BEBERAPA DIKOTOMI KONSEP LINGUISTIK SAUSSURE : SUATU PEMBICARAAN
1. Pendahuluan
Mongin-Ferdinand de Saussure menjadi salah satu tokoh penting linguistik abad ke-20. Melalui buah pikirannya yang dituangkan oleh mahasiswa-mahasisnya dalam Cours de Linguistique Generale(1916) terungkap betapa cemerlang pikirannya saat itu. Dalam kuliahnya, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku setelah dia meninggal tahun 1913 itu, ia menguraikan hal-hal yang baru dalam studi linguistik, mendobrak tradisi yang telah ada.
Gagasan-gagasannya tentang bahasa dan studi bahasa sampai sekarang masih terasa penting untuk diketahui dan dikaji. Gagasan itu berupa penjelasan mengenai berbagai dikotomi linguistik: (a) 'langue' dan 'parole', (b) studi diakronis dan sinkronis, (c) 'signifie' dan 'signifiant', (d) hubungan sintagmatik dan paradigmatik, (e) bentuk dan substansi bahasa, serta (f) bahasa sebagai fakta sosial dan fakta psikologis.
Bagaimanakah pandangan-pandangan tersebut, sehingga dapat meme-ngaruhi arah linguistik saat itu? Apakah pandangan tersebut masih sesuai dengan perkembangan linguistik saat ini? Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, berikut akan diuraikan setiap butir pandangan di atas yang langsung diikuti pembicaraan dari sudut pandang linguistik saat ini.
2. Beberapa Dikotomi dalam Linguistik ala Saussure2.1 Dikotomi Langue danParole
Terdapat tiga kata di dalam bahasa Perancis yang mengungkapkan pengertian bahasa, yakni langage, langue, dan parole. Meskipun demikian, ketiganya cukup berbeda, sehingga Saussure memanfaatkan ketiganya untuk mengungkapkan aspek-aspek bahasa. Perbedaan yang ada pada ketiganya memungkinkan Saussure mendeskripsikan bahasa sebagai benda atau objek yang dapat diteliti secara ilmiah.
Langue merupakan produk masyarakat dari langage dan suatu himpunan konvensi yang perlu, yang diterima oleh seluruh masyarakat yang memungkinkan berfungsinya langagepada diri individu. Dilihat secara keseluruhan, langage adalah multibentuk, hiteroklit, dan psikis. Langage merupakan bagian dari bidang individu dan bidang sosial, yang tidak dapat diklasifikasikan dalam kategori fakta kemanusiaan mana pun karena tidak tahu bagaimana menonjolkan keutuhannya. Langue, sebaliknya, merupakan suatu keutuhan dan suatu prinsip klasifikasi (Saussure, 1988:75).
Untuk menempatkan langue di tempat pertama dalam kajian langage, dapat dipertahankan argumen berikut: kemampuan (alami atau tidak) untuk mengartikulasikan kata-kata hanya mungkin dengan bantuan alat yang diciptakan dan disediakan oleh kelompok. Jadi, bukan angan-angan untuk mengatakan bahwa languelah yang merupakan satuan langage. Langue bukan kegiatan penutur. Langue merupakan produk yang direkam individu secara pasif. Sebaliknya, parole adalah suatu tindak individual dari kemauan dan kecerdasan. Dalam tindak ini perlu dibedakan kombinasi kode-kode bahasa yang digunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadi dan mekanisme psikis-fisik yang memungkinnya mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. Pemisahan langue dari parole berarti pemisahan apa-apa yang sosial dari yang individual dan apa-apa yang pokok dari yang tambahan dan kurang lebih bersifat kebetulan. Seseorang akan dapat mendengarkan orang berbicara langue yang tidak dikenalnya. Dia memang menangkap bunyi-bunyi, tetapi karena tidak paham, dia berada di luar peristiwa sosial.
Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam setiap otak, kira-kira seperti sebuah kamus yang setiap eksemplarnya identik, yang akan terbagi di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu sama bagi semuanya dan berada di luar kemampuan penyimpannya. Kehadiran langue dapat diungkapkan dengan rumus (l+l+l+l+...= I).
Dengan cara bagaimana parole hadir dalam kolektivitas yang sama? Paroleadalah apa yang dituturkan orang dan mengandung kombinasi individual, yang tidak tergantung dari kemauan mereka yang menuturkannya dan tindak pembunyian yang juga suka rela. Jadi, tidak ada kolektivitas di dalam parole. Paroletidak lebih dan tidak kurang dari penjumlahan kasus-kasus khusus menurut rumus sebagai berikut: (l+l'+l''+l'''+...).
Lebih jauh Saussure (1988:81) mengungkapkan bahwa langue merupakan objek yang dapat diteliti secara terpisah. Sebagai objek, langue sifatnya konkret. Hal ini sangat menguntungkan pengajiannya. Lambang-lambang bahasa, yang pada dasarnya bersifat psikis, tidak merupakan abstraksi. Asosiasi yang diterima oleh persetujuan kolektif, yang seluruhnya membentuk langue, adalah realita yang berkedudukan di dalam otak. Dengan kata lain, lambang-lambang bahasa dapat dianggap sesuatu yang konkret.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan seseorang yang bersifat individual. Dengan kata lain,parole merupakan manifestasi bahasa individual. Dengan demikian, parolebukanlah fakta sosial sebab seluruhnya merupakan hasil individu. Fakta sosial harus meliputi seluruh masyarakat dan tidak memberi pilihan pada individu.
Langage oleh Saussure diungkapkan sebagai gabungan parole dengan kaidah bahasa. Meskipun meliputi seluruh masyarakat, langage tidak memenuhi syarat fakta sosial sebab di dalamnya terdapat faktor-faktor individu yang berasal dari penuturnya. Dengan demikian, langage tidak memiliki prinsip keutuhan, sehingga tidak memungkinkannya untuk diteliti secara ilmiah. Langue adalah produk sosial dari kemampuan bahasa, yang merupakan keseluruhan konvensi yang dipengaruhi oleh kelompok sosial untuk memungkinkannya mempergunakan kemampuan itu. Jika parole dipengaruhi unsur wicara, yang sifatnya hiterogen,langue tidak. Oleh karena itu, bahasa dapat diselidiki secara ilmiah hanya bila wicara diabaikan. Jadi, dari sudut pandang inilah langue bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif.
Bila dicermati pandangan Saussure di atas, terutama dikaitkan dengan objek studi bahasa, yakni langue dan menolak parole sebagai objek penelitian, kiranya patut diperhatikan. Sebenarnya, dilihat dari sudut pandang objek penelitian, ini bukanlah barang baru sebab yang telah dilakukan oleh para linguis diakronis objeknya adalah ini juga; hanya saja Saussure memberikan istilah 'langue' untuk istilah 'bahasa' yang menjadi objek kajian para linguis sebelumnya.
Mengapa parole tidak dipelajari? Alasan Saussure adalah bahwa parolebersifat individual; dengan demikian hiterogen di masyarakat. Barangkali sangat pantas hal ini dikemukakan saat itu, sebab bagaimana pun dia dididik dan dikembangkan pada lingkungan dan masa kejayaan linguistik historis serta kuat-kuatnya pengaruh psikologi behaviorisme saat itu. Namun, akankah bahasa sebagai sarana komunikasi hanya menyangkut kaidah-kaidah kolektif? tidakkah unsur-unsur individual justru semakin menarik untuk dikaji?
Bahasa, sebagai gejala dan kekayaan sosial tidak akan pernah berhenti berkembang sejalan dengan arah perkembangan pemakainya. Pemikiran dan tingkah laku berbahasa manusia ditandai oleh gejala alami, yakni perubahan. Perubahan tingkah laku berbahasa terjadi pada setiap kawasan kehidupan manusia, dalam setiap ruang dan waktu, sehingga menyebabkan perubahan aturan-aturan atau norma (Samsuri, 1988). Suatu bentuk ujaran belum tentu dapat diterima oleh suatu lingkungan (konteks sosial), meskipun ujaran tersebut dapat diterima oleh lingkungan yang lain. Begitu pula ujaran yang sama akan dimaknai berbeda bila dituturkan kepada orang yang berbeda. Kalimat bahasa Jawa dialek Malang Koen wis mulih, ta? tidak pantas diucapkan oleh seorang mahasiswa kepada induk semang rumah kosnya, yang seorang dosen di PTN dan usianya lebih tua dari mahasiswa itu, tetapi lazim bila diucapkan sesama teman kos yang relatif berusia sejajar. Persoalan ini adalah persoalan sosiologi. Namun, karena timbulnya penilaian yang berkaitan dengan bahasa, hal itu juga dapat menjadi kajian ilmu bahasa. Di sinilah pentingnya sosiolinguistik dikembangkan.
Kalimat klasik Ayam makan belalang mati akan memiliki berbagai makna bila diujarkan dengan kesenyapan ('juncture') yang berbeda. Bila kesenyapan diberikan lebih panjang di antara ayam dan makan, kalimat tersebut akan bermakna belalang yang mati. Dengan kata lain, ada peristiwaayam makan bangkai belalang. Bila kesenyapan diberikan lebih panjang di antara makan dan belalang, kalimat tersebut akan bermakna belalang juga yang mati. Namun, kalimat tersebut mengisyaratkan adanya dua peristiwa yang tidak saling berhubungan atau memengaruhi, yakni ketika ayam makan ada peristiwa belalang mati. Lain lagi bila kesenyapan diberikan lebih panjang di antara belalang dan mati. Kalimat tersebut akan bermakna ayamlah yang mati, yang mungkin disebabkan belalang. Data-data kebahasaan di atas semuanya berkaitan dengan masalah ujaran, yang mestinya adalah parole. Kaidah gramatika yang merupakan langue tentu tidak dapat memecahkan persoalan itu. Oleh karena itu, pendapat Saussure yang menegaskan bahwa bahasa dapat diselidiki secara ilmiah hanya bila wicara diabaikan tidak sesuai lagi.
Berkaitan dengan istilah langue danparole tersebut, ada dua istilah yang sejalan dengan keduanya, masing-masing adalah sphota dan dhvani. Kedua istilah terakhir ini dipakai dalam tradisi linguistik di India yang berkembang pada abad ke-3 SM. Sphota adalah lembaga bahasa, sistem bahasa yang diwarisi bersama dan hidup dalam pengetahuan seseorang. Sedangkan,dhvani mengacu kepada realisasi individual seseorang berbahasa atau kemampuan seseorang berbahasa (Parera, 1983: 77). Dengan demikian, terlihat bahwa sphota sama saja dengan langue dan dhvani sama dengan parole.
Untuk itu, patut dipertanyakan apakah ide pemisahan bahasa sebagai konsep dalam pikiran (langue) dan bahasa sebagai bentuk ujaran (parole) betul-betul merupakan ide murni Saussure. Hal ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara nyata (barangkali hanya dapat dihipotesiskan) sebab Saussure telah tiada dan tidak pernah mengungkapkan pengakuannya, tidak seperti yang telah dilakukan oleh Chomsky dalam pengakuannya bahwa paradigma linguistik yang dikembangkannya kemudian diikuti banyak orang diambil dari pikiran-pikiran Descartes, Juan Harte, Wilhelm von Humbolt, dan Port Royal Grammar (Wahab, 1991:23).
Tentang hal itu dapat saja terjadi bahwa Saussure mengambil pikiran atau lebih halusnya terpengaruh Panini, atau bisa jadi tidak keduanya, melainkan secara kebetulan keduanya berpikiran sama, sebab secara kebetulan memang tersedia istilah-istilah yang berbeda dalam bahasa Perancis untuk pengertian bahasa. Kemungkinan pertama bisa saja terjadi bila ditelusuri sejarah perkembangan linguistik saat itu dan perjalanan hidupnya. Linguistik India mulai dilirik linguis Eropa sejak Sir William Jones menghubungkan antara sejarah linguistik dengan bandingan bahasa, yang sebelumnya dikerjakan secara terpisah. Bukan hanya itu, ia mulai memperkenalkan bahasa Sanskerta, yang juga berakibat linguistik deskriptif menunjukkan kontak yang erat dengan India kuno. Filippo Sasseti pada abad ke-16 dalam Lingua Sanscruta telah menulis secara menakjubkan hubungan antara kata-kata bahasa Italia dengan Sanskerta. Persamaan antara bahasa Sanskerta dengan bahasa-bahasa Eropa telah pula digambarkan oleh B. Schule (Jerman) dan Pere Coeurdoux (Prancis). Tahun 1803 sarjana Jerman F. von Schlegel telah mulai mengembangkan studi bahasa Sanskerta di Paris. Demikian juga adiknya, W. von Schlegel pada tahun 1819. Di samping itu, juga telah diketahui bahwa Saussure pada masa studinya telah mendapat pendidikan bahasa Sanskerta. Bahkan, kemudian ia mengajar bahasa Sanskerta, Gothik, Jerman Tinggi Kuno, serta linguistik komparatif Indo-Eropa di Ecole Pratique des Hautes Etudes Universitas Paris. Berdasarkan kenyataan tersebut, bisa jadi Saussure mengambil atau terpengaruh buah pikiran Panini. Sayang memang, hal ini belum pernah diungkapkan oleh para linguis. Penyelidikan yang mendalam tampaknya perlu dilakukan untuk mengungkap tabir masalah ini.
2.2 Dikotomi Diakronis dan Sinkronis
Saussure merasakan bahwa penyelidikan ilmiah tentang bahasa tidak harus dilakukan secara historis sebab penyelidikan historis, yang tentu saja bersifat diakronis, tidak sampai membentuk ilmu bahasa yang sebenarnya. Menurutnya, studi ini tidak pernah memikirkan untuk menelaah hakikat objek penelitiannya. Padahal, tanpa kegiatan mendasar ini suatu ilmu tidak mampu membentuk metodenya.
Metode linguistik historis hanya mengecek dokumen-dokumen yang tersedia. Akan tetapi, dalam menghadapi kasus-kasus yang 'semrawut', cara demikian tidak cukup. Memang, untuk dapat menelaah sejarah suatu langue secara terinci harus dengan mengikuti arah waktu. Peneliti harus memiliki potret bahasa yang tak terbatas, yang diabadikan dari waktu ke waktu. Padahal, syarat tersebut tidak mudah terpenuhi.
Ahli bahasa-bahasa Roman, misalnya, yang beruntung menguasai bahasa Latin, yang merupakan titik tolak penelitian mereka, dan tidak memiliki sejumlah besar dokumen dari berbagai abad, menyatakan setiap kali tentang banyaknya kekosongan dalam dokumen mereka. Ternyata mereka terpaksa tidak mengikuti metode prospektif, yakni meneliti dokumen yang ada, tetapi mereka melakukan cara yang berlawanan, yaitu mundur ke belakang dengan retrospeksi. Dari sudut pandang itu peneliti menempatkan diri pada abad tertentu bukan untuk meneliti apa yang dihasilkan oleh suatu bentuk, melainkan apa bentuk yang lebih kuno yang melahirkan bentuk tersebut.
Prospeksi menghasilkan deskripsi dan kritik berdasarkan dokumen. Sebaliknya, retrospeksi menuntut metode rekonstruksi, yang berpegang pada perbandingan. Bentuk kuno yang berdiri sendiri tidak mungkin ditelusuri, sedangkan dua bentuk yang berbeda tetapi asalnya sama, melalui perbandingan telah membuka pandangan kepada metode diakronis, yang menghubungkan bentuk-bentuk tersebut dengan suatu prototipe yang dapat direkonstruksi melalui induksi. Dengan demikian, linguistik diakronis mengharuskan dua perspektif, yakni perspektif yang mengikuti arah waktu dan perspektif retrospeksi, yang melawan arah waktu. Sebaliknya, linguistik sinkronis hanya memerlukan satu perspektif, yakni penutur bahasa. Oleh karena itu, hanya diperlukan satu metode.
Objek linguistik sinkronis adalah penyusunan prinsip-prinsip bagi sistem idiosinkronis dan faktor-faktor pembentuk langue. Dalam linguistik sinkronis tercakup 'tata bahasa umum' karena hanya di dalam keadaan suatu langue terjadi berbagai hubungan yang merupakan bidang pokok tata bahasa.
Berdasarkan hal itu, Kridalaksana (1988:11) mengungkapkan keuntungan kajian sinkronis bila dibandingkan dengan diakronis. Pendekatan historis tidak dapat dimanfaatkan untuk mempelajari perkembangan bentuk-bentuk bahasa secara mantap tentang hubungan sistematis di antara bentuk-bentuk itu dalam tahap bahasa sebelumnya. Begitu pula, perbedaan di antara hubungan sistematis dalam berbagai tahap perkembangan bahasa tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan historis.
Melihat kenyataan di atas, apakah tinjauan bahasa secara diakronis perlu disingkarkan atau dihindari? Tampaknya, Saussure sendiri ingin mengungkapkan bahwa studi diakronis harus didahului oleh studi sinkronis, meskipun hal ini tidak tampak secara eksplisit dalam karyanya. Saussure melihat bahwa para linguis sezamannya dan juga sebelumnya hanya memikirkan perbandingan-perbandingan antarbahasa yang serumpun untuk melihat proto bahasa yang diperbandingkan itu. Mereka lupa (atau tidak tahu) bahwa hakikat studi bahasa adalah bahasa itu sendiri, yang benar-benar ada dan hidup, dan bukan bahasa yang kuno (atau bahkan telah mati).
Di samping itu, berdasarkan pada studi sinkronis, seakan-akan bahasa itu statis, tetap, tidak berubah. Padahal dari waktu ke waktu terbukti bahwa bahasa itu berubah. Hal ini banyak terjadi pada bahasa-bahasa nasional yang dipakai masyarakat negara berkembang, seperti Indonesia. Ini bukan berarti bahasa Inggris, misalnya, tidak berubah (berkembang). Apalagi, keadaan negara-negara di dunia ini makin transparan. Akibatnya, proses peminjaman leksikal terjadi hampir setiap hari. Jika perubahan itu tidak dicatat dan diteliti tentu sangat disayangkan. Untuk itu, studi diakronis masih diperlukan.
Tidak dibantah pernyataan bahwa pemakaian bahasa memiliki relevansi yang tinggi dengan keadaan masyarakat. Munculnya tempaan kata-kata (baru) tertentu dan persebarannya (ekspansinya) ke dalam bahasa lain merupakan hal yang wajar. Karena itu, bahasa bisa dipandang merefleksikan keaadaan sosial masyarakat. Dengan begitu, jargon-jargon politik, istilah-istilah di bidang ekonomi, pemerintahan, dan sebagainya dapat dikaitkan dengan tokoh-tokoh yang melatarbelakangi munculnya istilah tersebut. Dengan studi diakronis hal itu akan dapat diungkapkan. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para filolog untuk mengungkapkan misteri kehidupan masyarakat masa lampau melalui naskah-naskah yang tertinggal.
2.3 Dikotomi Signifie dan Signifiant
Signe (tanda bahasa) menurut Saussure (1988:147) adalah kombinasi konsep dan gambaran akustiknya, tetapi dalam bahasa sehari-hari istilah tersebut umumnya hanya menunjuk pada gambaran akustis, misalnya sebuah kata arbor. Orang lupa bahwa kalau arbordisebut tanda bahasa hanyalah bila menyandang konsep 'pohon', sehingga gagasan yang berasal dari bagian sensori menumbuhkan gagasan dalam keseluruhan tanda.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa tanda bahasa adalah satuan psikis yang bermuka dua (konsep dan gambaran akustis), yang keduanya bersatu padu dan saling memicu. Bila kata Latin arbor dicari maknanya, jelaslah bahwa hanya pendekatan yang dilakukan oleh langueyang sesuai dengan kenyataan. Konsep itulah yang disebutnya signifie dan gambaran akustis itu merupakan signifiant-nya.
Ada dua prinsip tanda bahasa, yakni tanda bersifat arbitrer (semena) dansignifiant bersifat linier. Dalam prinsip pertama, ikatan yang mempersatukansignifie dengan signifiant-nya bersifat semena, atau tidak ada hubungan yang hakiki antara signifie dengan signifiant-nya. Dalam prinsip kedua diungkapkan bahwa signifiant, yang pada hakikatnya auditif, berlangsung dalam waktu dan memiliki ciri-ciri yang sama dengan waktu.
Hal pertama yang agak mengecilkan kemapanan prinsip-prinsip di atas, hal ini sebenarnya telah disadari Saussure, adalah adanya anomatopae, yang kurang selaras dengan prinsip pertama. Terhadap hal ini Saussure mengungkapkan bahwaanomatopae tidak pernah merupakan unsur-unsur organis di dalam suatu sistem bahasa. Lagi pula jumlahnya hanya sedikit (Saussure, 1988:149). Dari sanggahan pertama itu, dapat dipertanyakan lagi apakah yang bukan anomatopae itu sebaliknya? Tentulah tidak. Signifiant dikatakannya merupakan gambaran akustis. Hal ini tentu berupa bunyi. Demikian juga anomatopae, yang mengacu kepada gambaran bunyi peristiwa alam, tentulah menunjukkan gambaran akustis yang berhubungan dengan konsep. Sesedikit apa pun jumlahnya, ini sebuah bukti, suatu kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Apalagi, prinsip-prinsip yang diajukannya bersifat umum. Belum lagi, penamaan-penamaan lainnya yang berdasarkan beberapa hal, misalnya nama penemunya, nama pabrik, nama peristiwa sejarah, dan lain-lain. Akibat berkembangnya semantik, prinsip itu menjadi perlu dipertanyakan.
Telah diungkapkan pula bahwa hubungan antara signifie dan signifiant bersifat erat sebab keduanya merupakan kesatuan dua muka. Hal ini berarti pula bahwa bila gambaran akustis berubah, berubah pula konsepnya. Tampaknya, pandangan ini kurang memperhatikan realita bahasa yang berupa homonim. Dalam homonim jelas gambaran akustis beberapa kata sama, tetapi konsepnya berbeda-beda. Sayang sekali Saussure tidak menunjukkan batasan tanda secara jelas. Apakah menyangkut kata, frasa, klausa, kalimat, atau barangkali wacana, hal ini tidak jelas. Namun, dari uraiannya, yang memang sedikit untuk bagian ini, terlihat bahwa contoh-contoh yang diberikan berupa kata. Hal inilah justru yang mimbulkan permasalahan.
Bila tanda hanya mengacu kepada kata, bagaimana dengan konstruksi yang berupa kalimat? Verhaar (1977), misalnya, telah membedakan antara makna, maksud, dan informasi. Konsep mengacu yang mana bila dihubungkan dengan pernyataan Verhaar tersebut? Apakah hanya mengacu ke makna atau semuanya? Padahal, signifiant itu secara konkret bisa berupa kalimat; bahkan inilah yang terjadi dalam komunikasi wajar. Apalagi, tentu, Saussure tidak akan mengakui bahwa fonem atau suku kata merupakan signifiant sebab tidak memiliki hubungan dengan konsep. Kalimat Dita menendang bola dengan Bola ditendang Dita, ataupun dengan Bola ditendang oleh Dita adalah berbeda maknanya, tetapi mengadung informasi yang sama. Nah, konsep mengacu pada bagian yang mana? Apakah konsep hanya mengacu pada makna (istilah Verhaar) karena gambaran akustis ketiganya berbeda? Jika, itu yang diakui, misalnya, seberapa batas signifianttidak jelas dikemukakan.
Seperti halnya istilah langue danparole, yang diragukan (setidak-tidaknya dalam makalah ini) keorisinalannya, 'konsep' dasar signifie dan signifiant juga demikian. Masalahnya, jauh sebelum kedua istilah terakhir ini dikembangkan oleh Saussure, kaum Stoik pada abad ke-4 SM telah pula mengungkapkan perbedaan antara semainon dan semainomenon ataulekton. Semainon mengacu kepada tanda atau simbol yang berupa bunyi atau disebutnya sebagai materi bahasa, sedangkan semainomenon atau lektonadalah makna, apa yang disebut. Berdasarkan hal ini, jelas bahwa pengertian signifiant sama dengansemainon dan signifie sama dengansemainomenon.
Kemungkinan sekali pengaruh kaum Stoik ini sampai pada Saussure melalui beberapa generasi linguistik. Kaum Stoik berpengaruh pula pada kaum Alexandrian, di antaranya Dionysius Trax. Di zaman Romawi terlihat pula nama Varro, yang sebelumnya memperoleh didikan kaum Stoik yang bernama Crates. Pada zaman pertengahan, kaum Modistae tampaknya juga memiliki cara pandang yang sama dengan kaum Stoik terhadap bahasa; bahkan pengaruh Aristotelles terasa sekali. Dalam konsep kaum Modistae ini unsur semantik mendapat perhatian penuh. Mereka juga telah membedakan antara tanda berupa bunyi dan konsep atau makna dari tanda tersebut. Yang pertama disebutnya modi significandi dan yang kedua disebut modi inteligendi (Parera, 1983:44; Wahab, 1990:8). Konsep ini mirip dengan signifiant dan signifie Saussure. Jadi, signifiant sama dengan modi significandi dan signifie sama dengan modi inteligendi. Pengaruh kaum Modistae ini, dan tentu saja Aristotelles, juga masih terasa pada zaman renaisance. Pada gilirannya, kaum linguis historis juga banyak yang melirik linguistik kuno tersebut.
2.4 Dikotomi Hubungan Sintagmatik dan Paradigmatik
Perbedaan dan hubungan di antara unsur-unsur bahasa berlangsung di dalam dua lingkungan yang berbeda, yang masing-masing diturunkan oleh tataran valensi tertentu. Perbedaan dan hubungan itu berkaitan dengan dua bentuk dalam kegiatan mental. Keduanya sangat dibutuhkan dalam kegiatan berbahasa. Hubungan antarunsur adakalanya asosiatif (istilah ini kemudian oleh Louis Hjemlslev, seorang linguis Denmark diganti dengan paradigmatik), ada kalanya sintagmatik. Pengelompokan secara asosiatif dan secara sintagmatik pada umumnya disusun oleh langue. Himpunan hubungan-hubungan lazim itulah yang membentuk dan mengarahkan berfungsinya langue(Saussure, 1988:226).
Hubungan sintagmatik adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan ini disebut hubungan in praesentia. Hubungan itu didasari oleh dua atau sejumlah istilah yang juga hadir dalam suatu seri yang efektif. Sebaliknya, hubungan paradigmatik menyatukan istilah-istilah in absentia di dalam sederet mnemonis yang potensial.
Setiap mata rantai dalam rangkaian ujaran mengingatkan orang pada satuan bahasa lain karena satuan itu serupa atau berbeda dengan yang lain dalam bentuk dan makna. Inilah yang disebut Saussure dengan hubungan asosiatif. Dengan demikian, hubungan ini bersifat in absentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada pula yang tidak dalam ujaran.
Untuk menjelaskan perbedaan kedua macam hubungan itu, Saussure menggunakan perbandingan dengan bagian tertentu sebuah bangunan, yakni sebuah pilar. Pilar itu di satu pihak berhubungan dengan atap yang ditunjangnya. Pendampingan kedua satuan itu, yang hadir secara sejajar di dalam ruang dapat dibandingkan dengan hubungan sintagmatik. Pada pihak lain, bila pilar itu bergaya dora, mengingatkan orang pada gaya-gaya yang lain (misalnya gaya ionia, gaya corintia, dsb.), yang merupakan unsur tak hadir dalam ruang. Hubungan yang demikian itu dapat dibandingkan dengan hubungan asosiatif.
Berkaitan dengan uraian di atas, bilasintagma dikatakan Saussure dapat berupa satuan berurutan apa saja yang jelas batasnya, yang jumlahnya sekurang-kurang ada dua satuan dan satuan itu dapat berupa fonem, suku kata, kata, morfem, frase, dan sebagainya, apakah hubungan unsur-unsur yang tidak berdekatan itu tidak bisa dikatakan hubungan sintagmatik, padahal unsur-unsur itu hadir, misalnya dalam kalimat Dia tidak menemukan bukunya yang hilang dua hari lalu. Enklitik -nya mengacu dan tentu saja memunyai hubungan yang sangat erat dengan dia yang mendahuluinya. Keberadaan keduanya berjauhan. Sebenarnya, -nya dalam kalimat tersebut bukan hanya berhubungan denganbuku yang diikutinya secara langsung, melainkan juga dengan dia.
Di samping itu, berkaitan dengan istilah in absentia dalam hubungan paradigmatik, apakah dalam peristiwa pelesapan ('deletion'), misalnya pelesapan subjek, dapat dikatakan terdapat hubungan paradigmatik? Jelas dalam peristiwa ini ada unsur yang sengaja dilesapkan atau tidak dihadirkan, in absentia . Tentu saja, hal ini tidak dapat dikatakan paradigmatik.
2.5 Dikotomi Bentuk dan Substansi Bahasa
Menurut Saussure (1988:205), peranlangue yang khas dalam hubungannya dengan pikiran bukanlah menciptakan sarana bunyi materiel untuk pengungkapan gagasan, melainkan menjadi perantara di antara pikiran dan bunyi. Dalam kondisi demikian, persatuan keduanya mau tidak mau keluar sebagai pembatasan yang timbal balik dari satuan-satuan. Pikiran yang kodratnya kacau balau dipaksa untuk memperjelas diri ketika terpilah. Jadi, tidak ada materialisasi pikiran ataupun spiritualisasi bunyi, tetapi yang ada adalah hubungan "pikiran-bunyi" yang mengakibatkan pemilahan. Languemengolah satuan-satuannya sambil membentuk diri di antara dua keadaan tersebut.
Langue dapat dibandingkan dengan selembar kertas. Pikiran adalah bagian dari recto, sedangkan bunyi adalah bagian verso. Orang tidak mungkin memotong recto tanpa memotong sekaligus verso. Dalam langue tidak mungkin dipisahkan bunyi dari pikiran, maupun pikiran dari bunyi. Linguistik bergerak di daerah perbatasan kedua unsur yang saling berkombinasi. Kombinasi itu menghasilkan bentuk dan bukan substansi (Saussure, 1988:206).
Pandangan tersebut memberi Saussure kejelasan atas arti tanda bahasa yang arbitrer karena tidak ada sistem dari luar yang mengatur penggabungan bentuk dan makna. Lebih lanjut, Saussure mengungkapkan bahwa sangat keliru untuk menganggap unsur bahasa hanya merupakan gabungan bunyi dan konsep. Hal semacam itu berarti memisahkan unsur bahasa dari sistemnya dan memberikan kesan bahwa orang memulai dari unsurnya dan baru kemudian membentuk sistem dengan mengumpulkannya. Padahal, seharusnya dia mulai dari sistem yang utuh dan melalui analisis diperoleh unsur-unsurnya.
Berdasarkan hal itu, dapat diungkapkan bahwa bentuk (forma) mengacu kepada sistem relasi, sedangkan substansi adalah bendanya, objek materiel bahasa. Sistem relasi itu terungkap dalam hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik. Sistem itu sendiri terjadi dari tingkat-tingkat struktur. Tiap-tiap tingkat terdiri atas unsur yang saling berkontras dan berkombinasi untuk membentuk satuan yang lebih tinggi. Inilah yang menjadi dasar pendekatan strukturalisme.
Akankah bahasa hanya merupakan sistem relasi, tanpa memperhatikan substansinya. Sebenarnya, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa sistem relasi itu dapat menimbulkan satuan unsur-unsur tertentu, bisa kata, morfem, frase, ataupun kalimat. Satuan-satuan inilah sebenarnya yang disebut substansi. Jadi, rasanya kurang tepat bila dikatakan bahwa bahasa adalah bentuk, dan bukan substansi. Seharusnya, bahasa adalah keduanya, yakni menyangkut bentuk dan substansi.
2.6 Dikotomi Bahasa sebagai Fakta Sosial dan Fakta Psikologis
Saussure lebih menekankan bahwa bahasa adalah fakta sosial. Hal ini terjadi karena menurutnya bahasa adalah sistem tanda (Sampson, 1980: 56). Sebagai sistem tanda, bahasa merupakan kesadaran masyarakat (bersama) yang bersifat arbitrer. Karena sebagai fakta sosial, tidak seorang pun yang dapat menguasai bahasa ibu dengan sempurna.
Menurut penjelasan ini bahwa seseorang hanya akan dapat mengungkapkan kalimat tertentu bila dia pernah mendengarnya. Atau dengan kata lain bahwa kalimat yang diungkapkannya itu telah ada di masyarakat. Apakah kenyataannya demikian bila seseorang berbahasa. Manusia adalah makhluk kreatif. Akibatnya, bisa saja manusia menciptakan sesuatu (dalam hal ini kalimat), yang sebelumnya tidak ditemukan. Ini semua bukan fakta sosial, sebab menyangkut kreativitas, yang nota bene merupakan fakta psikologis. Dengan demikian, bahasa bukan hanya merupakan fakta sosial, melainkan juga fakta psikologis.
3. Penutup
Demikianlah beberapa pikiran Saussure yang termuat dalam Cours de Linguistique Generale, yang terbit pertama kali tahun 1916. Meskipun pandangan-pandangan itu telah lebih sembilan puluh tahun diungkapkan, ternyata masih ada beberapa pandangannya yang relevan hingga saat ini. Namun, ada dua isu pokok yang dapat diangkat, yakni (1) adanya beberapa konsep yang telah kurang relevan dilihat dari sudut pandang linguistik saat ini dan (2) orisinalitas beberapa pandangan tersebut.
4. Daftar Pustaka
de Saussure, Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. (Terjemahan Hidayat, Rahayu S.) Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. "Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913) Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme". Dalam de Saussure, Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. (Terjemahan Hidayat, Rahayu S.) Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press.
Parera, Jos Daniel. 1983. Pengantar Linguistik Umum: Kisah Zaman. Ende: Nusa Indah.
Sampson, Geoffrey. 1980. Schools of Linguistics. Stanford: Stanford Univ. Press.
Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: P2LPTK.
Verhaar, J.W.M. 1977. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press.
Wahab, Abdul. 1990. Butir-Butir Linguistik. Surabaya: Airlangga Univ. Press.
Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga Univ. Press.