Foucault
dan Posmodernisme
Oleh: I. Bambang Sugiharto *
"Posmodernisme" itu macam hantu. Orang bisa ngotot
menganggapnya tidak ada dan omong kosong. Meskipun orang bisa juga bersikukuh
menganggapnya kenyataan paling real hari ini. Orang bisa bilang bahwa itu mode
intelektual yang sudah mati, atau malah keguguran sebelum lahir. Akan tetapi,
bisa juga sebaliknya: paradigma yang baru saja lahir dan sedang berkembang
kini. Istilah itu menyandang demikian banyak nuansa yang campur aduk, sehingga
argumentasi apa pun sepertinya bisa saja diterima. Maka mendudukkan Foucault
dalam konsep yang tidak jelas itu dengan sendirinya menjadi tidak bisa
definitif pula.
Klarifikasi
Istilah
"Posmodernisme" bisa menunjuk pada berbagai arti yang berbeda, bisa
berarti : aliran pemikiran filsafati; pembabakan sejarah (erat terkait pada
pergeseran paradigma); ataupun sikap dasar/ etos tertentu. Masing-masing
membawa konsekuensi logis yang berbeda, meskipun bisa saling berkaitan juga.
Apabila yang kita maksudkan adalah aliran fllsafat, maka ia menunjuk terutama
pada gagasan-gagasan J.F. Lyotard, yang paling
eksplisit menggunakan istilah itu. Namun bila yang kita maksud adalah babakan
sejarah baru yang meninggalkan kerangka berpikir modern ("Pos"
modern), maka mereka yang paling sibuk memetakannya adalah Charles Jeneks,
Andreas Huysen, David Harvey dll. Di sini orang bisa berdebat
dengan sangat nyinyir kapan persisnya terjadi pergeseran paradigma
besar-besaran dan apa persis yang bergeser itu sehingga bisa menyebut zaman ini
"post"-modern. Jangan-jangan segala pergeseran itu justru radikalisasi
dan segala kecenderungan modern sendiri, sehingga alih-alih "post",
semua gelagat itu mesti disebut "most" : most-modern.
Pada titik inilah kita mesti mendudukan berbagai wacana dan orang-orang macam Habermas,
Anthony Giddens, Ernest Geliner dsb. Akan tetapi, bila
Posmodernisme kita artikan dalam arti luas, yakni sebagai segala bentuk
"sikap dasar" (etos) yang mencoba kritis terhadap pola pikir dan
prinsip-prinsip modernisme, maka tiba-tiba "Posmodernisme" mencakup
wilayah isi, aliran filsafat dan tokoh yang amat luas. Ia menjadi
istilah-payung yang memayungi demikian beragam gelagat di berbagai bidang,
bahkan yang saling bertentangan sekalipun. Celakanya, karena bisa berisi apa
pun orang lantas juga menganggap istilah itu kosong tanpa isi. Dan istilah "posmo"
menjadi bahan olok-olok untuk apa pun yang tidak lazim, ganjil, bahkan tidak
senonoh. Ia menjadi karikatur. Maka tak usah heran bila tiba-tiba
"Posmo" menjadi nama sebuah tabloid kienik. Dan bisa saja ada warung
bakso atau situs porno yang bernama "Posmo" juga.
Tulisan ini cenderung
berbicara tentang arti yang ketiga itu, yakni posmodernisme sebagai segala
bentuk sikap kritis terhadap pola pikir dan prinsip-prinsip modernisme. Saya
kira sulitlah disangkal bahwa hari-hari ini memang bermunculan demikian banyak
kecenderungan kritis baru, yang pada titik-titik tertentu toh memaksa kita
memahami kemodernan secara berbeda. Dan ini tidak hanya mencakup satu dua
aliran pemikiran. Ia mencakup demikian banyak gejala yang sangat kompleks di
segala bidang. Menganggap segala istilah "the end" yang heboh
bermunculan dalam begitu banyak bidang hari-hari ini (The
end of philosophy, of ideology,of science, of histoiy, of art, of nation-state,
etc.etc.) sekadar sebagai kelatahan modis belaka rasanya terlalu
simplistik dan menunjukkan kekurangpekaan yang serius.
Sebagai istilah-payung memang
posmodernisme dalam arti luas ini bisa terasa kosong, bisa diisi apapun juga.
Akan tetapi barangkali ia mesti dilihat ibarat keranjang besar, kosong,
meskipun keranjangnya ada. Dan itu sebetulnya sama saja dengan istilah
"modern" sendiri, yang juga bisa diisi apapun juga.
Orang bisa menyebut teknologi
modern, pola pikir modern, pesantren modern, bahkan gaya cukuran modern atau
gudeg modern,dst. Dan orang bahkan bisa menyebut berbagai aliran filsafat yang
satu sama lain saling bertentangan macam rasionalisme, empirisme, materialisme
dan idealisme, semua sebagai filsafat "modern", alias berada dalam
satu keranjang yang sama. Artinya, keranjangnya toh ada. Ada
kecenderungan-kecenderungan dasar yang sama.
Beberapa kecenderungan dasar
umum posmodernisme yang bisa dianggap sebagai kerangka keranjang, misalnya:
(1) kecenderungan menganggap segala klaim tentang "realitas" ( diri
subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dsb.) sebagai konstruksi semiotis, artifisial
dan ideologis;
(2) skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang "substansi"
objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang universalitas);
(3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara dan sistem
(pluralisme);
(4) paham tentang "sistem" sendiri dengan konotasi otonom dan
tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan
"jaringan", "relasionalitas" ataupun "proses"
yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis;
(5) dengan begitu cara pandang yang melihat segala sesuatu dan sudut oposisi
biner pun (either-or) dianggap tak lagi memuaskan; segala
unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah
"postmodernisme" sendiri pun mesti dimengerti dalam interrelasinya
dengan "modernisme", alih-alih melihatnya sebagai oposisi);
(6) melihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties)
lain selain rasionalitas, misalnya: emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas,
dsb.; serta
(7) menghargai segala hal "lain" (otherness),yang lebih luas, yang
selama ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern (mis. kaum
perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama, sehingga segala hal dan
pengalaman yang selalu mengelak dan pola rumusan kita).
Akan tetapi, keluasan memang
berarti juga kekaburan. lnilah memang masalahnya: kekaburan istilah
"posmodern" sebagian besar adalah karena kekaburan istilah
"modern" itu sendiri. "modern" dalam arti mana yang
dikritik "posmodernisme" itu. Berbagai kekisruhan dalam menempatkan
tokoh mana dijalur mana berakar pada persoalan itu. Artinya, kendati
posmodernisme bisa dicanangkan prinsip-prinsip dasarnya yang sama, - yang
membuatnya bisa mencakup demikian banyak aliran - toh selalu bisa juga dilihat
perbedaan-perbedaannya pada tingkat rincian-rincian. Dan sudut ini, Foucault
bisa dilihat baik sebagai salah satu tokoh posmodern sekaligus juga tokoh
modern, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya.
Foucault Posmodern
Tentu saja anggapan bahwa
Foucault itu tokoh posmodern pertama-tama berawal dari identifikasi antara
Posmodernisme dan Pos-strukturalisme, wilayah berkubangnya Foucault. Dan ini
sebagiannya karena kecenderungan wacana estetik-kultural di AS sejak tahun
60'an. Kecenderungan revitalisasi Avantgardisme-Eropa di Amerika saat itu
membawa tendensi-tendensi yang melahirkan arus estetik baru yang kemudian
disebut "Posmodern". Arus estetik ini misalnya bagaimana pun mengubah
anggapan-anggapan ideologis modern tentang "style","bentuk"
, "kreativitas" dan terutama tentang "tugas" dan
"hakikat" kesenian dalam kehidupan dan masyarakat. Leslie Fiedler,
misalnya, mengacu pada ekspressi seksual dalam seni, mengangkat
"Pencerahan kelamin" (genital enlightenment) dan
membela literatur pop. Ihab Hasan mengajukan "Estetika bisu" (Aesthetus
of silence).
Susan Sontag mengusulkan cara pandang erotik (lawan
hermeneutik) terhadap seni, menekankan pengalaman sensual dalam apresiasi,
alih-alih interpretasi kognitif-intelektual. Di situ yang ditolak bukanlah
modernisme en bloc, melainkan modernisme yang telah menjadi
bagian dan konsensus liberalkonservatif, yang telah menjadi affirmatif,
impoten dan kehilangan kekuatan kritisnya.
Kalau di situ terlihat
Avantgardisme disusul oleh Posmodernisme estetik, maka saat itu serentak juga
kritik seni ala Teori Kritis Frankfurt -yang cenderung mengutamakan
kedalaman isi dan substansi rasional seni- disusul dan dilibas oleh
kecenderungan baru: Pos-strukturalisme, yang lebih mengutamakan permainan
semiotik di permukaan karya. Cara pandang terhadap karya seni yang tadinya
menekankan kejeniusan sang senimannya (writerly text) diganti menjadi
kebermainan si penikmatnya dalam mengotak-atik sesuka sendiri bentuk karya itu
(readerly text) dengan kebahagiaan yang mereka
sebut: jouissance ( Barthes). Konkruensi antara
Posmodernisme dan Pos-strukturalisme inilah agaknya yang membuat orang cepat
menghubungkan keduanya seolah satu kubu. Lagipula pos-strukturalisme yang
memperkarakan teks apa pun itu memang juga cenderung mencampurbaurkan teks
sastra dengan teks-teks kritis-filosofis, atas nama intertekstualitas.
Akan tetapi juga dari sudut
isi gagasannya pos-strukturalisme memang merupakan sumber yang subur bagi
argumen-argumen pos-modernisme. Kecenderungan Pos-strukturalisme untuk
mengkritik konsep tentang manusia sebagai subjek rasional, konsep metafisis
tentang pengetahuan, kebenaran, identitas, dan sejarah adalah salah satu
landasan paling meyakinkan yang digunakan oleh Posmodernisme.
Bila dalam paradigma modern,
kesadaran dan objektivitas adalah dua unsur yang membentuk subjek
rasional-otonom, bagi Foucault konsep diri manusia sebenarnya hanyalah produk
bentukan diskursus, praktik-praktik, institusi, hukum ataupun sistem-sistem
administrasi belaka, yang anonim dan impersonal namun sangat kuat mengontrol (Madness
and Civilization; The Order of Things dan The
Archeology of Knowledge). Bahkan, Iebih dalam lagi, Foucault
seperti ingin membongkar keterkaitan yang biasanya dianggap niscaya antara
kesadaran, refleksi-diri dan kebebasan. Skeptisisme epistemologis yang ekstrim
telah membuat Foucault menyejajarkan pengetahuan, subjektivitas dengan
kekuasaan, dan karenanya menganggap segala bentuk kemajuan/ pencerahan entah di
bidang psikiatri, perilaku seksual atau pun pembaharuan hukum - selalu saja
sebagai tanda-tanda kian meningkatnya bentuk kontrol atas kesadaran dan
perilaku individu. Bukan oleh agen atau rezim tertentu, melainkan oleh jaringan
relasi-relasi semiotis, diskursif dan administratif, yang sebetulnya
anonim-impersonal tadi.
Salah satu hal yang paling
inspiratif bagi Posmodernisme adalah memang sikapnya dalam memahami fenomena
modern yang bernama "pengetahuan" itu, terutama Pengetahuan Sosial.
Ia memperkarakan tentang "Apa itu pengetahuan" secara genealogis dan
arkeologis; artinya, dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi
dan mengembangkan diri selama ini Kategori-kategon konseptual macam
"kegilaan", "seksualitas", "manusia", dan
sebagainya yang biasanya dianggap "natural" itu sebetulnya adalah
situs-situs produksi pengetahuan, yang membawa mekanisme-mekanisme dan aparatus
kekuasaan; kekuasaan untuk "mendefinisikan" siapa kita. Ilmu-ilmu
sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agen-agen kekuasaan itu. Dan kendati
kekuasaan itu tidak selalu negatif-repressif melainkan juga positif-produktif
(menciptakan kemampuan dan peluang baru), toh secara umum ia memaksa kita
memahami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan, melainkan sebagai proses
kian intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillance), lewat
"penormalan", regulasi dan disiplin (I, Pierre
Riviere...; Discipline and Punish; Power/ Knowledge).
Hal menarik yang membuat
Foucault sering dimanfaatkan oleh para jurubicara "posmo" adalah
pengertiannya yang spesifik tentang "kekuasaan" itu. Baginya
kekuasaan bukanlah soal intensi individu, rezim ataupun kelas sosial tertentu,
bukan pula soal relasi produksi dan eksploitasi, melainkan jaringan relasi yang
anonim dan terbuka. Sebenamya Foucault nyaris tidak mencanangkan sebuah teori
ontologis tentang kekuasaan, sebab ia lebih berfokus pada partikularitas
relasi-relasi (penjara, rumah sakit, rumah sakit jiwa, sekolah dan
sebagainya.).
Kekuasaan adalah soal
praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola-pola perilaku,
memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-ritual kebenaran yang
khas. Praktik-praktik itu menciptakan norma-norma yang lalu direproduksi dan
dilegitimasi melalui para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan
administrator, misalnya. Kekuasaan mewujudkan diri dalam pengetahuan, tetapi
pengetahuan pun lantas melahirkan kekuasaan.
Dengan begitu terlihat pula
bahwa bagi Foucault perjalanan sejarah pun kehilangan unsur teleologis. Sejarah
adalah permainan dominasi dan resistensi yang bergeser-geser, grouping
dan regrouping. Dalam sejarah itu misalnya, manusia
memang sempat terbebas dan rantai kontrol eksteral-fisik, tetapi hanya untuk
dibelenggu oleh rantai kontrol internal-mental oleh diri sendiri ( Madness
and Civilization). Maka istilah-istilah macam kesederajatan,
kebebasan, keadilan, dan sebagainya hanyalah alat-alat bagi permainan relasi
kekuasaan macam itu saja. Ini tentu berjajaran dengan pola pikir Nietzschean,
yang misalnya melihat tuntutan orang tertindas terhadap keadilan semata-mata
sebagai dalih mereka untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam kerangka macam ini
sejarah sebagai proses sinambung ke arah emansipasi bagi Foucault adalah
semacam fantasi saja.
Demikian seperti halnya Derrida,
yang juga tidak melihat arah akhir sejarah sebagai satu dan pasti, Foucault
menguatkan kecenderungan pluralisme pemaknaan sejarah di kalangan postmodernis.
Bagi kaum Pos-strukturalis "makna" memang bukan sesuatu yang
mengandung keniscayaan. Korespondensi antara sistem semiotik/ diskursif dengan
realitas bukanlah satu banding satu. Ia selalu membawa banyak kemungkinan dan
mudah berubah.
Akhirnya perlu disebut jasa
lain dari Foucault bagi Posmodernisme adalah: ia menampilkan Otherness
secara lebih konkrit dan grafis, dengan analisis-analisisnya atas pihak-pihak
yang dalam modernitas biasanya dianggap tidak normal dan tidak lazim, yakni
kaum homoseksual, orang gila, tubuh, rumah sakit, dan sebagainya. Dan dengan
begitu membukakan wilayah-wilayah wacana baru.
Foucault Modern
Sebenarnya karya-karya
Foucault, seperti halnya karya beberapa posstrukturalis lain, bisa juga dilihat
sebagai pembacaan atas kemodernan. Artinya, alih-alih dikaitkan dengan
Posmodernisme, bisa lebih tepat dilihat sebagai semacam "Arkeologi atas
Modernisme", alias pembacaan retrospektif atas batas-batas modernisme dan
kegagalan ambisi-ambisi filosofis-politisnya yang ternyata tetap saja
borjuistik.
Langgam dasar dari karya-karya
Foucault dari sudut tertentu sebetulnya juga mirip dengan berbagai kritik atas modernisme
seperti yang dilayangkan oleh Weber dan bergema pada sekolah
Frankfurt (Adorno, Horkheimer). Misalnya, bahwa
modernitas itu menekankan rasionalitas instrumental, berfokus hanya pada cara/
sarana (means) dan bukan pada tujuan (end);
bahwa rationalitas ini mewujud dalam rasionalitas ilmiah, dsb. Bagi Foucault
pun ilmu, yang lewat kecenderungan reifikasinya mengakibatkan keterlepasan dari
misteri tujuan dan nilai hidup ( disenchantment) , adalah mitos
baru. ilmu bicara banyak tentang siasat-siasat teknis, tetapi tak mengerti
apa-apa tentang nilai dan tujuan hidup. Hal lain lagi adalah bahwa baginya
sosok kekuasaan modernisme yang dominatif itu tidak lagi individual ataupun
berupa kelas-kelas sosial, melainkan berupa mesin administratif "netral"
dan impersonal bagai sosok Panopticon, dan bekerja berdasarkan aturan-aturan
abstrak ( Discipline and Punish). Dan ini sebetulnya nyaris
berjajaran juga dengan analisis Weber atas birokrasi atau proses kerja dalam
pola organisasi kapitalisme, yang melihat pergeseran pola dominasi dari pola
"tradisional" ke "legal-rasional".
Akan tetapi cara dan sasaran
pembacaan ala Pos-strukturalisme pada umumnya atas modernisme memang berbeda
juga dari kritik modernisme ala Sekolah Frankfurt. Barangkali akar perbedaannya
terutama terletak pada perbedaan pengertian tentang konsep
"modernisme" itu sendiri. Bagi Habermas, misalnya, seperti
halnya bagi tokoh Frankfurt Iainnya, "modern" itu berarti tradisi
Pencerahan dan supremasi rasionalitas, yang hendak mereka selamatkan.
Sedang yang dimaksud dengan
"modern" oleh para filsuf Pos-strukturalis agaknya adalah: tradisi
kritis dekonstruktif Nietzschean, yakni energi "estetik" yang
cenderung membongkar segala bentuk representasi. Ini memang membawa konsekuensi
logis yang sangat berbeda. Dari perspektif Pos-strukturalis ini misalnya,
rasionalitas Pencerahan adalah justru sosok teror dan pengekangan
totaliter-struktural, yang melahirkan narasi-besar Hegel ataupun Marx,
tetapi juga berbuntut pada totaliterisme Auschwitz ataupun kesewenangan
ideologis Gulag. Dan sudut ini perspektif Pos-strukturalis persis
berbeda secara diametrikal dengan perspektif Frankfurt.
Itu pula sebabnya kata kunci
dalam kritik modernisme versi Pos-strukturalisme misalnya bukanlah
"anxiety", "alienasi" ataupun "negativitas",
melainkan "transgressi", "tekstualitas",
"presensi", "jouissance", dan sebagainya. Kalau teori
kritis beraroma melankolis, murung dan muram, maka pos-strukturalisme lebih
diwarnai kebermainan gembira yang liar bagai merayakan anarkisme dan nihilisme.
Istilah "gay science" dari Nietzsche bagus bila dikenakan pada
perilaku kaum Pos-strukturalis.
Dalam kerangka itu sangatlah
menarik artikel pendek Foucault yang berjudul What is
Enlightenment. Secara eksplisit di sana ia menolak mengambil sikap
pro ataupun kontra terhadap Pencerahan, sebab pemosisian terhadap altematif
macam itu baginya totaliter dan simplistik, terasa bagai tindakan
"pemerasan" (blackmail). Ia juga menganggap
tidak penting istilah "pra-modern","modern" ataupun
"posmodern" yang menunjukkan babakan-babakan sejarah. Sikap
"dialektis" ataupun melihat segalanya dalam kerangka both-and
( "ini" sekaligus "itu") baginya juga bukan jalan keluar.
Yang dicanangkannya adalah sikap realistis yang melihat kenyataan bahwa dari
sudut tertentu kita memang telah dibentuk oleh Pencerahan itu, namun ini tidak
berarti kita mesti mempertahankannya dengan mencari dasar kesahihan baru bagi
prinsip-prinsip universal Pencerahan yang telah ditancapkan oleh Kant.
Alih-alih mencari kembali batas-batas pengetahuan dalam rupa struktur formal
yang niscaya dan universal ala Kant, katanya, justru perlulah kita keluar dari
batasan-batasan macam itu; mencoba kemungkinan-kemungkinan baru yang mendobrak
anggapan tentang keniscayaan-keniscayaan macam itu. Yang diperlukan adalah:
transgressi. Kalau Kant terobsesi oleh prinsip-prinsip universal, maka kita
perlu bertanya mengapa tidak ada tempat yang cukup berarti bagi yang partikular
dan kontingen, misalnya.
Dengan itu Foucault bukannya
hendak menolak modernisme, melainkan memahami modernisme secara berbeda dari
Kant. Bila bagi Kant hal yang inti dari modernisme Pencerahan adalah cita-cita
menjadikan manusia matang, dewasa dan otonom, maka Foucault meragukan hasilnya.
Nyatanya, katanya, hingga hari ini manusia tidak lebih matang dan dewasa
ataupun otonom. Foucault Iebih suka melihat Pencerahan atau kemodernan dari
paham penyair Baudelaire. Dalam kerangka Baudelairean modernitas adalah
etos, sikap dasar, yang selalu memperhadapkan kenyataan real hari ini dengan
potensi kebebasan yang mampu mengatasi realitas itu. Manusia modern di sini
bukanlah manusia yang makin menemukan rahasia-rahasia atau kebenaran
terdalamnya, bukan pula yang makin mampu membebaskan diri menuju diri
sejatinya, melainkan yang terus-menerus mampu menciptakan kembali dirinya,
mampu mengatasi batasan-batasan yang telah dicangkokkan atasnya. Dalam rangka
itulah perlu kini kritik-kritik genealogis dan arkeologis, dan bukan kritik
transendental Kantian. Artinya, yang diperlukan adalah melacak kembali
jaringan-jaringan peristiwa konkrit dalam sejarah yang bisa memperlihatkan
bagaimana pemahaman diri kita itu telah dibentuk, mengapa batasan-batasan
tertentu dianggap niscaya dan universal padahal tidak mesti begitu, dan
sebagainya. Ontologi kritis atas diri, katanya, mestinya berupa etos yang
selalu berani melakukan analisis historis atas segala jenis batas yang
dikenakan pada kita sekaligus bereksperimen untuk keluar dari batasan-batasan
itu.
Segala kritik Foucault atas
"diri subjek" modern agaknya mesti diletakkan dalam kerangka
"Ontologi kritis atas diri" itu. Pada titik ini terlihat makin jelas
ambiguitas sikap Foucault terhadap kemodernan. Di balik segala omongannya yang
sangat berbau "antihumanistik" atau "anti-Subjek", sebetulnya
ia toh tidak naif, ia masih melihat manusia sebagai subjek tertentu. Hanya saja
cara memandangnya memang khas. Maka Foucault sebetulnya masih membela
modernisme dan modernitas, namun dengan perspektif dan caranya sendiri.
Bahkan ada yang menganggap omongan-omongan
Foucault adalah nyanyian angsa (Swansong) dari kemodernan itu
sendiri. Akan tetapi kita tahu juga memang, nyanyian angsa paling indah adalah
nyanyian terakhir sebelum ia mati. Omongan-ornongan kaum pos-strukturalis
memang memukau dan mengasyikkan bagai binar-binar kembang api. Namun, kembang
api terasa memukau hanya di malam ri ketika modernisme sudah malam, gelap dan
frustrasi.
* Penulis adalah dosen
filsafat pada Universitas Parahyangan, Bandung
Daftar Pustaka
Foucault, M., Madness
and Civilization, London: Tavistock, 1967
---, The Order of Things, London: Tavistock, 1970
---, The Archeology of Knowledge, London: Tavistock,
1972
--- , Power/Knowledge, selected interviews and other writings
1972-1977, ed. C. Gordon, Brighton: Harvester Press, 1980
--- , Discipline and Punish, London: Penguin, 1977
---, "What is Enlightenment" dalam Knowledge
and Postmodernism in historical perspective, ed. Joyce Appleby et
al., New York : Routledge, 1996