Pages

Minggu, 15 Maret 2015

MASIH TENTANG CINTA DAN KERINDUAN DALAM SEBUAH EPISODE

   
                     
                        SEPUCUK SURAT SANG PERINDU
                    Karya: Muhammad Harjum Nurdin

Saat mega mulai berarak. Biru langit berganti kemerahan. Raja siang nan gagah pun sayup-sayup menuju barat. Senja jatuh di desa itu. Desa kelahiranku, 19  tahun lalu….
Aku duduk di kursi kayu tua yang umurnya kira-kira sudah beranjak 20 tahunan sambil menatap jalan, hampir di sepanjang tepian, dipenuhi tanaman perdu. Tumbuhan yang tak berbatang besar itu tumbuh kokoh meski tidak tegak. Sementara di sisi lain, sepoian angin bertiup kencang tidak seperti biasa. Dingin. Beku. Mengembuskan nuansa kerinduan.
Rindu? Apakah aku tengah merasakan itu? Ya, rasa itu belakangan ini menjalar hebat hingga membuncah di urat nadi. Hatiku turut pilu. Nelangsa. Tepekur kunikmati sendiri. Semua itu lantaran kebodohan yang sengaja kuperbuat. Mengguratkan kerinduan tidak hanya di batinku, tetapi juga Serly mantan kekasihku.
Dia adalah insan yang pernah kucerca hingga hatinya cacat. Karenaku, sirna kegembiraan yang tengah dirajut. Senyumnya menjadi layu, tak seperti dulu. Sikapnya menjadi tak acuh, terbukti ketika kukirimi Serly sepucuk surat yang berisi kerinduan yang mendalam terhadap dirinya. tak sepatah kata pun ia tanggapi. Aku tertohok dalam kenyataan ini. Aku hampir menyerah dalam menikmati balasan yang diberikan Tuhan.
Ya, ini balasan yang Tuhan beri padaku setelah sekian lama aku mengabaikan dia. Kubuang jauh-jauh bayangan hidup susah bersama Serly yang selalu membutuhkan cinta dan kasih sayangku. Tak kuhiraukan rajukan Serly yang sempat pelupuk matanya basah karena tangis. Ia tak ingin aku pergi. Namun, hatiku tak terenyuh. Bahkan, aku memalingkan wajah darinya lalu kuturuti perkataan Ibu untuk merajut hubungan dengan dian yang juga adalah orang terdekatku.
Hampir satu tahun aku pacaran dengan dian. Kendaraan yang wah, Baju merk distro, menu makanan yang wah, shoes limited edition, serta sempat berkeliling ke beberapa distrik yang ada di Makassar, semuanya kunikmati. Semua itu, tak pernah kudapati dari Serly. Paling-paling ia sanggup membawaku ke Pantai losari menikmati deburan ombak hingga senja jatuh sambil menyantap menu makanan resto yang harganya pun kami rundingkan terlebih dulu.
Suatu ketika aku di ajak serly untuk jalan-jalan sambil menikmati sejuknya embun pagi di sebuah taman mini di Makassar, jadi aku pun hendak terima ajakannya. Ketika itu karena kufikir sudah lama aku tak merasakan riangnya berdebat di atas motor kala bepergian bersamanya. Dan aku tak menyangka segala yang terbesit difikiranku terjadi demikian.
Aku sangat rindu dengan senyumnya kala aku lagi duduk bersamanya di sebuah taman sambil memotret siluet wajahnya yang membuatku jatuh hati kembali padanya.
Selang waktu beberapa menit aku melihat burung-burung segera beterbangan dengan kicauannya di angkasa. Hal itu menandakan bahwa hujan mulai datang sore ini. Namun, aku tak menghiraukan hal itu. Aku masih saja duduk di taman bersamanya dengan pakaian seragam hitam putih yang mungkin tak serapi tadi pagi. Rasa sedih sering kali datang di dalam hatiku.
Teringat akan semua kenangan manis antara aku dengannya. Namun, semua telah berlalu. Kini aku dan dia sudah tak lagi sama. Idealisme kami sudah berbeda kadang aku suka ini, dia suka itu. Saat itu juga seringkali terjadi cekcok di antara kami berdua. Hingga akhirnya dulu aku lebih memilih berpisah dengannya. Dan kini yang tersisa hanya bayang-bayangnya yang selalu tersimpan di lubuk hatiku.
Gerimispun datang, namun, aku tak menghiraukan hal itu. Aku masih saja duduk di taman. Hingga akhirnya hujan begitu deras datang. Sebenarnya enggan aku untuk pergi dari tempat dudukku semula. Namun, jika aku tak segera pergi dan pulang, pasti nanti dian mencariku dan mengomeliku habis-habisan.
Ternyata firasatku tak meleset sedikitpun. Dian menelfonku dengan penuh cemas dan menanyakan keberadaanku. Tapi aku tak ingin lagi ketahuan kali ini, aku pun menjawab pertanyaan itu dengan suara yang nyaring seakan tak ada sesuatu yang aku sembunyikan darinya.
Dian: “halo hero kamu dimana?
Aku: “aku lagi dirumah. Kamu dimana?
Dian: “lagi di rumah ifa.
Aku: “dalam rangka apa kamu berkunjung kerumah ifa?
Dian: “yah sekadar silaturrahmi sayang, sekaligus refreshing ini. Oh iya sepertinya aku mendengar suara cewek dekat kamu sayang. Siapa dia?
Aku: “ oh itu, ibu tadi memanggil-manggil. Tunggu sebentar yah aku kesana dulu.
Dian: “oh iya aku tunggu yah.
Tittt..tit…tittttttt aku tutup telfon dari dian dan segera kembali menyapa serly yang berada di belakangku. Sempat terpatri dalam hati aku merasa sepertinya dian curiga denganku hari ini. Aku tak memberikan kabar sejak tadi pagi. Dian orangnya over protektif selalu ingin mengetahui apa yang kuperbuat setiap hari, ia juga selalu cemburu bilamana aku merajut hubungan dengan serly lagi, karena ia tahu bahwa aku masih memendam rasa terhadapnya.
 Serly yang juga mantan kekasihku saat itu pamit meninggalkanku, ia ingin aku hidup tenang menjalani hubunganku dengan dian. Ia juga menitip pesan untukku sebelum melangkah pergi meninggalkanku agar aku bisa bersikap dewasa dan juga bisa membahagiakan orang-orang di sekitarku. Pesan itu tak akan aku lupa. Saat itu juga perasaanku tak bisa tertebak lagi sudah bercampuraduk. Aku merasakan sakit yang tertancap tepat di lubuk hatiku. Sungguh ku mengakui kebenaran pepatah itu “penyesalan selalu di akhir”.
 Kini aku pulang membawa luka. Luka yang mungkin saja tak bisa kupendam dengan mengatasnamakan cinta dan kasih sayang, karena aku telah tertipu olehnya beberapa kali. Isak tangis pun mengiringi perpisahanku hingga aku sampai di rumah. Saat tiba di rumah, tak pikir panjang lagi, aku masuk ke dalam kamar kemudian aku membuka bajuku yang basah terkena guyuran hujan tadi. Tasku yang berisikan kamera aku buka dengan tujuan ingin melihat hasil foto-foto bersamanya di detik detik perpisahanku dengan serly. Tapi ironinya setelah aku keluarkan kamera itu dari tempatnya, aku mendapatkan sepucuk surat yang enggan aku tahu siapa penulisnya. Karena rasa penasaran aku pun membuka secara perlahan isi surat itu. Dan ternyata serly penulis surat itu. Aku kaget dan langsung membaca isi surat yang berisikan luapan perasaan yang tengah serly rasakan saat ini.
Deretan kata demi kata tertulis dengan tebal di pembuka surat itu “izinkan aku meluapkan torehan perasaanku saat ini”.
Apa mungkin terakhir kali kulihat kau tersenyum padaku?
Apa mungkin terakhir kali kau sambut hangat teguranku?
Apa mungkin terakhir kali kau mencegatku hanya untuk mengajakku berbicara?
Apa mungkin terakhir kali situasi masih sama seperti dulu?
Ya, berubah.
Rasanya aneh menilik histori beberapa bulan terakhir saat kita masih bisa berperilaku seperti biasa layaknya remaja putra dan putri yang masih baru sama-sama mengenal. Kau dan aku yang menemukan hal baru. Kau dan aku yang tertawa lepas. Kau dan aku yang saling membantu. Kau dan aku yang masih ada dalam zona nyaman itu.
Namun kini, aku merindukan masa-masa itu.
Seperti melecut drastis dari kenyataan. Ibarat orang asing. Dua orang yang tak lagi saling kenal satu sama lain. Terpojok lantaran keadaan. Tidak, aku bukannya ingin berada dalam dekapanmu. Tapi hati ini tak pelak menuntut lebih dari segala hal manis yang pernah kita lewati bersama. Atau cukup kusebut manis untuk diriku sendiri?
Aku ingin hal itu terulang lagi, wahai kamu. Aku ingin bisa menyawakan hari-hari manis itu kembali. Aku ingin kamu juga turut merasakan hal-hal manis tersebut. Aku berharap jua ada kembang api yang berpetasan dalam dadamu saat mengalami peristiwa sederhana itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Kau justru lebih memilih orang yang tak mengerti keadaanmu. Sungguh aku tak bisa memaksamu untuk kumiliki.
Tak ada yang salah dalam kasih terhadap seseorang yang terpilih tanpa syarat dari hati. Kenyataan hakiki yang bawaku berperilaku berbeda terhadap kamu. Mungkin aku terlalu penasaran akan apa yang terjadi di hidupmu atau bagaimana kamu yang dulu. Itu alami. Sesuatu tak sama yang pernah kulakukan terhadapmu, semua membumbung atas dasar ikatan yang masih  abu-abu bagiku. Hanya kagum? Telah menyayangi? Atau, terlampau mencintai?
Ada waktu dimana aku sangat ingin menangkap dalam-dalam kasih yang bermekaran sesak ini. Dan ada waktu pula dimana aku ingin kamu mengetahuinya.
Terlepas bahwa itu akan menurunkan harga diriku sebagai wanita. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku mencoba untuk tak memedulikannya. Aku mencoba untuk mengabaikannya. Aku berusaha untuk memperbaikinya. Namun semua berbuah tak berguna. Bisakah kamu membantuku mengetahui apa nama rasa tatkala pilu mengunjungi kita di saat mengingat senyuman orang yang selama ini selalu kamu fikirkan?
Egoiskah tindak-tandukku? Benarkah cinta mampu melumpuhkan akal sehat? Atau, benarkah cinta hanyalah sebuah cerita fiksi yang selalu bisa buatku terbang dan terkekang di saat yang sama?
Setidaknya, sekarang aku tahu apa yang aku mau. Memikirkanmu hanya mampu buatku pilu. Menggertakkan genggam yang sebelumnya kupegang teguh. Kamu akan selalu terpatri dalam hati, namun saat kumerasa kamulah penghalangku untuk maju, haruskah aku membiarkanmu pergi seperti yang lalu? Haruskah aku melupakan kamu? Haruskah aku berhenti memikirkan kamu? Haruskah aku menghapus memoar-memoar indah itu?
Kamu tahu? Aku cemburu. Cemburu terhadap masa yang lalu. Saat kita masih bersama tanpa ragu.


Biografi Penulis

         Muhammad Harjum Nurdin, lahir di gowa, sungguminasa, pada 16 Juni 1995. Ia adalah alumni MAN 1 Makassar. Saat ini, ia tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar.









0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Change Background of This Blog!


Pasang Seperti Ini

About