Pages

Senin, 07 Maret 2016

STRUKTUR LEKSIKAL



MAKALAH TUGAS AKHIR
SEMANTIK
STRUKTUR LEKSIKAL
                           
DISUSUN OLEH :
                                                        MUH.HARJUM NURDIN


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNVERSITAS NEGERI MAKASSAR




                                   PEMBAHASAN


A.    .MAKNA LEKSIKAL DAN STRUKTUR LEKSIKAL
Jenis makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna referensial dan nonreferensial. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif. Berdasarkan ketepatan maknanya dapat dibedakan adanya makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Selain pembagian tersebut, jenis makna dapat pula digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu (a) makna leksikal dan (b) makna kontekstual.
            Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler,kosa kata,perbendaharaan kata ). Satuan dari leksikon adalah leksem , yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.
Struktur leksikal adalah bermacam-macam pertalian semantik yang terdapat di dalam kata. Suatu kata merupakan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Ini merupakan akibat dari kandungan komponen makna yang kompleks. Ada beberapa hubungan semantis (antarmakna) yang memperlihatkan adanya persamaan, pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainnya. Hubungan inilah yang dikenal dalam ilmu bahasa, di antaranya, sebagai sinonimi, polisemi, homonimi, hiponimi, dan antonimi.
a.)    SINONIMI
Secara etimologi sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’.  Beberapa pakar linguistik terkemuka memberikan definisi tentang sinonim. Menurut Matthews (1997:367), sinonim adalah “the relation between two lexical units with a shared meaning.” Verhaar (1999:394) melambangkan suatu kata dalam kasus sinonim dengan X dan kata lainnya dengan Y. Menurutnya, bila X dan Y bermakna hampir sama, maka kesamaan makna antara X dan Y itulah yang disebut dengan sinonim. Definisi yang kurang lebih sama dikemukakan oleh Fromkin dan Rodman (1998:165) bahwa sinonim adalah beberapa kata yang mempunyai kemiripan makna tapi bunyi pelafalannya (sound) berbeda. Menurut Harimuti Kridaklasana sinonim ialah bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain, persamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupan umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja (Kridalaksana, 1982:154). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sinonim adalah dua kata yang mempunyai komponen makna yang sama meski bunyi pelafalan dan bentuknya berbeda.
Contoh:
1.      Pintar, pandai, cakap, cerdik, cerdas, banyak akal, mahir
2.      Gagah, kuat, tegap, perkasa, berani, megah
3.      Mati, meninggal, berpulang, mangkat, wafat, mampus
4.      Bodoh, tolol, dungu, goblok, otak udang
5.      Cantik, molek, baik, bagus, indah, permai

Kesamaan makna (sinonim dapat ditentukan dengan tiga cara), yaitu:
1.       Substitusi (penyulihan)
Hal tersebut dapat terjadi bila kata dalam konteks tertentu dapat disulih dengan kata yang lain dan makna konteks tidak berubah, maka kedua kata itu disebut sinonim (Lyons, 1977: 447-450; Palmer, 1976: 63; Ullmann, 1964: 142). Lyons lebih lanjut mengemukakan bila dua kalimat memiliki struktur yang sama, makna yang sama, dan hanya berbeda karena di dalam kalimat yang satu (S1) terdapat kata y, maka x sinonim dengan y.
2.       Pertentangan
Kata dapat dipertentangkan dengan sejumlah kata lain. Pertentangan itu dapat menghaslkan sinonim. Msalnya: kata berat bertentangan dengan ringan dan enteng di dalam bahasa indonesia. Maka ringan dan enteng disebut sinonim, atau ask ‘bertanya’ bertentangan dengan reply dan answer  di dalam bahasa Inggris.  Maka reply dan answer dsebut sinonim dalam bahasa Inggris (lihat Ullmann, 1964: 143-145; Palmer, 1976: 63).
3.         Penetuan konotasi
Jika terdapat perangkat kata yang memilki makna kognitifnya sama, tetapi makna emotifnya berbeda, maka kata-kata itu tergolong sinonIm.Misalnya: kamar kecil, kakus, jamban, wc mengacu ke acuan yang sama, tetap konotasinya berbeda (Palmer, 1976: 63).
Di dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya.
Contoh :
a.      Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat.
1.)    Minta bantuan dia
Minta bantuannya
2.)    Bukan teman saya
Bukan temanku
b.      Sinonim antara kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal; antara buruk dengan jelek; antara bunga dengan puspa, dan sebagainya.
c.       Sinonim antara kata dengan frase atau sebaliknya. Mislnya antara meninggal dengan tutup usia; antara hamil dengan duduk perut; antara pencuri dengan tamu yang tidak diundang; antara tidak boleh tidak dengan harus.
d.      Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua; antara meninggal dunia dengan berpulang ke rahmatullah; dan antara mobil baru dengan mobil yang baru. Malah juga antara baju hangat dan baju dingin.
e.       Sinonim antara kalimat dengan kalimat. Seperti adik menendang bola dengan bola ditendang adik. Kedua kalimat inipun dianggap bersinonim, meskipun pertama kalimat aktif dan yang kedua kalimat pasif.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai sinonim.
1.      Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim.
2.      Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi pada bentuk jadian.
3.      Ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian.
4.      Ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim.

b.)   POLISEMI
Polisemi berasal dari kata poly = banyak, dan sema = tanda, dapat dikatakan bahwa polisemi adalah kata yang memiliki bermacam-macam makna. Menurut Chaer (2009:101) polisemi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. “When a word has multiple meanings that are related conceptually or historically,” demikian Fromkin dan Rodman (1998:164) memberikan penjelasan tentang polisemi. Definisi yang lebih mudah dipahami dikemukakan oleh Matthews (1997:285). “The case of a single word having two or more related senses,” demikian definisi Matthews itu. Menurut  Moeliono (Matrikulasi Linguistik 22 dan 29 Oktober 2002), polisemi merupakan suatu kata yang dipergunakan untuk berbagai keperluan tapi masih berhubungan dalam maknanya. Polisemi tumbuh akibat dari faktor kesejarahan dan faktor perluasan makna (Muhadjir 1997:81). Dengan demikian, Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu aluran arti.
Contoh :
1.      KEPALA
-          Bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan.
-          Bagian dari sesuatu yang terletak di sebelah atas atau depan.
-          Pemimpin atau ketua seperti kepala sekolah, kepala kantor, kepala bagian.
-          Jiwa atau orang seperti dalam kalimat “setiap kepala menerima bantuan sebesar Rp. 200.000”.
-          Akal budi seperti pada kalimat “badannya besar tapi kepalanya kosong”.

2.      KAMBING HITAM
-          Kambing yang berwarna hitam
-          Orang yang dipersalahkan

c.)    HOMONIMI
kata homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno  onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain. Matthews (1997:163) mengatakan, “Homonyms are identical forms with different meanings, *homonymy is a relation between such forms, and so on.” Homonim berasal dari kata homo dan kata nim. Menurut Moeliono (Matrikulasi Linguistik 22 dan 29 Oktober 2002), homo sedikitnya mempunyai dua makna. Pertama, homo yang berasal dari bahasa latin yang bermakna ‘manusia’. Kedua, homo yang berasal dari bahasa Yunani yang bermakna ‘sama’. Dalam kasus ini, homo yang terdapat dalam homonim berasal dari bahasa Yunani. Setidaknya inilah yang dikemukakan oleh Matthews (1997:163). Nim (-nym) sendiri merupakan combining form yang mempunyai makna ‘nama’ atau ‘kata’ (Webster 1996:947). Jadi, homonim adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda. Oleh Fromkin dan Rodman (1998:163), homonim diperkenalkan dengan nama lain homofon. Untuk lebih sederhananya, Verhaar (1999:394) memperlambangkan homonim dengan X dan Y yang bermakna lain tetapi berbentuk sama. Hubungan X dan Y dalam kerangka homonim disebut homonimi. Dengan demikian Homonimi adalah kata yang mempunyai tulisan dan bunyi yang sama tetapi maknanya berbeda.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya homonimi
(1)   kata-kata yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan.
Misalnya, kata bisa yang berarti racun ular berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti sanggup berasal dari bahasa Jawa. Contoh lain kata bang yang berarti azan berasal dari bahasa Jawa, sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti kakak laki-laki berasal dari bahasa Melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti pangkal, permulaan berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti kalau berasal dari dialek Jakarta.
(2)   kata-kata yang berhomonimi itu terjadi sebagaimana hasil proses morfologis. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata  kukur (me+kukur=mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur=mengukur).
Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Ø  Homonimi antarmorfem, tentunya sebuah morfem terikat dengan morfem terikat yang lainnya. Misalnya, antara morfem –nya pada kalimat:”ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya” berhomonimi dengan  -nya pada kalimat “Mau belajar tetapi bukunya belum ada.”. Morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang ketiga sedangkan morfem-nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
Ø  Homonimi antarkata, misalnya antara kata bisa ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, atau dapat’ seperti sudah disebutkan di muka. Contoh lain, antara kata semi yang berarti ‘tunas’ dan kata semi yang berarti ‘setengah’.
Ø  Homonimi antarfrase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frasa cinta anak yang berarti ‘cinta kepada anak dari seorang ibu’. Contoh lain, orang tua yang berarti ‘ayah ibu’ dan frase orang tua yang berarti ‘orang yang sudah tua’. Juga antara frase lukisan Yusuf yang berarti ‘lukisan hasil karya Yusuf, serta lukisan Yusuf yang berarti ‘lukisan wajah Yusuf’.
Ø  Homonimi antarkalimat, misalnya, antara istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, dan kalimat istri lurah yang baru itu cantik  yang berarti ‘lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.

d.)   HIPONIMI
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti “nama” dan hypo berarti “di bawah”. Jadi, secara harfiah berarti “nama yang termasuk di bawah nama lain”. Sesuai dengan yang diungkapkan Keraf (2005:38) Hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas- bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Karena ada kelas atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil dan ada kelas bawah yang merupakan komponen komponen yang tercakup dalam kelas atas, maka kata yang berkedudukan di kelas atas ini disebut superordinat dan kata yang berada di kelas bawah disebut hiponim. Istilah superordinat dan hiponim adalah istilah semantik. Sedangkan ilmu biologi mempergunakan istilah genus dan spescies dalam penggolongan dan pembagian. Ilmu kebudayaan mempergunakan istilah kelas dan sub-kelas.  Menurut Verhaar (1999:396), hubungan kehiponiman terjadi setelah terjadi pasangan kata yang menghubungkan antara yang lebih kecil (secara ekstensional) dan yang lebih besar (secara eksistensional). Definisinya itu oleh Verhaar (1999:394) diperlambangkan dengan bahwa makna eksistensional dari X merupakan sebagian dari makna eksistensional dari Y. Dari Kamus Linguistik Harimurti Kridalaksana kita dapat memperoleh kejelasan bahwa hiponimi adalah hubungan dalam semantik antara makna spesifik dan makna generik. Makna generik yaitu unsur leksikal yang maknanya mencakup segolongan unsur.
Contoh:
-          Kata bemo dan kendaraan. Kata bemo berhiponim terhadap kata kendaraan, sebab bemo adalah salah satu jenis kendaraan. Sebaliknya kata kendaraan berhipernim terhadap kata bemo sebab kata kendaraan meliputi makna bemo disamping jenis kendaraan lain ( seperti becak, sepeda, kereta api, dan bis ).
-          Antara kucing, anjing, dan kambing di satu pihak dan hewan di pihak yang lainnya.  Kucing, anjing dan kambing disebut hiponim dari hewan; hewan disebut superordinat dari kucing, anjing dan kambing; kucing, anjing dan kambing disebut ko-hiponim.
-          Hipernim = buah
Hiponim = anggur,pisang, semangka, jeruk, dan lain-lain.
-          Hipernim = ikan
Hiponim = lele, nila, hiu, paus, dan lain-lain.




e.)    ANTONIMI
Kata antonimi berasal dari kata Yunani Kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah antonym berarti ‘nama lain untuk benda lain pula. Bila sinonim lebih mengacu pada perhubungan makna yang bertalian dengan kesamaan makna, maka antonim lebih cenderung pada perhubungan makna yang bertalian dengan perlawanan makna.  Setidaknya itulah yang bisa disimpulkan dari definisi yang dikemukakan oleh Matthews (1997:20), Fromkin dan Rodman (1998:166). Dalam perlambang Verhaar (1999:395), diketahui bahwa antonim berwujud X mempunyai makna berkesebalikan dengan Y. Hubungan perlawanan antarmakna ini disebut antonimi. Kasus yang terjadi pada sinonimi juga terjadi pada antonimi. Yakni tidak ada antonimi yang lengkap karena tidak semua konteks dapat ditempatinya secara penuh. Moeliono dalam kuliahnya (22 dan 29 Oktober 2002) menyebutkan seiring kemajuan perkembangan ilmu bahasa, perlawanan makna tidak lagi hanya dikenalkan dengan satu bentuk, seperti dipahami sebelumnya.
Sehubungan dengan ini banyak pula menyebut antonimi sebagai oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja.
Oposisi ini dapat dibedakan menjadi :
o   Oposisi Mutlak
Di sini terdapat pertantangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi. Memang menurut kedokteran ada keadaan yang disebut “koma”, yaitu keadaan seseorang yang hidup tidak , tetapi mati pun belum. Namun, orang yang berada dalam keadaan “koma” itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa seperti manusia hidup. Yang tersisa sebagai bukti hidup hanyalah detak jantungnya saja. Contoh lain dari oposisi mutlak ini adalah kata gerak dan diam. Sesuatu yang (ber)gerak tentu tiada dalam keadaan diam; dan sesuatu yang diam tentu tidak dalam keadaan (ber)gerak . kedua proses ini todak dapat berlangsung bersamaan, tetapi secara bergantian.
o   Oposisi Kutub
Makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak,melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut, mislnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskin tidak mutlak. Orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya.
o   Oposisi Hubungan
Makna kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadira kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya, kata menjual beroposisi dengan kata memebeli. Kata menjual dan  membeli walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak. Proses menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga bisa dikatakan tak aka nada proses menjual jika tidak ada proses membeli. Contoh lainnya dalam kata kerja adalah suami dengan istri, mundur dengan maju, pulang dengan pergi, pasang dengan surut, memberi dengan menerima, belajar dengan mengajar, dan sebagainya. Contohnya dalam kata benda adalah ayah dengan ibu, guru dengan murid, atas dengan bawah, utara dengan selatan, buruh dengan majikan, dan sebagainya.
o   Oposisi Hierarkial
Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan. Oleh karena itu, kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Selain itu, kata kuintal dan ton, serta kata prajurit dan kata opsir.
o   Oposisi Majemuk
Dalam perbendaharaan kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata. Misalnya, kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan kata berjongkok. Isitlah ini lazim disebut dengan istilah oposisi majemuk. Contoh lain, kata diam yang bisa beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.

B.     VARIETAS POLISEMI
Polisemi mempelajari satu kata ( bentuk/struktur) yang memiliki lebih dari satu makna. Pemahaman ini bertumpang tindih dengan homonimi ( homograf [ sama bentuk ] dan homofon [sama bunyi] ). Homograf dapat mempunyai makna lebih dari satu ( polisemi ). Varietas polisemi ini terjadi karena hubungan motivasi antara makna yang bersifat polisemi dan homonimis. Bermacam – macam cara untuk hubungan antara makna yang bersifat  polisemis, ada yang disebut perbedaan makna hubungan linear dan non linear (Gruse, 2004: 110). 
·         Hubungan Polisemi Linear
Hubungan polisemi linear terjadi antara kata yang polisemis dan merupakan hubungan linear antara makna linear yang satu dengan yang lain secara khusus, atau dibedakan antara makna spesifik dan generik , bila kita tahu salah satu makna kata itu lebih mendasar dari yang lain. Bila X lebih mendasar dari Y, dan Y lebih spesifik dari X, maka Y merupakan makna khusus ( spesifik) dari pada X (mutatis mutandis untuk generalisasi). Hubungan polisemi linear terdiri dari autohiponimi, automeronimi, autosuperordinat, dan auutholonimi.
a.      Autohiponimi
 Autohiponimi  terjadi jika sebuah kata tidak memiliki makna generik, dan memiliki makna tekstual terbatas yang lebih spesifik dan menunjukan subvarietas dari makna generik. Sebagai contoh kata ANJING ( dog ) yang memiliki dua makna, makna generic sebagai kelompok dari “canine” ( ras anjing), seperti yang dicontohkan Cruse (2000): makna gerik ada pada “ Dog and cat owners must register their pets” (pemilik anjing dan kucing harus mendaftarkan binatang peliharaannya); dan makna spesifik ada pada “ that’s not a dog, it’s a bitch” ( itu bukan anjing, itu anjing betina). Makna spesifik menunjukan autonomi, karena pada klausa kontradiksi dengan makna generik  dari anjing, bila binatang itu anjing betina, juga termasuk ANJING.
b.      Automeronimi
Automeronimi terjadi dengan cara yang pararel dengan autohiponimi, kecuali yang lebih spesifik menunjukan bagian dari pada subtipe, meskipun menentukan apakah akan membicarakan autonomi atau autohiponim, artinya, tidak mudah melihat mana yang lebih mendasar digunakan. contoh dari hal ini, mungkin kata PINTU (door) yang dapat mengacu pada perangkat  pintu  secara  keseluruhan, TIANG PINTU (jamb), KEPINGAN KAYU yang melintang DI ATAS PINTU (lintel), AMBANG PINTU (threshold), ENGSEL (PINTU) (hinge), dan DAUN PINTU (the leaf panel), seperti pada “pergi lewat PINTU itu”, atau “DAUN PINTU itu”; kata ENGSEL seperti pada “lepaskan DAUN PINTU itu dari engselnya”. 
c.       Autosuperordinat
Penggunaan kata laki – laki yang mengacu pada ras manusia akan penggunaan maskulin yang menginklusifkan feminim, seperti kata PEMUDA pada SUMPAH PEMUDA (inklusif pemudi).  Contoh itu tak usah diragukan mengacu pada pembatasan kontekstual. Fakta tersebut mungkin akan menguatkan argumen feminis, bahwa dalam beberapa penggunaan akan dihilangkan, jika kata betina (gender atau  jantina: jantan dan betina dari segi jenis kelamin)  dihindari maka gagasan bahwa kalimat hanya menerapkan tentang janta atau  “laki – laki” dapat berkembang kearah jenis ketidak mampuan mengungkapkan gender.
d.      Autoholonimi
Autoholonimi ini merupakan hal yang secara tentatif dapat dipertimbangkan bahwa dalam mengatakan TANGAN secara inklusif diperlukan di dalam hal pragmatik  dalam semua konteks, seperti tanda pada “ia melambaikan TANGAN” (inklusif keseluruhan lengan [arm]), sedangkan ekslusif dari tangan seperti pada “ia kehilangan TANGANNYA pada kecelakaan itu” ( tangan dibedakan dari lengan, TANGAN angota badan dari siku  sampai ke ujung jari atau dari pergelangan sampai ke ujung jari; sedangkan LENGAN anggota badan dari pergelangan tangan sampai ke bahu).

·         Hubungan Polisemi Nonlinear
                 Hubungan polisemi nonlinear yang dibahasa disini adalah metafor dan metanomi. Metafor berdasarkan definisi kamus adalah “the use of a word or phrase to mean somethink different from the literal meaning  (Oxford Advanced Dictionary; lihat pula Cruse, 2004: 198). Hal itu tidak memperjelas, karena hal tersebut tidak menunjukan kiasan secara rasional untuk keanehan dalam praktiknya. Hal tersebut seolah-olah menyatakan bahwa metafor dari sisi baiknya kecerobohan dan sisi buruknya menyalahi peraturan. Tetapi sebagai mana argumentasi Lakoff ( dan yang lainnya) secara persuasif, metafor adalah semua yang terserap di dalam bahasa, dan untuk kebanyakan bagian dengan mudah (tanpa banyak usaha) diinterprestasi. Dengan demikian metafor layak mendapat pertimbangan yamh lebih konstrukti.
                 Polisemi nonlinear berikutnya adalah metonimi yang merupakan strategi kedua untuk memperluas makna. Metonimi ini berhubungan erat dengan proporsi dari kasus polisemi yang reguler (teratur), di dalamnya ada makna alternasi paralel yang diterapkan pada kelas contoh, seperti POHON KAYU, dengan catatan adanya pohon oak, ash, beech, cherry, dan pinus, atau cemara.
a.      Metafora
Secara sederhana, metafora dapat didefinisikan sebagai penggunaan kata atau frasa untuk makna yang berbeda dari makna literalnya (Cruse 2004: 198). Metafora berhubungan dengan dua struktur fundamental lainnya, yaitu: pertama, skema pencitraan (image schemas), dasar kerangka kerja konseptual yang terbentuk dari persepsi dan seluruh pengalaman; dan kedua, dengan apa yang di sebut Fauconnier (1985 dan 1994), sebagaimana dikutip oleh Saeed (1997: 302), sebagai ruang mental (mental spaces), yaitu struktur mental tempat pembicara menata cara untuk memanipulasi referensi bagi berbagai entitas.
b.      Metonimi
Metonimi ini berupa pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai pengganti acuannya. Seperti pada “Chairil Anwar dapat kita nikmati” (karyanya).Makna polisemi dalam beberapa hal berhubungan nyata, seolah-olah sangat memperjelas pemerian hubungan dalam istilah untuk metafor atau metonimi. Contohnya kata-kata yang menunjukan secara kalender dan non-kalender sebagai kata yang menunjukan periode waktu, seperti minggu, bulan ,tahun. Contoh yang jelas mungkin BULAN, karena dua hal tidak mungkin menunjuka  lamanya  waktu. Kalender bulan mulai dari hari pertama dikatakan bulan, dan berakhir sehari sebelum bulan berikutnya, yang nonkalender mulai pada suatu hari dan berakhir empat minggu kemudian. 
Polisemi dalam beberapa hal bersifat sistematis dalam makna yang berhubungan dengan makna leksikal yang dapat dikatakan kurang sistematik. Contoh metafor yang diambil dari tubuh manusia. Tak dapat diasumsikan bahwa kata KAKI digunakan sebagai bagian bawah sesuatu dan KEPALA merupakan yang sebaliknya bagian atas dari sesuatu. Misalnya, kaki meja
Metonimi lebih sistematis, seperti pada contoh BUAH dapat mengacu kepada berbagai jenis buah, misalnya, apel, salak, pisang. BINATANG mengacu pada antara lain beruang, ular, serigala.
Metonimi merupakan strategi untuk proses perluasan makna kata. Metonimi memiliki proposisi yang luas dalam hal aturan polisemi.

C.    MERONIMI
Partonimi atau Meronimi adalah bentuk ujaran yang maknanya merupakan bagian atau komponen dari bentuk ujaran yang lain. Menurut Chaer (2009: 101) meronimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang merupakan bagian dari kata lain. Jika kita menyebutkan sebuah kata maka tanpa perlu dijelaskan makna kata tersebut sudah mewakili kata lain. Menurut Crystal (1997: 239), meronimi adalah hubungan ‘bagian’ dan ‘keseluruhan’. Dalam meronimi, suatu benda diuraikan menurut unsur-unsur yang membangunnya. Jadi unsur-unsurnya harus lengkap untuk membentuk yang di atas. Konsep meronimi hampir serupa dengan hiponimi dan hipernimi hanya saja pada meronimi kata (unsur leksikal) yang ada merupakan bagian dari makna kata lain, bukan jenis atau macam dari benda lain.
Contoh:
1. Pintu, jendela, dan atap adalah meronimi dari rumah.
2. Roda, knalpot, dan mesin adalah meronimi dari kendaraan bermotor.
Meronimi tidak bersifat dua arah, melainkan bersifat satu arah. Pintu adalah Meronimi dari rumah, tapi rumah bukan meronimi dari pintu.

D.    SEMANTIK KOGNITIF DAN GRAMATIKA KATA
Kognitivisme mengacu pada teori linguistik yang berdasar pada pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan pikiran (Lyons 1995: 97). Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik fungsional yang menawarkan prinsip yang sangat berbeda dari linguistik formal dalam memandang bahasa. Secara eksternal, linguis fungsional berpendapat bahwa prinsip penggunaan bahasa terwujudkan dalam prinsip kognitif yang sangat umum; dan secara internal mereka berpendapat bahwa penjelasan linguistik harus melampaui batas antara berbagai macam tingkatan analisis (Saeed 1997: 300). Misalnya, penjelasan tentang pola gramatikal tidak dapat hanya dianalisis melalui prinsip sintaksis yang abstrak, tetapi juga melalui sisi makna yang dikehendaki pembicara dalam konteks tertentu penggunaan bahasa (Saeed 1997: 300).
          Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa kita tidak memiliki akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana tercermin dalam bahasa merupakan produk pikiran manusia berdasarkan pengalaman mereka berkembang dan bertingkah laku (Saeed 1997: 300). Dengan kata lain, makna merupakan struktur konseptual yang dikonvensionalisasi (Saeed 1997: 300) dan bahasa merupakan cara eksternalisasi dari seluruh mekanisme yang terdapat dalam otak (Jaszczolt 2002: 345). Proses konseptualisasi ini, menurut penganut semantik kognitif, sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai cara manusia memahami dan membicarakan dunia. Selain itu, dalam semantik kognitif juga ditelaah proses konseptual pembicara, meliputi viewpoint shifting, figur Semantik leksikal merupakan makna leksikal kata atau leksem, masalah di dalam semantik adalah dekomposisi leksikal (di dalam leksikon) ke dalalm bagian – bagian. Leksem merupakan kesatuan (monomorfemis) yang tidak dapat dianalisisi secara merenik. Contoh klasik seperti yang diberikan Hudson (2001), kata BUNUH atau dalam bahasa Inggris KIIL bermakna “cause to become not a liver” atau “just kill”; di dalam bahasa Indonesia (BI) makna BUNUH secara semantik kognitif leksikal “menyebabkan seseorang tidak hidup” atau “hanya membunuh” (hasilnya bisa mati atau bisa hidup). Di dalam kamus umum bahasa Indonesia BI tahu 1996 (1668 korpus) dapat diperhatikan makna kognitif leksikal MEMBUNUH : (1) mwematikan, menghilangkan nyawa (orang atau binatang) dengan sengaja; (2) memadamkan. Secara semantik kognitif, dapat diperhatikan konteks berikut:
1.      Sukar membunuh api yang besar itu (memadamkan).
2.      Membunug tulisan/membunuh kesan yang buruk atau (menghapus).
3.      Membunuh hawa nafsu/membunuh keinginan (melawan/menahan).
4.      Membunuh semangat /membunuh kemauan (membuat jadi lemah).
5.      Membunuh simpul (tali/benang/ikatan) = membuat simpul mati (supaya lebih kuat).
6.      Membunuh bocor perahu/membunuh pancuran air (menyumbat/menutupi)
(kamus Umum BI, 1996: 229-230)
            Gramatikal kata (GK) dari bahasa Inggris word grammar (WG) adalah pengetahuan tentang jaringan konsep yang saling membatasi satu sama lain dan mempertimbangkan hubungan makna acuan. Di dalam leksikon BI misalnya, kata BUNUH dengan paradigma MEMBUNUH (seperti dinyatakan di atas secara semantic kognitif konteks maknanya bermacam-macam), di dalam GK lain lagi, makna acuan ada sekitar kata BUNUH yang berhubungan dengan PEMBUNUH – YANG DIBUNUH, dan hasilnya MATI atau TIDAK MATI ( masih hidup).
             Di dalam gramatikal kata  tidak ada batas antara semantic leksikal dengan pengetahuan umum (dengan acuan secara umum), karena itu,di dalam makna leksikal (kata) termasuk baik makna (sense) maupun konteks secara kognitif (pertimbangan dalam semantik kognitif ) yang merupakan jaringan makna kata tersebut di dalam leksikon suatu bahasa. Gramatikal kata tidak membedakan gramatikal dalam leksikon, perbedaan hanya dalam derajad fakta di dalam gramatikal secara relative umum, sedangkan semua leksikon secara relative menyatakan makna spesifik ( Hudson, 2001;Djajasudarma, 2005,2008). Hal tersebut dapat dibandingkan dengan semantic kognitif leksikal ( Janssen dan Gisela Redeker, 1999).
            Bentuk kata dapat dibedakan baik dari segi fonologis maupun grafis, sedangkan leksem dapat dianggap sebagai kelompok dari sati bentuk kata atau lebih yang dipisahkan oleh akarnya dan afiks derivasinal. Dengan  demikian, contoh kata MATI-KEMATIAN –DIMATIKAN merupakan bentuk dari satu leksem MATI.
           Gramatikal  kata tidak  membedakan gramatika dan leksikon, karena perbedaannya hanya terletak pada derajat bahwa gramatika relatif lebih umum, sedangkan leksikon relatif   lebih spesifik  (bandingkan dengan semantik kognitif leksikal dan semantik kognitif konteks ). Makna kata cenderung kearah konsep (mungkin merupakan bagian dari kognisi, termasuk citraan dan nonkonsep lainnya (dibandingkan pula dengan teori relevance [Sperber dan Wilson, 1996] yang menghubungkan kognisi dan komunikasi). Dari segi semantik makna dapat dipertimbangkan berdasarkan teori yang membedakan makna sebagai berikut:
1.      Makna semantik , yang menggabungkan makna kayta di dalam kalimat untuk membentuk  struktur semantik kalimat, yang relatif merupakan konteks tersendiri.
2.      Makna pragmatik , sangat bervariasi di dalam konteks, tetapi berkombinasi dengan makna kata-kata lainnya.
3.      Makna sosiolinguistik, mengklasifikasi konteks dan tidak berkombinasi dengan makna katta lainnya (misalnya, MEMBERI SALAM –variabel sosiolinguistik).
4.       Kontraks antara makna (semantik) dengan pragmatik berkorespondensi secara kasar antara makna (sense) denga acuan (referent), tetapi makana dapat bervariasi dengan konteks, misalnya, dengan identitas makna anafora seperti, pada Big one ( satu yang besar) kemuduian ( kata SATU bersifat anaforis, mengacu ke yang sebelumnya acuan berupa pronominal atau propernount). Makna kata yang dipertahankan biasanya konsep yang sangat berbeda dari kata itu sendiri, tetapi memungkinkan hubungan erat antara kata dengan maknanya, misalnya, ada MENGKAJI (menganalisis) dan MENGAJI (membaca alquran ) atau MENGKILAT (bersinar) dan MENGILAT (menyerupai kilat), seolah-olah dari akar yang sama masing-masing mempunyai makna yang berbeda.








DAFTAR PUSTAKA

Djajasudarma, T.Fatimah.2012.Semantik 1 Makna Leksikal dan Gramatikal.Cetakan Kelima, Bandung : Reflika Aditama.
Chaer, Abdul.2009.Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.Jakarta : Rineka Cipta.
http://dioramakata.wordpress.com/2014/01/09/struktur-leksikal/

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Change Background of This Blog!


Pasang Seperti Ini

About