PENGANTAR
LOGIKA

A. Pengertian Logika
Logika adalah bahasa Latin berasal dari Logos yang
berarti perkataan atau sabda.[1][1]
Istilah lain yang digunakan sebagai gantinya adalah Mantiq, kata Arab
yang diambil dari kata kerja nataqa yang berarti berkata atau berucap.[2][2]
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa : alasannya
tidak logis, argumentasinya logis, kabar itu tidak logis. Yang dimaksud dengan
logis adalah masuk akal, dan tidak logis adalah sebaliknya.
Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan
hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran
yang salah. Kata logika pertama kali dipergunakan oleh Zeno dari Citium. Kaum
Sofis, Socrates dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya Logika.
Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan Kaum Stoa.
Aristoteles meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya diberi nama organon.
B. Arti Ilmu
Dalam bahasa Indonesia “Ilmu” seimbang artinya dengan “Science”
dan dibedakan pemakaiannya secara jelas dengan kata “Pengetahuan”. Dengan kata
lain ilmu dan pengetahuan mempunyai pengertian yang berbeda secara mendasar.
Pengetahuan (Knowledge) adalah hasil dari aktivitas
mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak ada
keraguan terhadapnya. “ketidakraguan” adalah syarat mutlak bagi jiwa
untuk dapat dikatakan “mengetahui”. Kita mengetahui bilangan 3 > 2, 3 < 5
manakala kita yakin akan kenyataan itu, meskipun guru kita atau orang yang kita
anggap pandai mengatakan sebaliknya, toh kita tetap pada pendirian kita. Jika
pendapat yang berlawanan itu menyebabkan kita ragu, berarti kita tidak
mengetahui bilangan tiga.
Kita harus berhati-hati dalam menggunakan kata “pengetahuan”
dan “ilmu” dari apa yang kita tangkap dalam jiwa. Pengetahuan sudah puas
dengan “menangkap tanpa ragu” kenyataan sesuatu, sedangkan ilmu menghendaki
penjelasan lebih lanjut dari sekedar apa yang dituntut oleh pengetahuan.
Contoh : Seorang nelayan tahu betul saat-saat laut pasang
dan surut, sehingga ia dapat mengambil manfaat bagi kehidupannya. Tetapi selama
yang ia ketahui tidak pernah menembus keterangan tentang sebab terjadinya
peristiwa itu, yakni daya tarik bulan yang mengakibatkan air laut di sebagian
belahan bumi ini pasang, selama itu pula ia hanya merupakan pengetahuan
baginya. Terlihat bahwa pernyataan-pernyataan keilmuan berkaitan satu sama
lain, yang kesemuannya merupakan suatu informasi yang utuh.
C. Arti Pikiran
Logika mempelajari hukum-hukum, patokan-patokan dan
rumus-rumus berpikir. Dan urusan benar-salah menjadi masalah pokok dalam
logika. Banyak jalan pemikiran kita dipengaruhi oleh keyakinan, pola berpikir
kelompok, kecenderungan pribadi, pergaulan, sugesti. Juga pemikiran yang
diungkapkan sebagai luapan emosi seperti caci-maki, kata pujian atau pernyataan
keheranan dan kekaguman. Ada juga pemikiran yang diungkapkan dengan argumen
yang secara selintas kelihatan benar untuk memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan
memperoleh keuntungan pribadi maupun golongan.
Logika menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran
dengan cara serius dan terpelajar serta bertujuan mendapatkan kebenaran,
terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan. Ia merumuskan serta
menerapkan hukum-hukum dan patokan-patokan yang harus dita’ati agar manusia
dapat berpikir benar, efisien dan teratur. Dengan demikian ada dua obyek
penyelidikan logika, pertama, pemikiran sebagai obyek material dan, kedua,
patokan-patokan atau hukum-hukum berpikir benar sebagai obyek formalnya.
D. Arti Benar
Pertama, Benar pada dasarnya adalah
persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Kita akan berkata bahwa proposisi
berikut adalah salah : Batu lebih ringan daripada kapuk; kepada Musa Allah
menurunkan Al-Quran. Ukuran kebenaran kedua adalah adanya persesuaian
atau tidak adanya pertentangan dalam dirinya (dari awal-akhir) contoh Fatimah
adalah seorang bisu yang pandai berdebat. Ini bukan hanya terjadi pada pernyataan
pendek tetapi juga dapat terjadi pada pernyataan yang panjang. Seorang hakim
yang cerdas akan melihat tidak adanya persesuaian isi pembelaan tertuduh
meskipun berpuluh-puluh halaman panjangnya.
Soal : “Kuasakah Tuhan membuat batu yang sangat besar yang
mana Tuhan sendiri tidak bisa mengangkatnya?”.
Asas sebagaimana kita ketahui adalah pangkal atau asal
dari mana sesuatu itu muncul dan dimengerti. Maka asas pemikiran adalah
pengetahuan di mana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Kapasitas asas ini
bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah benarnya suatu pemikiran
tergantung terlaksana tidaknya asas-asas ini. Ia adalah dasar daripada
pengetahuan dan ilmu. Asas pemikiran ini dapat dibedakan menjadi :
1.
Asas Identitas (qanun
zatiyah) Ia adalah dasar dari semua pemikiran dan bahkan asas pemikiran
yang lain. Kita tidak mungkin dapat berpikir tanpa asas ini. Prinsip ini
mengatakan bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan lainnya. Jika kita
mengakui bahwa sesuatu itu Z maka ia adalah Z dan bukan A, B atau C. Bila kita
beri perumusan akan berbunyi : “Bila proposisi[4][4] itu benar maka benarlah ia”.
2.
Asas Kontradiksi (qanun tanaqud), Prinsip ini mengatakan bahwa
pengingkaran sesuatu tidak mungkin sama dengan pengakuannya. Jika kita megakui
bahwa sesuatu itu bukan A maka tidak mungkin pada saat itu ia adalah A, dengan
kata lain “tidak ada proposisi yang sekaligus benar dan salah”.
3.
Asas penolakan kemungkinan ketiga (qanun imtina), Mengatakan bahwa antara pengakuan
dan pengingkaran kebenarannya terletak pada salah satunya. Pengakuan dan
pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu disamping tidak mungkin
benar keduanya juga tidak mungkin salah keduanya. “Suatu proposisi selalu
berada dalam keadaan benar atau salah”.
Ada dua cara berpikir yang dapat kita gunakan untuk
mendapatkan pengetahuan baru yang benar, yaitu melalui metode induksi dan
metode deduksi. Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang
bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Contoh :
Emas dipanaskan memuai
Timah dipanaskan memuai à jadi semua logam jika dipanaskan memuai
Platina dipanaskan memuai
Cara penalaran ini mempunyai dua keuntungan. Pertama,
kita dapat berpikir secara ekonomis. Kedua, pernyataan yang dihasilkan
melalui cara berpikir induksi tadi memungkinan proses penalaran selanjutnya.
Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum, menuju
kesimpulan yang bersifat khusus. Seperti :
Semua logam bila dipanaskan,
memuai
Tembaga adalah logam
Jadi tembaga bila dipanaskan, memuai.
Jadi, pada intinya adalah berpikir benar dan menghasilkan
suatu kebenaran haruslah dengan cara yang benar pula. Oleh karenanya belajar
logika yang nantinya akan mengetahui cara berpikir benar sehingga mampu
menghasilkan suatu pengetahuan yang benar pula.
Hal yang relevan yang terlebih dahulu dikemukan adalah
apa arti kebenaran. Dalam sejarah
filasafat, paling tidak sampai dengan sekarang ada empat teori yang menjawab
pertanyaan tersebut secara filosofis (Keraf dan Dua, 2001), yaitu :
(1)
teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of truth),
(2)
teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth),
(3)
teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth), dan
(4) teori performative tentang kebenaran (the performative theory of truth).
Teori Kebenaran
Sebagai Persesuaian. Teori ini pertama
kali dimunculkan oleh Aristoteles.
Menurut Aristoteles kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang
diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya
apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara
subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas sebagaimana
adanya. Oleh karenanya ini disebut pula
kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan, proposisi atau teori
ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori itu didukung oleh fakta
atau tidak. Contohnya “ bumi ini bulat”
adalah suatu pernyataan benar, karena dalam kenyataannya pernyataan ini didukung
sesuai dengan kenyataan.
Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti
benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan
pernyataan itu. Intinya realitas adalah
hal yang pokok dari kegiatan ilmiah. Ada tiga hal pokok yang perlu
digarisbawahi dalam teori ini. Pertama, teori ini sangat menekankan aliran
empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber
utama pengetahuan manusia. Kedua, teori ini juga cenderung menegaskan dualitas
antara subyek dan obyek, antara sipengenal dan yang dikenal. Bagi teori ini
yang paling berperan bagi kebenaran pengetahuan manusia adalah obyek. Subyek
atau akal budi manusia hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan oleh obyek.
Ketiga, konsekuensi dari hal di atas teori ini sangat menekankan bukti (eviden) bagi kebenaran suatu
pengetahuan. Tetapi bukti ini bukan diberikan secara apriori oleh akal budi,
bukan pula hasil imajinasi, tetapi apa yang diberikan dan disodorkan oleh obyek
yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Jadi pengamatan atau penangkapan
fenomena yang ada menjadi penentu dalam teori ini.
Teori Kebenaran
Sebagai Keteguhan. Teori ini dianut oleh kaum rasionalitas seperti Leibniz, Spinoza,
Descartes, Heggel, dan lainnya.
Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi
yang sudah ada. Suatu pengetahuan,
teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan
pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu
meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat
menekankan teori kebenaran ini.
Contohnya, pengetahuan “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air
yang sedang mendidih”.
Bagi kaum empiris (kebenaran
persesuaian), untuk mengetahui kebenaran pengetahuan ini perlu diadakan percobaan dengan memasukkan lilin ke dalam
air yang sedang mendidih untuk mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan
kenyataan atau tidak. Tetapi bagi kaum
rasionalitas, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini cukup mecek apakah
pernyataan ini sejalan dengan pernyataan lainnya, atau apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan
lainnya. Ternyata, pernyataan ini benar
karena lilin termasuk bahan parafin dan parafin selalu mencair pada suhu 600
C. Karena air mendidih
pada suhu 1000 C, lilin dengan sendirinya mencair kalau dimasukkan
ke dalam air yang sedang mendidih.
Pernyataan ini benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin
adalah bahan parafin yang selalu mencair pada suhu 600 C dan sejalan
dengan pengetahuan lain bahwa iar mendidih pada suhu 1000 C. Dengan kata lain, “lilin akan mencair kalau
dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”, hanya merupakan konsekuensi
logis dari pernyataan-pernyataan lain tersebut.
Teori Pragmatis Tentang Kebenaran. Teori ini dikembangkan oleh filsuf pragmatis dari Amerika Serikat seperti
Charles, S. P dan William James. Bagi
kaum pragmatis kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan. Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang
benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu
memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling
berhasil dan tepat guna. Berhasil dan
berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar atau
tidak. Contoh, ide bahwa kemacetan jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan
terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi oleh satu orang. Maka penyelesaiannya “mewajibkan jalan
pribadi ditumpanhi oleh tiga orang atau lebih”.
Ide tadi benar apabila ide tersebut berguna dan berhasil memecahkan
persoalan kemacetan.
Kebenaran yang ditekankan oleh kaum pragmatis adalah
kebenaran yang menyangkut “pengetahuan
bagaimana” (know how). Suatu ide yang
benar adalah ide yang memungkinkan saya berhasil memperbaiki atau menciptakan
sesuatu. Kaum pragmatis sebenarnya tidak menolak teori kebenaran dari kaum
rasionalis maupun teori kebenaran kaum empiris. Hanya saja, bagi kaum pragmatis
suatu kebenaran apriori hanya benar kalau kebenaran itu berguna dalam
penerapannya yang memungkinkan manusia bertindak secara efektif. Kebenaran bagi
kaum pragmatis juga berarti suatu sifat yang baik. Maksudnya, suatu ide atau
teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Dengan kebenaran,
manusia dibantu untuk melakukan sesuatu supaya berhasil. Singkatnya, kita tidak
hanya membutuhkan “pengetahuan bahwa” dan “pengetahuan mengapa” tetapi juga
“pengetahuan bagaimana”.
Teori Kebenaran Performative.
Teori ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter
Strawson. Para filsuf ini hendak
menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya
menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu
menyatakan sesuatu yang dianggap benar, demikian sebaliknya. Namun, justru inilah yang ingin ditolak oleh
filsuf-filsuf ini. Menurut teori ini
suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu menciptakan realitas. Pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang
mengungkapkan realitas tapi justru dengan pernyataan itu terciptanya suatu
realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Contohnya, “Dengan
ini saya mengangkat anda menjadi dosen pengasuh matakuliah Falsafah
Sains”. Dengan pernyataan ini tercipta
suatu realitas baru, realitas anda sebagai dosen Falsafah Sains.
Dengan demikian, sifat dasar kebenaran ilmiah selalu
mempunyai paling kurang tiga sifat dasar, yaitu : struktur yang rasional-logis,
isi empiris, dan dapat diterapkan (pragmatis).
Kebenaran ilmiah yang rasional-logis adalah bahwa kebenaran dapat
dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis atau rasional dari proposisi atau
premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang
rasional, yaitu yang dapat menggunakan akal budinya secara baik, dapat memahami
kebenaran ilmiah ini. Oleh karenanya kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai
kebenaran yang universal. Satu hal yang perlu dicatat bahwa perlu dibedakan
sifat rasioanl dengan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama berlaku bagi
kebenaran ilmiah. Sifat “masuk akal” ini terutama berlaku bagi kebenaran
tertentu yang berada di luar lingkup pengetahuan. Contohnya tindakan marah
menangis, dan semacamnya dapat sangat masuk akal walaupun mungkin tidak
rasional.
Sifat empiris dari kebenaran ilmiah mengatakan bahwa
bagaimanapun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah
berkaitan dengan kenyataan empiris dalam dunia ini.
Sifat pragmatis
terutama hendak menggabungkan kedua sifat kebenaran lainnya, artinya kalau
suatu pernyataan benar secara logis dan empiris maka pernyataan tersebut juga
harus berguna dalam kehidupan manusia, yaitu membantu manusia memecahkan
berbagai persoalan dalam hidup manusia.
Kebenaran yang
dicari-cari dalam setiap kesempatan sebenarnya adalah "Kebenaran
Mutlak". Kebenaran mutlak artinya adalah kebenaran yang sudah tidak
dapat disalahkan lagi. Kebenaran yang tidak dapat disalahkan adalah kebenaran
yang menjumpai pembuktian yang mengatasi pernyataannya. Dengan demikian
sebenarnya sepertinya kebenaran mutlak adalah kebenaran dengan fakta yang tidak
dapat disangkal lagi. Seperti api adalah panas, es adalah dingin, batu adalah
keras, air adalah lunak, dan sebagainya adalah kebenaran mutlak juga.
Kebenaran mutlak
sebenarnya adalah kebenaran mutlak dalam suatu pendapat. Ada yang mengatakan
bahwa : "Saya inilah satu-satunya kebenaran". Mengapa demikian,
adalah karena dia menginginkan semua pendapatnya itu harus dipatuhi tanpa boleh
disangkal lagi.
Namun mengapa kita
ini mengatakan masih mencari kebenaran? Ini karena dalam hati kita ingin
membuktikan benarkah ucapan-ucapan yang demikian patut dibenarkan atau
dinobatkan sebagai kebenaran mutlak.
Kebenaran mutlak
yang sampai saat ini masih kita cari adalah seperti adanya surga, adanya
neraka, adanya reinkarnasi, adanya Dewa, adanya kemungkinan kita menjadi Dewa,
dll.
Keinginan kita
untuk membuktikan hal-hal diatas inilah yang dapat dikatakan sebagai mencari
kebenaran. Kegunaannya adalah jika kita telah membuktikannya dan menemukan
kebenaran itu maka kita telah mempunyai tujuan hidup. Sehingga dalam menjalani
kehidupan ini kita menjadi punya tujuan dan arah yang pasti.
Untuk memulainya,
harus kita tentukan dulu apakah yang akan kita cari kebenarannya. Kemudian
jalan pembuktiannya kita lakukan. Kebenaran yang kita temukan sering bersifat
subyektif, apa yang kita nilai benar, belum tentu dinilai benar oleh orang
lain. Demikian pula kebenaran yang akan kita buktikan belum tentu sama dengan
kebenaran yang dicari orang lain. Kesimpulannya, kebenaran itu sifatnya
subyektif atau individual. Seperti kenikmatan es krim belum tentu disukai oleh
orang yang tidak menyukai rasa manis.
Dan kemana arah
dari pencarian kebenaran itu sebenarnya? Sebenarnya yang dicari justru adalah
kepuasan batin dari ditemukannya kebenaran itu. Kepuasan batin itu arahnya
adalah ketenangan jiwa. Dibalik semuanya maka sebenarnya ketenangan jiwa adalah
titik seimbang, yaitu titik keseimbangan dimana semua gerakan di alam semesta
ini menuju keseimbangannya, kemudian menuju tiada gerakan.
Dan disinilah
akhir gerakan sering oleh sebagian orang dikatakan sebagai kesempurnaan.
Padahal jika ditinjau lagi kesempurnaan bukanlah hanya sekedar demikian.
Kebenaran (al-Haq)
itu berasal dari Allah karena itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang
yang ragu. (Al-Qur'an, surat Al-Baqarah:147)
Beberapa diskusi
berkenaan dengan tafsir ayat singkat di atas, membuat saya menyimpulkan bahwa al-Haq
(kebenaran mutlak) hanya milik dan datang dari Allah. Kebenaran yang
didefinisikan manusia yang tidak berlandaskan pada aturan-aturan Allah, akan
menjadi sangat relatif. Dengan kata lain, kebenaran tidak dapat dirumuskan
oleh manusia, karena manakala manusia memberikan batasan kebenaran, maka nilai
kebenarannya menjadi relatif.
Tidak seperti
manusia terhadap barang-barang buatannya, Allah SWT tidak memiliki kepentingan
sedikitpun terhadap makhluk-makhluk ciptaanNya. Seandainya manusia itu beriman
semua, maka tidak menambah kemuliaan Allah; dan seandainyapun manusia kafir
semua, maka tidak akan mengurangi kemuliaan Allah. Allah adalah "ya'lu
wa laa yu'la alaih", Allah adalah tinggi (mulia) dan tertinggi
(termulia) atas semuanya. Kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran ALlah
yang mengikat seluruh manusia, tidak mengenal batas teritorial ataupun etnik.
Sebagai contoh,
mungkin saja suatu kelompok masyarakat menganggap benar suatu tindakan, namun
kelompok masyarakat lain menganggapnya salah. Bila kebenaran dirumuskan oleh
manusia, maka tak pelak lagi unsur-unsur subyektif manusia akan masuk dalam
konsep kebenaran tersebut. Akan tetapi bila kebenaran itu dirumuskan oleh Sang
Maha Pencipta, maka kebenaran akan bersifat absolut, dan kebenaran ini dapat
dipakai bagi kemanfaatan dan keharmonisan seluruh umat manusia.
Bagi ummat Islam,
kebenaran sebenarnya telah nyata, yaitu apa-apa yang difirmankan oleh Allah dan
disampaikan oleh Rasulullah dan tertulis dalm Al-Qur'an. Namun demikiam, tetap
banyakyang tidak peduli dengan nilai-nilai kebenaran ini. Dianggapnya,
kebenaran adalah terbatas dalam ruang-ruang dan majelis ibadah, untuk ditonton
dan diamati; tidak diraih kurang diaplikasikan
dalam kehidupan. Tidaklah mengherankan bila kemudian kebenaran seakan-akan tercecer, terpencar karena tidak terwujud dalam mekanisme kehidupan manusia. Anehnya lagi, bila kebenaran tersebut mulai muncul ke permukaan, berwujud dalam aktifitas, kemudian menyebar pesat; maka kebenaran seakan menjadi "monster" .
dalam kehidupan. Tidaklah mengherankan bila kemudian kebenaran seakan-akan tercecer, terpencar karena tidak terwujud dalam mekanisme kehidupan manusia. Anehnya lagi, bila kebenaran tersebut mulai muncul ke permukaan, berwujud dalam aktifitas, kemudian menyebar pesat; maka kebenaran seakan menjadi "monster" .
Kesadaran para
pemuda di seluruh pelosok dunia dalam kembali ke pelukan Islam, menjadi contoh
ungkapan di atas. Apabila selama ini para pemuda dianggap lumrah pergi
berkumpul di tepi-tepi jalan, pub maupun disco; maka adalah sesuatu yang
mengherankan dan menakutkan apabila kemudian mereka terlihat khusyuk terlibat dalam ibadah di dalam Masjid dan
kegiatan Islami lainnya. Apabila selama ini terlalu sering terlihat remaja
puteri mempertunjukkan auratnya, maka serentet sebutan "fundamentalis,
fanatik ..." serta kecurigaan tertujukan kepada mereka manakala mereka
mulai mengaplikasikan ajaran Islam dalam berbusana muslimah.
Sementara
kebanyakan penguasa dan pihak-pihak tertentu menakuti kemunculan fenomena
kebenaran ini, beberapa masyarakat awam seakan ragu-ragu dalam menghadapi dan
menerima kebenaran ini. Keraguan terhadap kebenaran berarti kerugian. Kerugian
menurut persepsi Allah bukanlah kerugian
kecil. Kerugian menurut Allah SWT adalah kerugian situasi yang diperoleh
manusia kafir. Konsekuensi dari kerugian tersebut tidak lain adalah
sebagaimana ganjaran yang diberikan kepada kaum kafiriin.
Kebenaran adalah
milik semua orang, tidak peduli status maupun keberadaan lain apa pun yang
melekat pada dirinya. Namun disadari serta diakui ataupun tidak oleh kita, pada
kenyataannya kebenaran tidak selalu berpihak pada orang yang merasa dan
menyebut dirinya benar, serta tidak juga menjadikan benar orang yang meng-klaim
dirinya sebagai pemegang kebenaran tersebut.
A Primer on
Postmodernism dari Stanley J. Grenz menyatakan bahwa ditolaknya
kebenaran yang obyektif merupakan tipikal kondisi manusia era Pascamodern
seperti yang ada saat ini. Di sini kebenaran hanyalah merupakan masalah
penafsiran. Namun hal ini tidak sepenuhnya karena kebenaran pada manusia memang
adalah sesuatu yang bersifat (sangat) relatif. Melainkan juga karena kita
memang lebih mudah mengatasnamakan kebenaran itu untuk pembenaran persepsi,
pemahaman, penghayatan, maupun tindakan yang bersangkut paut dengan intensi
diri sendiri dari pada yang ada pada posisi orang yang lain.
Apalagi bila
kebenaran itu dimunculkan oleh kita yang telah lebih dulu menilai diri sendiri
sebagai yang benar. Akibatnya, kebenaran orang lain tidak lagi penting dan
berarti. Kebenaran tidak lagi dimungkinkan untuk berbunyi dalam suara yang
berbeda. Obyektivitas dari kebenaran menjadi tertiadakan, karena kebenaran
telah semata-mata menjadi pembenaran dari si benar. Bukankah kenyataan ini
merupakan kebenaran yang bersifat manusiawi?
Bila pertanyaan
terakhir ini dijawab dengan "ya", maka bagi yang menjawab
"tidak" timbul adanya konflik kebenaran, dan sebaliknya pun akan
sama. Oleh karena itu, tidak penting lagi dipertanyakan kebenaran manakah yang
paling benar atau yang sesungguhnya benar, karena untuk menentukan hal ini pun
tetap saja akan memunculkan konflik kebenaran yang lain.
Kita memang
(cenderung) mengartikan kebenaran semudah menyatakan kebenaran tersebut dengan
mengatasnamakan kebenaran itu sendiri. Bahkan juga untuk pembenaran terhadap
proses "penghancuran" yang terjadi terhadap orang lain, dengan
mengumbar amarah dan kebencian sekalipun. Kebenaran bisa menjadi dasar
pembenaran terhadap peniadaan kebenaran yang lain. Kebenaran bisa dibungkam dan
sekaligus diteriakkan dengan lantang, yang itu sama saja artinya dengan
kebenaran hanyalah omong kosong dari mereka yang merasa memilikinya.
Entah berapa
banyak korban yang telah dipertaruhkan sebagai "tumbal" dari berbagai
dalih kebenaran ideologi, yang entah juga apakah pantas ataukah tidak
dilibatkan di dalamnya, yang sementara itu hanya menghasilkan munculnya
kenangan terhadap segelintir nama dengan anugerah jasa yang ternyata masih
(dapat) diperdebatkan pula kebenarannya. Dengan juga mengatasnamakan kebenaran,
banyak yang berkehendak mendaftarkan nyawanya (yang mungkin dirasakan terlalu
memiliki nilai guna) untuk mengamankan "tempat duduk bapak atau
ibu"-nya di pemerintahan, yang berarti pula pembenaran dalam
"menghabisi" mereka yang mencoba-coba mengusiknya.
Atas nama
kebenaran sosial-ekonomi, sejumlah lahan seperti tersulap berpindah tangan dari
pemiliknya dengan ganti rugi yang bersifat ajaib pula untuk terjadi (baca:
tidak rasional), dengan alasan bagi peruntukkan kepentingan umum (yang ternyata
tidak umum). Sekelompok massa juga berbicara atas nama kebenaran hukum ketika
memanggang hidup-hidup seorang pencuri sepeda motor lengkap dengan sepeda motor
hasil curiannya, seakan-akan nyawa dan sepeda motor tersebut merupakan hak
milik mereka yang dapat diperlakukan seenaknya sendiri. Sekelompok orang juga
harus "menanggung hukuman" dari sekelompok orang yang lain - atas
nama kebenaran etnis - karena "dinyatakan berdosa" akibat terlahir
dengan keberadaan ras dan kesukuan tertentu yang sama sekali tidak pernah
ditawarkan oleh Tuhan untuk mampu ditentukannya sendiri. Di samping itu,
sejumlah tempat peribadahan juga dijadikan abu dengan berangkat dari atas nama
kebenaran yang berawal pada adanya konflik agama.
Dengan
mengatasnamakan kebenaran, kita seringkali merasa bahwa ada legitimasi dan
mandat yang didapatkan dari kebenaran itu sendiri untuk kita mampu
"menghakimi" kebenaran orang lain. Apalagi bila kita juga merasa ada
kekuatan dan kekuasaan yang ada pada kita untuk berbicara atas nama kebenaran
tersebut. Maka, kebenaran orang lain tidak lagi dapat didudukkan pada tempatnya
sebagai bagian dari ke-relatif-an atau pun alternatif dari kebenaran itu
sendiri, melainkan dirasakan sebagai gangguan yang mengusik keleluasaan dan
mungkin juga sebagai ancaman yang membahayakan kebenaran tersebut. Untuk itu
bukan hanya dapat tetapi juga perlu ditiadakan.
Banyak pengalaman
menunjukkan bahwa konflik dengan mempertempurkan kebenaran memang merupakan
sesuatu yang sangat sulit diredam - bila tidak justru menjadi pemicu konflik
yang reaktif sifatnya - karena setiap pihak merasa berbicara dan bertindak atas
nama kebenaran, dan itu cukup menjadi alasan pembenaran segala sesuatu yang
muncul dari padanya.
Memang menakutkan
jika persoalan kebenaran (hanya) merupakan bagaimana tafsir mengenainya
tergambar dalam kesadaran kita. Masalahnya bukan pada penafsirannya, tetapi
lebih kepada intensi manusianya. Mungkin benar satu dialog dalam "Judge
Dredd" - film tentang Joseph Dredd si tokoh hakim masa depan yang
dibintangi Silvester Stallone - yang menyebutkan bahwa mewujudkan kebenaran
merupakan kekuasaan yang terlalu besar bagi manusia. Dalam hal ini sesungguhnya
dipertanyakan apa arti kebenaran tanpa kebajikan, dan itulah yang perlu dan
penting diragukan dari kita selaku manusia dalam menyuarakan kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Mundiri, Logika
Jujun S.Surya Soemantri, Filsafat Ilmu
_________ , 2001. The Internet Encyclopedia of Philosophy
– Truth. Http://www.
Utm.edu.
Abu Akhyar, 1996. Keraguan Terhadap Kebenaran. Http://www.isnet.org.
A. M. W. Pranarka, 1987. Epistemologi Dasar – Suatu
Pengantar. Jakarta : Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Atien Priyati dkk, 2002. Falsafah Kebenaran dalam
Perkembangan Ilmu. Http:// rudyct.tripod.com.
Elim Kiat, 2000. Kebenaran. Http://www.glorianet.org.
Fridayanti, 2001. Sejarah Perkembangan Pengetahuan Tentang Manusia dalam
Perspektif Ilmu Barat. Http://rudyct.tripod.com.
Fredrik Rieuwpassa, 2002. Kajian Filsuf terhadap Kebenaran Sains. Http://www.
Hayati-ipb.com.
Kalvin Suryo, 2001. Mengenal Post Modern dan Pengaruhnya.
Http://…
Liem Kien Kok, 2000. Sedikit Membahas Mengenai Kebenaran.
Http://www.siutao.com.
0 komentar:
Posting Komentar