MAKALAH
TUGAS AKHIR
SEMANTIK
STRUKTUR
LEKSIKAL
DISUSUN OLEH :
MUH.HARJUM
NURDIN
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNVERSITAS NEGERI MAKASSAR
PEMBAHASAN
A. .MAKNA LEKSIKAL DAN STRUKTUR
LEKSIKAL
Jenis
makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang.
Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna
gramatikal. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata dapat dibedakan
adanya makna referensial dan nonreferensial. Berdasarkan ada tidaknya nilai
rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif.
Berdasarkan ketepatan maknanya dapat dibedakan adanya makna istilah atau makna
umum dan makna khusus. Selain pembagian tersebut, jenis makna dapat pula
digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu (a) makna leksikal dan (b) makna
kontekstual.
Leksikal adalah
bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler,kosa kata,perbendaharaan kata ). Satuan dari
leksikon adalah leksem , yaitu satuan
bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau
perbendaharaan kata, maka leksem dapat
kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan
sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata.
Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai
dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau
makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.
Struktur
leksikal adalah bermacam-macam pertalian semantik yang terdapat di dalam kata.
Suatu kata merupakan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Ini
merupakan akibat dari kandungan komponen makna yang kompleks. Ada beberapa
hubungan semantis (antarmakna) yang memperlihatkan adanya persamaan,
pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainnya. Hubungan inilah yang dikenal
dalam ilmu bahasa, di antaranya, sebagai sinonimi,
polisemi, homonimi, hiponimi, dan antonimi.
a.) SINONIMI
Secara
etimologi sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti
‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi
berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Beberapa pakar linguistik terkemuka memberikan
definisi tentang sinonim. Menurut Matthews (1997:367), sinonim adalah
“the relation between two lexical units with a shared meaning.” Verhaar
(1999:394) melambangkan suatu kata dalam kasus sinonim dengan X dan kata
lainnya dengan Y. Menurutnya, bila X dan Y bermakna hampir sama, maka kesamaan
makna antara X dan Y itulah yang disebut dengan sinonim. Definisi yang kurang
lebih sama dikemukakan oleh Fromkin dan Rodman (1998:165) bahwa
sinonim adalah beberapa kata yang mempunyai kemiripan makna tapi bunyi
pelafalannya (sound) berbeda. Menurut Harimuti Kridaklasana sinonim ialah
bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain, persamaan itu berlaku
bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupan umumnya yang dianggap sinonim
hanyalah kata-kata saja (Kridalaksana, 1982:154). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sinonim adalah dua kata yang mempunyai
komponen makna yang sama meski bunyi pelafalan dan bentuknya berbeda.
Contoh:
1. Pintar,
pandai, cakap, cerdik, cerdas, banyak akal, mahir
2. Gagah,
kuat, tegap, perkasa, berani, megah
3. Mati,
meninggal, berpulang, mangkat, wafat, mampus
4. Bodoh,
tolol, dungu, goblok, otak udang
5. Cantik,
molek, baik, bagus, indah, permai
Kesamaan
makna (sinonim dapat ditentukan dengan tiga cara), yaitu:
1. Substitusi
(penyulihan)
Hal tersebut dapat terjadi bila kata
dalam konteks tertentu dapat disulih dengan kata yang lain dan makna konteks
tidak berubah, maka kedua kata itu disebut sinonim (Lyons, 1977: 447-450;
Palmer, 1976: 63; Ullmann, 1964: 142). Lyons lebih lanjut mengemukakan bila dua
kalimat memiliki struktur yang sama, makna yang sama, dan hanya berbeda karena
di dalam kalimat yang satu (S1) terdapat kata y, maka x sinonim dengan y.
2. Pertentangan
Kata dapat dipertentangkan dengan
sejumlah kata lain. Pertentangan itu dapat menghaslkan sinonim. Msalnya: kata
berat bertentangan dengan ringan dan enteng di dalam bahasa indonesia. Maka
ringan dan enteng disebut sinonim, atau ask ‘bertanya’ bertentangan dengan
reply dan answer di dalam bahasa Inggris. Maka reply dan answer
dsebut sinonim dalam bahasa Inggris (lihat Ullmann, 1964: 143-145; Palmer,
1976: 63).
3.
Penetuan konotasi
Jika terdapat perangkat kata yang memilki makna
kognitifnya sama, tetapi makna emotifnya berbeda, maka kata-kata itu tergolong
sinonIm.Misalnya: kamar kecil, kakus, jamban, wc mengacu ke acuan yang sama,
tetap konotasinya berbeda (Palmer, 1976: 63).
Di
dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah
persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang
tepat sebab selain yang sama maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata
dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya.
Contoh
:
a.
Sinonim
antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat.
1.) Minta
bantuan dia
Minta bantuannya
2.) Bukan
teman saya
Bukan temanku
b. Sinonim antara kata dengan kata seperti
antara mati dengan meninggal; antara buruk dengan jelek; antara
bunga dengan puspa, dan sebagainya.
c. Sinonim antara kata dengan frase
atau sebaliknya. Mislnya antara meninggal dengan tutup usia; antara
hamil dengan duduk perut; antara pencuri dengan
tamu yang tidak diundang; antara tidak boleh tidak dengan harus.
d. Sinonim antara frase dengan frase.
Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua; antara meninggal dunia dengan berpulang
ke rahmatullah; dan antara mobil baru
dengan mobil yang baru. Malah
juga antara baju hangat dan baju dingin.
e. Sinonim antara kalimat dengan
kalimat. Seperti adik
menendang bola dengan bola ditendang
adik. Kedua kalimat inipun dianggap bersinonim, meskipun pertama kalimat
aktif dan yang kedua kalimat pasif.
Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan mengenai sinonim.
1. Tidak
semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim.
2. Ada
kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi pada bentuk jadian.
3. Ada
kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki
sinonim pada bentuk jadian.
4. Ada
kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam
arti “kiasan” justru mempunyai sinonim.
b.) POLISEMI
Polisemi
berasal dari kata poly = banyak, dan sema = tanda, dapat dikatakan bahwa
polisemi adalah kata yang memiliki bermacam-macam makna. Menurut Chaer
(2009:101) polisemi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (terutama
kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. “When a word has
multiple meanings that are related conceptually or historically,” demikian Fromkin
dan Rodman (1998:164) memberikan penjelasan tentang polisemi. Definisi
yang lebih mudah dipahami dikemukakan oleh Matthews (1997:285). “The case of a
single word having two or more related senses,” demikian definisi Matthews itu.
Menurut Moeliono (Matrikulasi
Linguistik 22 dan 29 Oktober 2002), polisemi merupakan suatu kata yang
dipergunakan untuk berbagai keperluan tapi masih berhubungan dalam maknanya.
Polisemi tumbuh akibat dari faktor kesejarahan dan faktor perluasan makna (Muhadjir
1997:81). Dengan demikian, Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang
memiliki makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda
tetapi masih dalam satu aluran arti.
Contoh :
1.
KEPALA
-
Bagian tubuh dari leher ke atas, seperti
terdapat pada manusia dan hewan.
-
Bagian dari sesuatu yang terletak di
sebelah atas atau depan.
-
Pemimpin atau ketua seperti kepala
sekolah, kepala kantor, kepala bagian.
-
Jiwa atau orang seperti dalam kalimat
“setiap kepala menerima bantuan sebesar Rp. 200.000”.
-
Akal budi seperti pada kalimat “badannya
besar tapi kepalanya kosong”.
2.
KAMBING
HITAM
-
Kambing yang berwarna hitam
-
Orang yang dipersalahkan
c.) HOMONIMI
kata
homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno
onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah
homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain. Matthews
(1997:163) mengatakan, “Homonyms are identical forms with different meanings,
*homonymy is a relation between such forms, and so on.” Homonim berasal dari
kata homo dan kata nim. Menurut Moeliono (Matrikulasi Linguistik 22
dan 29 Oktober 2002), homo sedikitnya mempunyai dua makna. Pertama, homo yang
berasal dari bahasa latin yang bermakna ‘manusia’. Kedua, homo yang berasal
dari bahasa Yunani yang bermakna ‘sama’. Dalam kasus ini, homo yang terdapat
dalam homonim berasal dari bahasa Yunani. Setidaknya inilah yang dikemukakan
oleh Matthews
(1997:163). Nim (-nym) sendiri merupakan combining form yang mempunyai
makna ‘nama’ atau ‘kata’ (Webster 1996:947). Jadi, homonim
adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi
maknanya berbeda. Oleh Fromkin dan Rodman (1998:163),
homonim diperkenalkan dengan nama lain homofon. Untuk lebih sederhananya, Verhaar
(1999:394) memperlambangkan homonim dengan X dan Y yang bermakna lain
tetapi berbentuk sama. Hubungan X dan Y dalam kerangka homonim disebut
homonimi. Dengan demikian Homonimi adalah kata yang mempunyai tulisan dan bunyi
yang sama tetapi maknanya berbeda.
Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya homonimi
(1) kata-kata
yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan.
Misalnya, kata bisa yang berarti racun ular berasal
dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang
berarti sanggup berasal dari bahasa
Jawa. Contoh lain kata bang yang
berarti azan berasal dari bahasa
Jawa, sedangkan kata bang (kependekan
dari abang) yang berarti kakak laki-laki berasal
dari bahasa Melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti pangkal, permulaan berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal
yang berarti kalau berasal dari
dialek Jakarta.
(2) kata-kata
yang berhomonimi itu terjadi sebagaimana hasil proses morfologis. Umpamanya
kata mengukur dalam kalimat ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah
berhomonimi dengan kata mengukur dalam
kalimat petugas agraria itu mengukur
luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur
yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me+kukur=mengukur);
sedangkan kata mengukur yang kedua
terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur=mengukur).
Sama halnya dengan sinonimi dan
antonimi, homonimi ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata,
tataran frase, dan tataran kalimat.
Ø Homonimi antarmorfem, tentunya
sebuah morfem terikat dengan morfem terikat yang lainnya. Misalnya, antara
morfem –nya pada kalimat:”ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana
bukunya” berhomonimi dengan -nya pada kalimat “Mau belajar tetapi bukunya belum ada.”. Morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang
ketiga sedangkan morfem-nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
Ø Homonimi antarkata, misalnya
antara kata bisa ‘racun ular’ dan
kata bisa yang berarti ‘sanggup, atau
dapat’ seperti sudah disebutkan di muka. Contoh lain, antara kata semi yang berarti ‘tunas’ dan kata semi yang berarti ‘setengah’.
Ø Homonimi antarfrase, misalnya
antara frase cinta anak yang berarti
‘perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frasa cinta anak yang berarti ‘cinta kepada anak dari seorang ibu’. Contoh
lain, orang tua yang berarti ‘ayah
ibu’ dan frase orang tua yang berarti
‘orang yang sudah tua’. Juga antara frase lukisan
Yusuf yang berarti ‘lukisan hasil karya Yusuf, serta lukisan Yusuf yang berarti ‘lukisan wajah Yusuf’.
Ø Homonimi antarkalimat, misalnya,
antara istri lurah yang baru itu cantik yang
berarti ‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, dan kalimat
istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah itu baru menikah lagi
dengan seorang wanita yang cantik’.
d.) HIPONIMI
Kata
hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma
berarti “nama” dan hypo berarti “di bawah”. Jadi,
secara harfiah berarti “nama yang termasuk di bawah nama lain”. Sesuai dengan
yang diungkapkan Keraf (2005:38) Hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang
berwujud atas- bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang
lain. Karena ada kelas atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil
dan ada kelas bawah yang merupakan komponen komponen yang tercakup dalam kelas
atas, maka kata yang berkedudukan di kelas atas ini disebut superordinat dan
kata yang berada di kelas bawah disebut hiponim. Istilah superordinat dan
hiponim adalah istilah semantik. Sedangkan ilmu biologi mempergunakan istilah
genus dan spescies dalam penggolongan dan pembagian. Ilmu kebudayaan
mempergunakan istilah kelas dan sub-kelas.
Menurut Verhaar (1999:396), hubungan kehiponiman terjadi setelah
terjadi pasangan kata yang menghubungkan antara yang lebih kecil (secara
ekstensional) dan yang lebih besar (secara eksistensional). Definisinya itu
oleh Verhaar (1999:394) diperlambangkan dengan bahwa makna eksistensional dari
X merupakan sebagian dari makna eksistensional dari Y. Dari Kamus Linguistik Harimurti
Kridalaksana kita dapat memperoleh kejelasan bahwa hiponimi adalah
hubungan dalam semantik antara makna spesifik dan makna generik. Makna generik
yaitu unsur leksikal yang maknanya mencakup segolongan unsur.
Contoh:
-
Kata bemo dan kendaraan. Kata bemo
berhiponim terhadap kata kendaraan, sebab bemo adalah salah satu jenis
kendaraan. Sebaliknya kata kendaraan berhipernim terhadap kata bemo sebab kata
kendaraan meliputi makna bemo disamping jenis kendaraan lain ( seperti becak,
sepeda, kereta api, dan bis ).
-
Antara kucing, anjing, dan kambing di
satu pihak dan hewan di pihak yang lainnya. Kucing, anjing dan kambing
disebut hiponim dari hewan; hewan disebut superordinat dari kucing, anjing dan
kambing; kucing, anjing dan kambing disebut ko-hiponim.
-
Hipernim = buah
Hiponim = anggur,pisang, semangka,
jeruk, dan lain-lain.
-
Hipernim = ikan
Hiponim = lele, nila, hiu, paus, dan
lain-lain.
e.) ANTONIMI
Kata antonimi berasal dari kata Yunani Kuno,
yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara
harfiah antonym berarti ‘nama lain untuk benda lain pula. Bila sinonim lebih
mengacu pada perhubungan makna yang bertalian dengan kesamaan makna, maka
antonim lebih cenderung pada perhubungan makna yang bertalian dengan perlawanan
makna. Setidaknya itulah yang bisa
disimpulkan dari definisi yang dikemukakan oleh Matthews (1997:20), Fromkin dan
Rodman (1998:166). Dalam
perlambang Verhaar (1999:395), diketahui bahwa antonim berwujud X
mempunyai makna berkesebalikan dengan Y. Hubungan perlawanan antarmakna ini
disebut antonimi. Kasus yang terjadi pada sinonimi juga terjadi pada antonimi.
Yakni tidak ada antonimi yang lengkap karena tidak semua konteks dapat
ditempatinya secara penuh. Moeliono dalam kuliahnya (22 dan 29
Oktober 2002) menyebutkan seiring kemajuan perkembangan ilmu bahasa, perlawanan
makna tidak lagi hanya dikenalkan dengan satu bentuk, seperti dipahami
sebelumnya.
Sehubungan dengan ini
banyak pula menyebut antonimi sebagai oposisi
makna. Dengan istilah oposisi, maka
bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya
bersifat kontras saja.
Oposisi ini dapat dibedakan
menjadi :
o
Oposisi
Mutlak
Di sini terdapat pertantangan makna
secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup
dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi. Memang menurut kedokteran
ada keadaan yang disebut “koma”, yaitu keadaan seseorang yang hidup tidak ,
tetapi mati pun belum. Namun, orang yang berada dalam keadaan “koma” itu sudah
tidak dapat berbuat apa-apa seperti manusia hidup. Yang tersisa sebagai bukti
hidup hanyalah detak jantungnya saja. Contoh lain dari oposisi mutlak ini
adalah kata gerak dan diam. Sesuatu yang (ber)gerak tentu tiada dalam keadaan diam; dan sesuatu yang diam tentu tidak dalam keadaan (ber)gerak . kedua proses ini todak dapat
berlangsung bersamaan, tetapi secara bergantian.
o
Oposisi
Kutub
Makna kata-kata yang termasuk oposisi
kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak,melainkan bersifat gradasi.
Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut, mislnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan
antara kaya dan miskin tidak mutlak. Orang yang tidak
kaya belum tentu merasa miskin, dan
begitu juga orang yang tidak miskin belum
tentu merasa kaya.
o
Oposisi
Hubungan
Makna kata-kata yang beroposisi hubungan
(relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadira kata yang satu
karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya
maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya, kata menjual
beroposisi dengan kata memebeli. Kata
menjual dan membeli
walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak.
Proses menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang
bersamaan, sehingga bisa dikatakan tak aka nada proses menjual jika tidak ada proses membeli.
Contoh lainnya dalam kata kerja
adalah suami dengan istri, mundur dengan
maju, pulang dengan pergi, pasang dengan surut, memberi dengan menerima,
belajar dengan mengajar, dan sebagainya. Contohnya dalam kata benda adalah ayah dengan ibu, guru dengan murid, atas dengan bawah, utara dengan
selatan, buruh dengan majikan, dan sebagainya.
o
Oposisi
Hierarkial
Makna kata-kata yang beroposisi
hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan. Oleh karena itu,
kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama
satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan,
nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan yang menyatakan
ukuran panjang. Selain itu, kata kuintal dan
ton, serta kata prajurit dan kata opsir.
o
Oposisi
Majemuk
Dalam perbendaharaan kata Indonesia ada
kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata. Misalnya, kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan kata berjongkok.
Isitlah ini lazim disebut dengan istilah oposisi majemuk. Contoh lain, kata diam yang bisa beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.
B. VARIETAS POLISEMI
Polisemi
mempelajari satu kata ( bentuk/struktur) yang memiliki lebih dari satu makna.
Pemahaman ini bertumpang tindih dengan homonimi ( homograf [ sama bentuk ] dan
homofon [sama bunyi] ). Homograf dapat mempunyai makna lebih dari satu (
polisemi ). Varietas polisemi ini terjadi karena hubungan motivasi antara makna
yang bersifat polisemi dan homonimis. Bermacam – macam cara untuk hubungan
antara makna yang bersifat polisemis,
ada yang disebut perbedaan makna hubungan linear dan non linear (Gruse,
2004: 110).
·
Hubungan
Polisemi Linear
Hubungan
polisemi linear terjadi antara kata yang polisemis dan merupakan hubungan
linear antara makna linear yang satu dengan yang lain secara khusus, atau
dibedakan antara makna spesifik dan generik , bila kita tahu salah satu makna
kata itu lebih mendasar dari yang lain. Bila X lebih mendasar dari Y, dan Y
lebih spesifik dari X, maka Y merupakan makna khusus ( spesifik) dari pada X
(mutatis mutandis untuk generalisasi). Hubungan polisemi linear terdiri dari
autohiponimi, automeronimi, autosuperordinat, dan auutholonimi.
a. Autohiponimi
Autohiponimi
terjadi jika sebuah kata tidak memiliki makna generik, dan memiliki
makna tekstual terbatas yang lebih spesifik dan menunjukan subvarietas dari
makna generik. Sebagai contoh kata ANJING ( dog ) yang memiliki dua makna,
makna generic sebagai kelompok dari “canine” ( ras anjing), seperti yang
dicontohkan Cruse (2000): makna gerik ada pada “ Dog and cat owners must register their pets” (pemilik anjing dan
kucing harus mendaftarkan binatang peliharaannya); dan makna spesifik ada pada “ that’s not a dog, it’s a bitch” ( itu
bukan anjing, itu anjing betina). Makna spesifik menunjukan autonomi, karena
pada klausa kontradiksi dengan makna generik
dari anjing, bila binatang itu anjing betina, juga termasuk ANJING.
b. Automeronimi
Automeronimi
terjadi dengan cara yang pararel dengan autohiponimi, kecuali yang lebih
spesifik menunjukan bagian dari pada subtipe, meskipun menentukan apakah akan
membicarakan autonomi atau autohiponim, artinya, tidak mudah melihat mana yang
lebih mendasar digunakan. contoh dari hal ini, mungkin kata PINTU (door) yang
dapat mengacu pada perangkat pintu secara
keseluruhan, TIANG PINTU (jamb), KEPINGAN KAYU yang melintang DI ATAS
PINTU (lintel), AMBANG PINTU (threshold), ENGSEL (PINTU) (hinge), dan DAUN
PINTU (the leaf panel), seperti pada “pergi lewat PINTU itu”, atau “DAUN PINTU
itu”; kata ENGSEL seperti pada “lepaskan DAUN PINTU itu dari engselnya”.
c. Autosuperordinat
Penggunaan
kata laki – laki yang mengacu pada ras manusia akan penggunaan maskulin yang
menginklusifkan feminim, seperti kata PEMUDA pada SUMPAH PEMUDA (inklusif
pemudi). Contoh itu tak usah diragukan
mengacu pada pembatasan kontekstual. Fakta tersebut mungkin akan menguatkan
argumen feminis, bahwa dalam beberapa penggunaan akan dihilangkan, jika kata
betina (gender atau jantina: jantan dan
betina dari segi jenis kelamin)
dihindari maka gagasan bahwa kalimat hanya menerapkan tentang janta
atau “laki – laki” dapat berkembang
kearah jenis ketidak mampuan mengungkapkan gender.
d. Autoholonimi
Autoholonimi
ini merupakan hal yang secara tentatif dapat dipertimbangkan bahwa dalam
mengatakan TANGAN secara inklusif diperlukan di dalam hal pragmatik dalam semua konteks, seperti tanda pada “ia melambaikan TANGAN” (inklusif
keseluruhan lengan [arm]), sedangkan ekslusif dari tangan seperti pada “ia kehilangan TANGANNYA pada kecelakaan itu”
( tangan dibedakan dari lengan, TANGAN angota badan dari siku sampai ke ujung jari atau dari pergelangan
sampai ke ujung jari; sedangkan LENGAN anggota badan dari pergelangan tangan
sampai ke bahu).
·
Hubungan
Polisemi Nonlinear
Hubungan polisemi nonlinear
yang dibahasa disini adalah metafor dan metanomi. Metafor berdasarkan definisi
kamus adalah “the use of a word or phrase
to mean somethink different from the literal meaning” (Oxford Advanced Dictionary; lihat pula Cruse,
2004: 198). Hal itu tidak memperjelas, karena hal tersebut tidak menunjukan
kiasan secara rasional untuk keanehan dalam praktiknya. Hal tersebut
seolah-olah menyatakan bahwa metafor dari sisi baiknya kecerobohan dan sisi buruknya
menyalahi peraturan. Tetapi sebagai mana argumentasi Lakoff ( dan yang
lainnya) secara persuasif, metafor adalah semua yang terserap di dalam bahasa,
dan untuk kebanyakan bagian dengan mudah (tanpa banyak usaha) diinterprestasi.
Dengan demikian metafor layak mendapat pertimbangan yamh lebih konstrukti.
Polisemi nonlinear berikutnya
adalah metonimi yang merupakan strategi kedua untuk memperluas makna. Metonimi
ini berhubungan erat dengan proporsi dari kasus polisemi yang reguler (teratur),
di dalamnya ada makna alternasi paralel yang diterapkan pada kelas contoh,
seperti POHON KAYU, dengan catatan adanya pohon oak, ash, beech, cherry, dan
pinus, atau cemara.
a.
Metafora
Secara sederhana, metafora dapat
didefinisikan sebagai penggunaan kata atau frasa untuk makna yang berbeda dari
makna literalnya (Cruse 2004: 198). Metafora berhubungan dengan dua struktur
fundamental lainnya, yaitu: pertama, skema pencitraan (image schemas),
dasar kerangka kerja konseptual yang terbentuk dari persepsi dan seluruh
pengalaman; dan kedua, dengan apa yang di sebut Fauconnier (1985 dan
1994), sebagaimana dikutip oleh Saeed (1997: 302), sebagai ruang
mental (mental spaces), yaitu struktur mental tempat pembicara menata
cara untuk memanipulasi referensi bagi berbagai entitas.
b. Metonimi
Metonimi
ini berupa pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang,
barang, atau hal sebagai pengganti acuannya. Seperti pada “Chairil Anwar dapat kita
nikmati” (karyanya).Makna polisemi dalam beberapa hal berhubungan nyata,
seolah-olah sangat memperjelas pemerian hubungan dalam istilah untuk metafor
atau metonimi. Contohnya kata-kata yang menunjukan secara kalender dan
non-kalender sebagai kata yang menunjukan periode waktu, seperti minggu, bulan
,tahun. Contoh yang jelas mungkin BULAN, karena dua hal tidak mungkin
menunjuka lamanya waktu. Kalender bulan mulai dari hari pertama
dikatakan bulan, dan berakhir sehari sebelum bulan berikutnya, yang nonkalender
mulai pada suatu hari dan berakhir empat minggu kemudian.
Polisemi
dalam beberapa hal bersifat sistematis dalam makna yang berhubungan dengan
makna leksikal yang dapat dikatakan kurang sistematik. Contoh metafor yang
diambil dari tubuh manusia. Tak dapat diasumsikan bahwa kata KAKI digunakan
sebagai bagian bawah sesuatu dan KEPALA merupakan yang sebaliknya bagian atas
dari sesuatu. Misalnya, kaki meja
Metonimi
lebih sistematis, seperti pada contoh BUAH dapat mengacu kepada berbagai jenis
buah, misalnya, apel, salak, pisang. BINATANG
mengacu pada antara lain beruang, ular,
serigala.
Metonimi
merupakan strategi untuk proses perluasan makna kata. Metonimi memiliki
proposisi yang luas dalam hal aturan polisemi.
C. MERONIMI
Partonimi
atau Meronimi adalah bentuk ujaran yang maknanya merupakan bagian atau komponen
dari bentuk ujaran yang lain. Menurut Chaer (2009: 101) meronimi
menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang merupakan bagian dari kata lain.
Jika kita menyebutkan sebuah kata maka tanpa perlu dijelaskan makna kata
tersebut sudah mewakili kata lain. Menurut Crystal (1997: 239), meronimi adalah
hubungan ‘bagian’ dan ‘keseluruhan’. Dalam meronimi, suatu benda diuraikan
menurut unsur-unsur yang membangunnya. Jadi unsur-unsurnya harus lengkap untuk
membentuk yang di atas. Konsep meronimi hampir serupa dengan hiponimi dan
hipernimi hanya saja pada meronimi kata (unsur leksikal) yang ada merupakan
bagian dari makna kata lain, bukan jenis atau macam dari benda lain.
Contoh:
1. Pintu, jendela, dan atap adalah meronimi dari rumah.
2. Roda, knalpot, dan mesin adalah meronimi dari kendaraan bermotor.
Meronimi tidak bersifat dua arah, melainkan bersifat satu arah. Pintu adalah Meronimi dari rumah, tapi rumah bukan meronimi dari pintu.
Contoh:
1. Pintu, jendela, dan atap adalah meronimi dari rumah.
2. Roda, knalpot, dan mesin adalah meronimi dari kendaraan bermotor.
Meronimi tidak bersifat dua arah, melainkan bersifat satu arah. Pintu adalah Meronimi dari rumah, tapi rumah bukan meronimi dari pintu.
D. SEMANTIK KOGNITIF DAN GRAMATIKA
KATA
Kognitivisme mengacu pada teori
linguistik yang berdasar pada pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab
akibat antara bahasa dan pikiran (Lyons 1995: 97). Kognitivisme
merupakan bagian dari linguistik fungsional yang menawarkan prinsip yang sangat
berbeda dari linguistik formal dalam memandang bahasa. Secara eksternal,
linguis fungsional berpendapat bahwa prinsip penggunaan bahasa terwujudkan
dalam prinsip kognitif yang sangat umum; dan secara internal mereka berpendapat
bahwa penjelasan linguistik harus melampaui batas antara berbagai macam
tingkatan analisis (Saeed 1997: 300). Misalnya, penjelasan tentang pola gramatikal
tidak dapat hanya dianalisis melalui prinsip sintaksis yang abstrak, tetapi
juga melalui sisi makna yang dikehendaki pembicara dalam konteks tertentu
penggunaan bahasa (Saeed 1997: 300).
Penganut semantik kognitif
berpendapat bahwa kita tidak memiliki akses langsung terhadap realitas, dan
oleh karena itu, realitas sebagaimana tercermin dalam bahasa merupakan produk
pikiran manusia berdasarkan pengalaman mereka berkembang dan bertingkah laku (Saeed
1997: 300). Dengan kata lain, makna merupakan struktur konseptual yang
dikonvensionalisasi (Saeed 1997: 300) dan bahasa
merupakan cara eksternalisasi dari seluruh mekanisme yang terdapat dalam otak (Jaszczolt
2002: 345). Proses konseptualisasi ini, menurut penganut semantik kognitif,
sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai cara manusia memahami dan membicarakan
dunia. Selain itu, dalam semantik kognitif juga ditelaah proses konseptual
pembicara, meliputi viewpoint shifting, figur
Semantik leksikal merupakan makna leksikal kata atau leksem, masalah di dalam
semantik adalah dekomposisi leksikal (di dalam leksikon) ke dalalm bagian –
bagian. Leksem merupakan kesatuan (monomorfemis) yang tidak dapat dianalisisi
secara merenik. Contoh klasik seperti yang diberikan Hudson (2001), kata BUNUH
atau dalam bahasa Inggris KIIL bermakna “cause
to become not a liver” atau “just
kill”; di dalam bahasa Indonesia (BI) makna BUNUH secara semantik kognitif
leksikal “menyebabkan seseorang tidak hidup” atau “hanya membunuh” (hasilnya
bisa mati atau bisa hidup). Di dalam kamus umum bahasa Indonesia BI tahu 1996
(1668 korpus) dapat diperhatikan makna kognitif leksikal MEMBUNUH :
(1) mwematikan, menghilangkan nyawa (orang atau binatang) dengan sengaja; (2)
memadamkan. Secara semantik kognitif, dapat diperhatikan konteks berikut:
1.
Sukar membunuh api yang besar itu
(memadamkan).
2.
Membunug tulisan/membunuh kesan yang
buruk atau (menghapus).
3.
Membunuh hawa nafsu/membunuh keinginan
(melawan/menahan).
4.
Membunuh semangat /membunuh kemauan
(membuat jadi lemah).
5.
Membunuh simpul (tali/benang/ikatan) =
membuat simpul mati (supaya lebih kuat).
6.
Membunuh bocor perahu/membunuh pancuran
air (menyumbat/menutupi)
(kamus
Umum BI, 1996: 229-230)
Gramatikal kata (GK) dari bahasa
Inggris word grammar (WG) adalah
pengetahuan tentang jaringan konsep yang saling membatasi satu sama lain dan
mempertimbangkan hubungan makna acuan. Di dalam leksikon BI misalnya, kata
BUNUH dengan paradigma MEMBUNUH (seperti dinyatakan di atas secara semantic
kognitif konteks maknanya bermacam-macam), di dalam GK lain lagi, makna acuan
ada sekitar kata BUNUH yang berhubungan dengan PEMBUNUH – YANG DIBUNUH, dan
hasilnya MATI atau TIDAK MATI ( masih hidup).
Di dalam gramatikal kata tidak ada batas antara semantic leksikal
dengan pengetahuan umum (dengan acuan secara umum), karena itu,di dalam makna
leksikal (kata) termasuk baik makna (sense) maupun konteks secara kognitif
(pertimbangan dalam semantik kognitif ) yang merupakan jaringan makna kata
tersebut di dalam leksikon suatu bahasa. Gramatikal kata tidak membedakan
gramatikal dalam leksikon, perbedaan hanya dalam derajad fakta di dalam
gramatikal secara relative umum, sedangkan semua leksikon secara relative
menyatakan makna spesifik ( Hudson,
2001;Djajasudarma,
2005,2008). Hal tersebut dapat dibandingkan dengan semantic kognitif leksikal (
Janssen
dan Gisela
Redeker, 1999).
Bentuk kata dapat dibedakan baik
dari segi fonologis maupun grafis, sedangkan leksem dapat dianggap sebagai
kelompok dari sati bentuk kata atau lebih yang dipisahkan oleh akarnya dan
afiks derivasinal. Dengan demikian,
contoh kata MATI-KEMATIAN –DIMATIKAN merupakan bentuk dari satu leksem MATI.
Gramatikal kata tidak
membedakan gramatika dan leksikon, karena perbedaannya hanya terletak
pada derajat bahwa gramatika relatif lebih umum, sedangkan leksikon
relatif lebih spesifik (bandingkan dengan semantik kognitif leksikal
dan semantik kognitif konteks ). Makna kata cenderung kearah konsep (mungkin
merupakan bagian dari kognisi, termasuk citraan dan nonkonsep lainnya
(dibandingkan pula dengan teori relevance [Sperber dan Wilson, 1996] yang
menghubungkan kognisi dan komunikasi). Dari segi semantik makna dapat
dipertimbangkan berdasarkan teori yang membedakan makna sebagai berikut:
1. Makna semantik
, yang menggabungkan makna kayta di dalam kalimat untuk membentuk struktur semantik kalimat, yang relatif
merupakan konteks tersendiri.
2. Makna pragmatik
, sangat bervariasi di dalam konteks, tetapi berkombinasi dengan makna
kata-kata lainnya.
3. Makna sosiolinguistik,
mengklasifikasi konteks dan tidak berkombinasi dengan makna katta lainnya
(misalnya, MEMBERI SALAM –variabel sosiolinguistik).
4. Kontraks
antara makna (semantik) dengan pragmatik berkorespondensi secara kasar
antara makna (sense) denga acuan (referent), tetapi makana dapat bervariasi dengan
konteks, misalnya, dengan identitas makna anafora seperti, pada Big one ( satu
yang besar) kemuduian ( kata SATU bersifat anaforis, mengacu ke yang sebelumnya
acuan berupa pronominal atau propernount). Makna kata yang dipertahankan
biasanya konsep yang sangat berbeda dari kata itu sendiri, tetapi memungkinkan
hubungan erat antara kata dengan maknanya, misalnya, ada MENGKAJI
(menganalisis) dan MENGAJI (membaca alquran ) atau MENGKILAT (bersinar) dan
MENGILAT (menyerupai kilat), seolah-olah dari akar yang sama masing-masing
mempunyai makna yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Djajasudarma,
T.Fatimah.2012.Semantik 1 Makna Leksikal
dan Gramatikal.Cetakan Kelima, Bandung : Reflika Aditama.
Chaer,
Abdul.2009.Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia.Jakarta : Rineka Cipta.
http://dioramakata.wordpress.com/2014/01/09/struktur-leksikal/
0 komentar:
Posting Komentar