawaku ke Pantai losari menikmati deburan ombak hingga senja jatuh sambil menyantap menu makanan resto yang harganya pun kami rundingkan terlebih dulu.
Suatu ketika aku di ajak serly untuk
jalan-jalan sambil menikmati sejuknya embun pagi di sebuah taman mini di
Makassar, jadi aku pun hendak terima ajakannya. Ketika itu karena kufikir sudah
lama aku tak merasakan riangnya berdebat di atas motor kala bepergian bersamanya.
Dan aku tak menyangka segala yang terbesit difikiranku terjadi demikian.
Aku sangat rindu dengan senyumnya kala
aku lagi duduk bersamanya di sebuah taman sambil memotret siluet wajahnya yang
membuatku jatuh hati kembali padanya.
Selang waktu beberapa menit aku melihat
burung-burung segera beterbangan dengan kicauannya di angkasa. Hal itu
menandakan bahwa hujan mulai datang sore ini. Namun, aku tak menghiraukan hal
itu. Aku masih saja duduk di taman bersamanya dengan pakaian seragam hitam
putih yang mungkin tak serapi tadi pagi. Rasa sedih sering kali datang di dalam
hatiku.
Teringat akan semua kenangan manis antara aku dengannya. Namun, semua telah berlalu. Kini aku dan dia sudah tak lagi sama. Idealisme kami sudah berbeda kadang aku suka ini, dia suka itu. Saat itu juga seringkali terjadi cekcok di antara kami berdua. Hingga akhirnya dulu aku lebih memilih berpisah dengannya. Dan kini yang tersisa hanya bayang-bayangnya yang selalu tersimpan di lubuk hatiku.
Gerimispun datang, namun, aku tak menghiraukan hal itu. Aku masih saja duduk di taman. Hingga akhirnya hujan begitu deras datang. Sebenarnya enggan aku untuk pergi dari tempat dudukku semula. Namun, jika aku tak segera pergi dan pulang, pasti nanti dian mencariku dan mengomeliku habis-habisan.
Teringat akan semua kenangan manis antara aku dengannya. Namun, semua telah berlalu. Kini aku dan dia sudah tak lagi sama. Idealisme kami sudah berbeda kadang aku suka ini, dia suka itu. Saat itu juga seringkali terjadi cekcok di antara kami berdua. Hingga akhirnya dulu aku lebih memilih berpisah dengannya. Dan kini yang tersisa hanya bayang-bayangnya yang selalu tersimpan di lubuk hatiku.
Gerimispun datang, namun, aku tak menghiraukan hal itu. Aku masih saja duduk di taman. Hingga akhirnya hujan begitu deras datang. Sebenarnya enggan aku untuk pergi dari tempat dudukku semula. Namun, jika aku tak segera pergi dan pulang, pasti nanti dian mencariku dan mengomeliku habis-habisan.
Ternyata firasatku tak meleset
sedikitpun. Dian menelfonku dengan penuh cemas dan menanyakan keberadaanku.
Tapi aku tak ingin lagi ketahuan kali ini, aku pun menjawab pertanyaan itu
dengan suara yang nyaring seakan tak ada sesuatu yang aku sembunyikan darinya.
Dian: “halo hero kamu dimana?
Aku: “aku lagi dirumah. Kamu dimana?
Dian: “lagi di rumah ifa.
Aku: “dalam rangka apa kamu berkunjung
kerumah ifa?
Dian: “yah sekadar silaturrahmi sayang,
sekaligus refreshing ini. Oh iya sepertinya aku mendengar suara cewek dekat
kamu sayang. Siapa dia?
Aku: “ oh itu, ibu tadi memanggil-manggil.
Tunggu sebentar yah aku kesana dulu.
Dian: “oh iya aku tunggu yah.
Tittt..tit…tittttttt aku tutup telfon
dari dian dan segera kembali menyapa serly yang berada di belakangku. Sempat
terpatri dalam hati aku merasa sepertinya dian curiga denganku hari ini. Aku
tak memberikan kabar sejak tadi pagi. Dian orangnya over protektif selalu ingin
mengetahui apa yang kuperbuat setiap hari, ia juga selalu cemburu bilamana aku
merajut hubungan dengan serly lagi, karena ia tahu bahwa aku masih memendam
rasa terhadapnya.
Serly yang juga mantan kekasihku saat itu
pamit meninggalkanku, ia ingin aku hidup tenang menjalani hubunganku dengan
dian. Ia juga menitip pesan untukku sebelum melangkah pergi meninggalkanku agar
aku bisa bersikap dewasa dan juga bisa membahagiakan orang-orang di sekitarku.
Pesan itu tak akan aku lupa. Saat itu juga perasaanku tak bisa tertebak lagi
sudah bercampuraduk. Aku merasakan sakit yang tertancap tepat di lubuk hatiku.
Sungguh ku mengakui kebenaran pepatah itu “penyesalan selalu di akhir”.
Kini aku pulang membawa luka. Luka yang
mungkin saja tak bisa kupendam dengan mengatasnamakan cinta dan kasih sayang,
karena aku telah tertipu olehnya beberapa kali. Isak tangis pun mengiringi
perpisahanku hingga aku sampai di rumah. Saat tiba di rumah, tak pikir panjang
lagi, aku masuk ke dalam kamar kemudian aku membuka bajuku yang basah terkena
guyuran hujan tadi. Tasku yang berisikan kamera aku buka dengan tujuan ingin
melihat hasil foto-foto bersamanya di detik detik perpisahanku dengan serly.
Tapi ironinya setelah aku keluarkan kamera itu dari tempatnya, aku mendapatkan
sepucuk surat yang enggan aku tahu siapa penulisnya. Karena rasa penasaran aku
pun membuka secara perlahan isi surat itu. Dan ternyata serly penulis surat
itu. Aku kaget dan langsung membaca isi surat yang berisikan luapan perasaan
yang tengah serly rasakan saat ini.
Deretan
kata demi kata tertulis dengan tebal di pembuka surat itu “izinkan aku
meluapkan torehan perasaanku saat ini”.
Apa
mungkin terakhir kali kulihat kau tersenyum padaku?
Apa mungkin terakhir kali kau sambut hangat teguranku?
Apa mungkin terakhir kali kau mencegatku hanya untuk mengajakku berbicara?
Apa mungkin terakhir kali situasi masih sama seperti dulu?
Apa mungkin terakhir kali kau sambut hangat teguranku?
Apa mungkin terakhir kali kau mencegatku hanya untuk mengajakku berbicara?
Apa mungkin terakhir kali situasi masih sama seperti dulu?
Ya,
berubah.
Rasanya
aneh menilik histori beberapa bulan terakhir saat kita masih bisa berperilaku
seperti biasa layaknya remaja putra dan putri yang masih baru sama-sama
mengenal. Kau dan aku yang menemukan hal baru. Kau dan aku yang tertawa lepas.
Kau dan aku yang saling membantu. Kau dan aku yang masih ada dalam zona nyaman
itu.
Namun
kini, aku merindukan masa-masa itu.
Seperti
melecut drastis dari kenyataan. Ibarat orang asing. Dua orang yang tak lagi
saling kenal satu sama lain. Terpojok lantaran keadaan. Tidak, aku bukannya
ingin berada dalam dekapanmu. Tapi hati ini tak pelak menuntut lebih dari
segala hal manis yang pernah kita lewati bersama. Atau cukup kusebut manis
untuk diriku sendiri?
Aku
ingin hal itu terulang lagi, wahai kamu. Aku ingin bisa menyawakan hari-hari
manis itu kembali. Aku ingin kamu juga turut merasakan hal-hal manis tersebut.
Aku berharap jua ada kembang api yang berpetasan dalam dadamu saat mengalami
peristiwa sederhana itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Kau justru lebih memilih
orang yang tak mengerti keadaanmu. Sungguh aku tak bisa memaksamu untuk
kumiliki.
Tak
ada yang salah dalam kasih terhadap seseorang yang terpilih tanpa syarat dari
hati. Kenyataan hakiki yang bawaku berperilaku berbeda terhadap kamu. Mungkin
aku terlalu penasaran akan apa yang terjadi di hidupmu atau bagaimana kamu yang
dulu. Itu alami. Sesuatu tak sama yang pernah kulakukan terhadapmu, semua
membumbung atas dasar ikatan yang masih
abu-abu bagiku. Hanya kagum? Telah menyayangi? Atau, terlampau mencintai?
Ada
waktu dimana aku sangat ingin menangkap dalam-dalam kasih yang bermekaran sesak
ini. Dan ada waktu pula dimana aku ingin kamu mengetahuinya.
Terlepas
bahwa itu akan menurunkan harga diriku sebagai wanita. Tapi, mau bagaimana
lagi? Aku mencoba untuk tak memedulikannya. Aku mencoba untuk mengabaikannya.
Aku berusaha untuk memperbaikinya. Namun semua berbuah tak berguna. Bisakah
kamu membantuku mengetahui apa nama rasa tatkala pilu mengunjungi kita di saat
mengingat senyuman orang yang selama ini selalu kamu fikirkan?
Egoiskah
tindak-tandukku? Benarkah cinta mampu melumpuhkan akal sehat? Atau, benarkah
cinta hanyalah sebuah cerita fiksi yang selalu bisa buatku terbang dan
terkekang di saat yang sama?
Setidaknya,
sekarang aku tahu apa yang aku mau. Memikirkanmu hanya mampu buatku pilu.
Menggertakkan genggam yang sebelumnya kupegang teguh. Kamu akan selalu terpatri
dalam hati, namun saat kumerasa kamulah penghalangku untuk maju, haruskah aku
membiarkanmu pergi seperti yang lalu? Haruskah aku melupakan kamu? Haruskah aku
berhenti memikirkan kamu? Haruskah aku menghapus memoar-memoar indah itu?
Kamu
tahu? Aku cemburu. Cemburu terhadap masa yang lalu. Saat kita masih bersama
tanpa ragu.
Biografi Penulis
0 komentar:
Posting Komentar