Pages

Senin, 12 Oktober 2015

PENGANTAR LOGIKA

PENGANTAR LOGIKA

A.   Pengertian Logika
Logika adalah bahasa Latin berasal dari Logos yang berarti perkataan atau sabda.[1][1] Istilah lain yang digunakan sebagai gantinya adalah Mantiq, kata Arab yang diambil dari kata kerja nataqa yang berarti berkata atau berucap.[2][2] Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa : alasannya tidak logis, argumentasinya logis, kabar itu tidak logis. Yang dimaksud dengan logis adalah masuk akal, dan tidak logis adalah sebaliknya.
Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah. Kata logika pertama kali dipergunakan oleh Zeno dari Citium. Kaum Sofis, Socrates dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya Logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan Kaum Stoa. Aristoteles meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya diberi nama organon.
       B.   Arti Ilmu
Dalam bahasa Indonesia “Ilmu” seimbang artinya dengan “Science” dan dibedakan pemakaiannya secara jelas dengan kata “Pengetahuan”. Dengan kata lain ilmu dan pengetahuan mempunyai pengertian yang berbeda secara mendasar.
Pengetahuan (Knowledge) adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadapnya. “ketidakraguan” adalah syarat mutlak bagi jiwa untuk dapat dikatakan “mengetahui”. Kita mengetahui bilangan 3 > 2, 3 < 5 manakala kita yakin akan kenyataan itu, meskipun guru kita atau orang yang kita anggap pandai mengatakan sebaliknya, toh kita tetap pada pendirian kita. Jika pendapat yang berlawanan itu menyebabkan kita ragu, berarti kita tidak mengetahui bilangan tiga.
Kita harus berhati-hati dalam menggunakan kata “pengetahuan” dan “ilmu” dari apa yang kita tangkap dalam jiwa. Pengetahuan sudah puas dengan “menangkap tanpa ragu” kenyataan sesuatu, sedangkan ilmu menghendaki penjelasan lebih lanjut dari sekedar apa yang dituntut oleh pengetahuan.
Contoh : Seorang nelayan tahu betul saat-saat laut pasang dan surut, sehingga ia dapat mengambil manfaat bagi kehidupannya. Tetapi selama yang ia ketahui tidak pernah menembus keterangan tentang sebab terjadinya peristiwa itu, yakni daya tarik bulan yang mengakibatkan air laut di sebagian belahan bumi ini pasang, selama itu pula ia hanya merupakan pengetahuan baginya. Terlihat bahwa pernyataan-pernyataan keilmuan berkaitan satu sama lain, yang kesemuannya merupakan suatu informasi yang utuh.
      C.   Arti Pikiran
Logika mempelajari hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus berpikir. Dan urusan benar-salah menjadi masalah pokok dalam logika. Banyak jalan pemikiran kita dipengaruhi oleh keyakinan, pola berpikir kelompok, kecenderungan pribadi, pergaulan, sugesti. Juga pemikiran yang diungkapkan sebagai luapan emosi seperti caci-maki, kata pujian atau pernyataan keheranan dan kekaguman. Ada juga pemikiran yang diungkapkan dengan argumen yang secara selintas kelihatan benar untuk memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi maupun golongan.
Logika menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran dengan cara serius dan terpelajar serta bertujuan mendapatkan kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan. Ia merumuskan serta menerapkan hukum-hukum dan patokan-patokan yang harus dita’ati agar manusia dapat berpikir benar, efisien dan teratur. Dengan demikian ada dua obyek penyelidikan logika, pertama, pemikiran sebagai obyek material dan, kedua, patokan-patokan atau hukum-hukum berpikir benar sebagai obyek formalnya.
      D.   Arti Benar
Pertama, Benar pada dasarnya adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Kita akan berkata bahwa proposisi berikut adalah salah : Batu lebih ringan daripada kapuk; kepada Musa Allah menurunkan Al-Quran. Ukuran kebenaran kedua adalah adanya persesuaian atau tidak adanya pertentangan dalam dirinya (dari awal-akhir) contoh Fatimah adalah seorang bisu yang pandai berdebat. Ini bukan hanya terjadi pada pernyataan pendek tetapi juga dapat terjadi pada pernyataan yang panjang. Seorang hakim yang cerdas akan melihat tidak adanya persesuaian isi pembelaan tertuduh meskipun berpuluh-puluh halaman panjangnya.
Soal : “Kuasakah Tuhan membuat batu yang sangat besar yang mana Tuhan sendiri tidak bisa mengangkatnya?”.
       E.   Asas-Asas Pemikiran[3][3]
Asas sebagaimana kita ketahui adalah pangkal atau asal dari mana sesuatu itu muncul dan dimengerti. Maka asas pemikiran adalah pengetahuan di mana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Kapasitas asas ini bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah benarnya suatu pemikiran tergantung terlaksana tidaknya asas-asas ini. Ia adalah dasar daripada pengetahuan dan ilmu. Asas pemikiran ini dapat dibedakan menjadi :
1.      Asas Identitas (qanun zatiyah) Ia adalah dasar dari semua pemikiran dan bahkan asas pemikiran yang lain. Kita tidak mungkin dapat berpikir tanpa asas ini. Prinsip ini mengatakan bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan lainnya. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu Z maka ia adalah Z dan bukan A, B atau C. Bila kita beri perumusan akan berbunyi : “Bila proposisi[4][4] itu benar maka benarlah ia”.
2.      Asas Kontradiksi (qanun tanaqud), Prinsip ini mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu tidak mungkin sama dengan pengakuannya. Jika kita megakui bahwa sesuatu itu bukan A maka tidak mungkin pada saat itu ia adalah A, dengan kata lain “tidak ada proposisi yang sekaligus benar dan salah”.
3.      Asas penolakan kemungkinan ketiga (qanun imtina), Mengatakan bahwa antara pengakuan dan pengingkaran kebenarannya terletak pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu disamping tidak mungkin benar keduanya juga tidak mungkin salah keduanya. “Suatu proposisi selalu berada dalam keadaan benar atau salah”.
F.    Cara Mendapatkan Kebenaran[5][5]
Ada dua cara berpikir yang dapat kita gunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru yang benar, yaitu melalui metode induksi dan metode deduksi. Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Contoh :
Emas dipanaskan memuai
Timah dipanaskan memuai  à jadi semua logam jika dipanaskan memuai
Platina dipanaskan memuai
Cara penalaran ini mempunyai dua keuntungan. Pertama, kita dapat berpikir secara ekonomis. Kedua, pernyataan yang dihasilkan melalui cara berpikir induksi tadi memungkinan proses penalaran selanjutnya. Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum, menuju kesimpulan yang bersifat khusus. Seperti :
Semua logam bila dipanaskan, memuai
Tembaga adalah logam
Jadi tembaga bila dipanaskan, memuai.
Jadi, pada intinya adalah berpikir benar dan menghasilkan suatu kebenaran haruslah dengan cara yang benar pula. Oleh karenanya belajar logika yang nantinya akan mengetahui cara berpikir benar sehingga mampu menghasilkan suatu pengetahuan yang benar pula.
G.   Teori Kebenaran[6][6]
Hal yang relevan yang terlebih dahulu dikemukan adalah apa arti kebenaran.   Dalam sejarah filasafat, paling tidak sampai dengan sekarang ada empat teori yang menjawab pertanyaan tersebut secara filosofis (Keraf dan Dua, 2001), yaitu :
(1)        teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of truth),
(2)        teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth),
(3)        teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth), dan
(4)        teori performative tentang kebenaran (the performative theory of truth).
Teori Kebenaran Sebagai Persesuaian. Teori ini pertama kali dimunculkan oleh Aristoteles.  Menurut Aristoteles kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya.  Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya.  Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas sebagaimana adanya.  Oleh karenanya ini disebut pula kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan, proposisi atau teori ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori itu didukung oleh fakta atau tidak.  Contohnya “ bumi ini bulat” adalah suatu pernyataan benar, karena dalam kenyataannya pernyataan ini didukung sesuai dengan kenyataan.
Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pernyataan itu.  Intinya realitas adalah hal yang pokok dari kegiatan ilmiah. Ada tiga hal pokok yang perlu digarisbawahi dalam teori ini. Pertama, teori ini sangat menekankan aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Kedua, teori ini juga cenderung menegaskan dualitas antara subyek dan obyek, antara sipengenal dan yang dikenal. Bagi teori ini yang paling berperan bagi kebenaran pengetahuan manusia adalah obyek. Subyek atau akal budi manusia hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan oleh obyek. Ketiga, konsekuensi dari hal di atas teori ini sangat menekankan bukti (eviden) bagi kebenaran suatu pengetahuan. Tetapi bukti ini bukan diberikan secara apriori oleh akal budi, bukan pula hasil imajinasi, tetapi apa yang diberikan dan disodorkan oleh obyek yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Jadi pengamatan atau penangkapan fenomena yang ada menjadi penentu dalam teori ini.
Teori Kebenaran Sebagai Keteguhan. Teori ini dianut oleh kaum rasionalitas seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Heggel, dan lainnya.  Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada.   Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar.  Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran ini.  Contohnya, pengetahuan “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”. 
Bagi kaum empiris (kebenaran persesuaian), untuk mengetahui kebenaran pengetahuan ini perlu diadakan percobaan dengan memasukkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih untuk mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak.  Tetapi bagi kaum rasionalitas, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini cukup mecek apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan lainnya, atau apakah  pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya.   Ternyata, pernyataan ini benar karena lilin termasuk bahan parafin dan parafin selalu mencair pada suhu  600  C.   Karena air mendidih pada suhu 1000 C, lilin dengan sendirinya mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.   Pernyataan ini benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin adalah bahan parafin yang selalu mencair pada suhu 600 C dan sejalan dengan pengetahuan lain bahwa iar mendidih pada suhu 1000 C.  Dengan kata lain, “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”, hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain tersebut.
Teori Pragmatis Tentang Kebenaran.  Teori ini dikembangkan oleh filsuf pragmatis dari Amerika Serikat seperti Charles, S. P dan William James.  Bagi kaum pragmatis kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan.  Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.  Berhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar atau tidak.  Contoh, ide bahwa kemacetan  jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi oleh satu orang.  Maka penyelesaiannya “mewajibkan jalan pribadi ditumpanhi oleh tiga orang atau lebih”.  Ide tadi benar apabila ide tersebut berguna dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan.
Kebenaran yang ditekankan oleh kaum pragmatis adalah kebenaran  yang menyangkut “pengetahuan bagaimana” (know how). Suatu ide yang benar adalah ide yang memungkinkan saya berhasil memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Kaum pragmatis sebenarnya tidak menolak teori kebenaran dari kaum rasionalis maupun teori kebenaran kaum empiris. Hanya saja, bagi kaum pragmatis suatu kebenaran apriori hanya benar kalau kebenaran itu berguna dalam penerapannya yang memungkinkan manusia bertindak secara efektif. Kebenaran bagi kaum pragmatis juga berarti suatu sifat yang baik. Maksudnya, suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk melakukan sesuatu supaya berhasil. Singkatnya, kita tidak hanya membutuhkan “pengetahuan bahwa” dan “pengetahuan mengapa” tetapi juga “pengetahuan bagaimana”.
Teori Kebenaran Performative. Teori ini dianut oleh filsuf  Frank Ramsey, John Austin dan Peter Strawson.  Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang dianggap benar, demikian sebaliknya.   Namun, justru inilah yang ingin ditolak oleh filsuf-filsuf ini.  Menurut teori ini suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu menciptakan realitas.  Pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas tapi justru dengan pernyataan itu terciptanya suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Contohnya, “Dengan ini saya mengangkat anda menjadi dosen pengasuh matakuliah Falsafah Sains”.  Dengan pernyataan ini tercipta suatu realitas baru, realitas anda sebagai dosen Falsafah Sains.
Dengan demikian, sifat dasar kebenaran ilmiah selalu mempunyai paling kurang tiga sifat dasar, yaitu : struktur yang rasional-logis, isi empiris, dan dapat diterapkan (pragmatis).   Kebenaran ilmiah yang rasional-logis adalah bahwa kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis atau rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang rasional, yaitu yang dapat menggunakan akal budinya secara baik, dapat memahami kebenaran ilmiah ini. Oleh karenanya kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran yang universal. Satu hal yang perlu dicatat bahwa perlu dibedakan sifat rasioanl dengan sifat masuk akal (reasonable).  Sifat rasional terutama berlaku bagi kebenaran ilmiah. Sifat “masuk akal” ini terutama berlaku bagi kebenaran tertentu yang berada di luar lingkup pengetahuan. Contohnya tindakan marah menangis, dan semacamnya dapat sangat masuk akal walaupun mungkin tidak rasional.
Sifat empiris dari kebenaran ilmiah mengatakan bahwa bagaimanapun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah berkaitan dengan kenyataan empiris dalam dunia ini.
Sifat pragmatis terutama hendak menggabungkan kedua sifat kebenaran lainnya, artinya kalau suatu pernyataan benar secara logis dan empiris maka pernyataan tersebut juga harus berguna dalam kehidupan manusia, yaitu membantu manusia memecahkan berbagai persoalan dalam hidup manusia.
Kebenaran yang dicari-cari dalam setiap kesempatan sebenarnya adalah "Kebenaran Mutlak". Kebenaran mutlak artinya adalah kebenaran yang sudah tidak dapat disalahkan lagi. Kebenaran yang tidak dapat disalahkan adalah kebenaran yang menjumpai pembuktian yang mengatasi pernyataannya. Dengan demikian sebenarnya sepertinya kebenaran mutlak adalah kebenaran dengan fakta yang tidak dapat disangkal lagi. Seperti api adalah panas, es adalah dingin, batu adalah keras, air adalah lunak, dan sebagainya adalah kebenaran mutlak juga.
Kebenaran mutlak sebenarnya adalah kebenaran mutlak dalam suatu pendapat. Ada yang mengatakan bahwa : "Saya inilah satu-satunya kebenaran". Mengapa demikian, adalah karena dia menginginkan semua pendapatnya itu harus dipatuhi tanpa boleh disangkal lagi.
Namun mengapa kita ini mengatakan masih mencari kebenaran? Ini karena dalam hati kita ingin membuktikan benarkah ucapan-ucapan yang demikian patut dibenarkan atau dinobatkan sebagai kebenaran mutlak.
Kebenaran mutlak yang sampai saat ini masih kita cari adalah seperti adanya surga, adanya neraka, adanya reinkarnasi, adanya Dewa, adanya kemungkinan kita menjadi Dewa, dll.
Keinginan kita untuk membuktikan hal-hal diatas inilah yang dapat dikatakan sebagai mencari kebenaran. Kegunaannya adalah jika kita telah membuktikannya dan menemukan kebenaran itu maka kita telah mempunyai tujuan hidup. Sehingga dalam menjalani kehidupan ini kita menjadi punya tujuan dan arah yang pasti.
Untuk memulainya, harus kita tentukan dulu apakah yang akan kita cari kebenarannya. Kemudian jalan pembuktiannya kita lakukan. Kebenaran yang kita temukan sering bersifat subyektif, apa yang kita nilai benar, belum tentu dinilai benar oleh orang lain. Demikian pula kebenaran yang akan kita buktikan belum tentu sama dengan kebenaran yang dicari orang lain. Kesimpulannya, kebenaran itu sifatnya subyektif atau individual. Seperti kenikmatan es krim belum tentu disukai oleh orang yang tidak menyukai rasa manis.
Dan kemana arah dari pencarian kebenaran itu sebenarnya? Sebenarnya yang dicari justru adalah kepuasan batin dari ditemukannya kebenaran itu. Kepuasan batin itu arahnya adalah ketenangan jiwa. Dibalik semuanya maka sebenarnya ketenangan jiwa adalah titik seimbang, yaitu titik keseimbangan dimana semua gerakan di alam semesta ini menuju keseimbangannya, kemudian menuju tiada gerakan.
Dan disinilah akhir gerakan sering oleh sebagian orang dikatakan sebagai kesempurnaan. Padahal jika ditinjau lagi kesempurnaan bukanlah hanya sekedar demikian.
Kebenaran (al-Haq) itu berasal dari Allah karena itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu. (Al-Qur'an, surat Al-Baqarah:147)
Beberapa diskusi berkenaan dengan tafsir ayat singkat di atas, membuat saya menyimpulkan bahwa al-Haq (kebenaran mutlak) hanya milik dan datang dari Allah. Kebenaran yang didefinisikan manusia yang tidak berlandaskan pada aturan-aturan Allah, akan menjadi sangat relatif. Dengan kata lain, kebenaran tidak dapat dirumus­kan oleh manusia, karena manakala manusia memberikan batasan kebenaran, maka nilai kebenarannya menjadi relatif.
Tidak seperti manusia terhadap barang-barang buatannya, Allah SWT tidak memiliki kepentingan sedikitpun terhadap makhluk-makhluk ciptaanNya. Seandainya manusia itu beriman semua, maka tidak menambah kemuliaan Allah; dan seandainyapun manusia kafir semua, maka tidak akan mengurangi kemuliaan Allah. Allah adalah "ya'lu wa laa yu'la alaih", Allah adalah tinggi (mulia) dan tertinggi (termulia) atas semuanya. Kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran ALlah yang mengikat seluruh manusia, tidak mengenal batas teritorial ataupun etnik.
Sebagai contoh, mungkin saja suatu kelompok masyarakat men­ganggap benar suatu tindakan, namun kelompok masyarakat lain menganggapnya salah. Bila kebenaran dirumuskan oleh manusia, maka tak pelak lagi unsur-unsur subyektif manusia akan masuk dalam konsep kebenaran tersebut. Akan tetapi bila kebenaran itu diru­muskan oleh Sang Maha Pencipta, maka kebenaran akan bersifat absolut, dan kebenaran ini dapat dipakai bagi kemanfaatan dan keharmonisan seluruh umat manusia.
Bagi ummat Islam, kebenaran sebenarnya telah nyata, yaitu apa-apa yang difirmankan oleh Allah dan disampaikan oleh Rasulullah dan tertulis dalm Al-Qur'an. Namun demikiam, tetap banyakyang tidak peduli dengan nilai-nilai kebenaran ini. Dianggapnya, kebenaran adalah terbatas dalam ruang-ruang dan majelis ibadah, untuk ditonton dan diamati; tidak diraih kurang diaplikasikan
dalam kehidupan. Tidaklah mengherankan bila kemudian kebenaran  seakan-akan tercecer, terpencar karena tidak terwujud dalam mekanisme kehidupan manusia. Anehnya lagi, bila kebenaran tersebut mulai muncul ke permukaan, berwujud dalam aktifitas, kemudian menyebar pesat; maka kebenaran seakan menjadi "monster" .
Kesadaran para pemuda di seluruh pelosok dunia dalam kembali ke pelukan Islam, menjadi contoh ungkapan di atas. Apabila selama ini para pemuda dianggap lumrah pergi berkumpul di tepi-tepi jalan, pub maupun disco; maka adalah sesuatu yang mengherankan dan menakutkan apabila kemudian mereka terlihat khusyuk  terlibat dalam ibadah di dalam Masjid dan kegiatan Islami lainnya. Apabila selama ini terlalu sering terlihat remaja puteri mempertunjukkan auratnya, maka serentet sebutan "fundamentalis, fanatik ..." serta kecurigaan tertujukan kepada mereka manakala mereka mulai mengaplikasikan ajaran Islam dalam berbusana musli­mah.
Sementara kebanyakan penguasa dan pihak-pihak tertentu menakuti kemunculan fenomena kebenaran ini, beberapa masyarakat awam seakan ragu-ragu dalam menghadapi dan menerima kebenaran ini. Keraguan terhadap kebenaran berarti kerugian. Kerugian menurut  persepsi Allah bukanlah kerugian kecil. Kerugian menurut Allah SWT adalah kerugian situasi yang diperoleh manusia kafir. Konsek­uensi dari kerugian tersebut tidak lain adalah sebagaimana ganja­ran yang diberikan kepada kaum kafiriin.
Kebenaran adalah milik semua orang, tidak peduli status maupun keberadaan lain apa pun yang melekat pada dirinya. Namun disadari serta diakui ataupun tidak oleh kita, pada kenyataannya kebenaran tidak selalu berpihak pada orang yang merasa dan menyebut dirinya benar, serta tidak juga menjadikan benar orang yang meng-klaim dirinya sebagai pemegang kebenaran tersebut.
A Primer on Postmodernism dari Stanley J. Grenz menyatakan bahwa ditolaknya kebenaran yang obyektif merupakan tipikal kondisi manusia era Pascamodern seperti yang ada saat ini. Di sini kebenaran hanyalah merupakan masalah penafsiran. Namun hal ini tidak sepenuhnya karena kebenaran pada manusia memang adalah sesuatu yang bersifat (sangat) relatif. Melainkan juga karena kita memang lebih mudah mengatasnamakan kebenaran itu untuk pembenaran persepsi, pemahaman, penghayatan, maupun tindakan yang bersangkut paut dengan intensi diri sendiri dari pada yang ada pada posisi orang yang lain. 
Apalagi bila kebenaran itu dimunculkan oleh kita yang telah lebih dulu menilai diri sendiri sebagai yang benar. Akibatnya, kebenaran orang lain tidak lagi penting dan berarti. Kebenaran tidak lagi dimungkinkan untuk berbunyi dalam suara yang berbeda. Obyektivitas dari kebenaran menjadi tertiadakan, karena kebenaran telah semata-mata menjadi pembenaran dari si benar. Bukankah kenyataan ini merupakan kebenaran yang bersifat manusiawi? 
Bila pertanyaan terakhir ini dijawab dengan "ya", maka bagi yang menjawab "tidak" timbul adanya konflik kebenaran, dan sebaliknya pun akan sama. Oleh karena itu, tidak penting lagi dipertanyakan kebenaran manakah yang paling benar atau yang sesungguhnya benar, karena untuk menentukan hal ini pun tetap saja akan memunculkan konflik kebenaran yang lain. 
Kita memang (cenderung) mengartikan kebenaran semudah menyatakan kebenaran tersebut dengan mengatasnamakan kebenaran itu sendiri. Bahkan juga untuk pembenaran terhadap proses "penghancuran" yang terjadi terhadap orang lain, dengan mengumbar amarah dan kebencian sekalipun. Kebenaran bisa menjadi dasar pembenaran terhadap peniadaan kebenaran yang lain. Kebenaran bisa dibungkam dan sekaligus diteriakkan dengan lantang, yang itu sama saja artinya dengan kebenaran hanyalah omong kosong dari mereka yang merasa memilikinya. 
Entah berapa banyak korban yang telah dipertaruhkan sebagai "tumbal" dari berbagai dalih kebenaran ideologi, yang entah juga apakah pantas ataukah tidak dilibatkan di dalamnya, yang sementara itu hanya menghasilkan munculnya kenangan terhadap segelintir nama dengan anugerah jasa yang ternyata masih (dapat) diperdebatkan pula kebenarannya. Dengan juga mengatasnamakan kebenaran, banyak yang berkehendak mendaftarkan nyawanya (yang mungkin dirasakan terlalu memiliki nilai guna) untuk mengamankan "tempat duduk bapak atau ibu"-nya di pemerintahan, yang berarti pula pembenaran dalam "menghabisi" mereka yang mencoba-coba mengusiknya. 
Atas nama kebenaran sosial-ekonomi, sejumlah lahan seperti tersulap berpindah tangan dari pemiliknya dengan ganti rugi yang bersifat ajaib pula untuk terjadi (baca: tidak rasional), dengan alasan bagi peruntukkan kepentingan umum (yang ternyata tidak umum). Sekelompok massa juga berbicara atas nama kebenaran hukum ketika memanggang hidup-hidup seorang pencuri sepeda motor lengkap dengan sepeda motor hasil curiannya, seakan-akan nyawa dan sepeda motor tersebut merupakan hak milik mereka yang dapat diperlakukan seenaknya sendiri. Sekelompok orang juga harus "menanggung hukuman" dari sekelompok orang yang lain - atas nama kebenaran etnis - karena "dinyatakan berdosa" akibat terlahir dengan keberadaan ras dan kesukuan tertentu yang sama sekali tidak pernah ditawarkan oleh Tuhan untuk mampu ditentukannya sendiri. Di samping itu, sejumlah tempat peribadahan juga dijadikan abu dengan berangkat dari atas nama kebenaran yang berawal pada adanya konflik agama. 
Dengan mengatasnamakan kebenaran, kita seringkali merasa bahwa ada legitimasi dan mandat yang didapatkan dari kebenaran itu sendiri untuk kita mampu "menghakimi" kebenaran orang lain. Apalagi bila kita juga merasa ada kekuatan dan kekuasaan yang ada pada kita untuk berbicara atas nama kebenaran tersebut. Maka, kebenaran orang lain tidak lagi dapat didudukkan pada tempatnya sebagai bagian dari ke-relatif-an atau pun alternatif dari kebenaran itu sendiri, melainkan dirasakan sebagai gangguan yang mengusik keleluasaan dan mungkin juga sebagai ancaman yang membahayakan kebenaran tersebut. Untuk itu bukan hanya dapat tetapi juga perlu ditiadakan.
Banyak pengalaman menunjukkan bahwa konflik dengan mempertempurkan kebenaran memang merupakan sesuatu yang sangat sulit diredam - bila tidak justru menjadi pemicu konflik yang reaktif sifatnya - karena setiap pihak merasa berbicara dan bertindak atas nama kebenaran, dan itu cukup menjadi alasan pembenaran segala sesuatu yang muncul dari padanya. 
Memang menakutkan jika persoalan kebenaran (hanya) merupakan bagaimana tafsir mengenainya tergambar dalam kesadaran kita. Masalahnya bukan pada penafsirannya, tetapi lebih kepada intensi manusianya. Mungkin benar satu dialog dalam "Judge Dredd" - film tentang Joseph Dredd si tokoh hakim masa depan yang dibintangi Silvester Stallone - yang menyebutkan bahwa mewujudkan kebenaran merupakan kekuasaan yang terlalu besar bagi manusia. Dalam hal ini sesungguhnya dipertanyakan apa arti kebenaran tanpa kebajikan, dan itulah yang perlu dan penting diragukan dari kita selaku manusia dalam menyuarakan kebenaran. 

DAFTAR PUSTAKA
Mundiri, Logika
Jujun S.Surya Soemantri, Filsafat Ilmu
_________ , 2001. The Internet Encyclopedia of Philosophy – Truth. Http://www. Utm.edu.
Abu Akhyar, 1996. Keraguan Terhadap Kebenaran. Http://www.isnet.org.
A. M. W. Pranarka, 1987. Epistemologi Dasar – Suatu Pengantar. Jakarta : Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Atien Priyati dkk, 2002. Falsafah Kebenaran dalam Perkembangan Ilmu. Http:// rudyct.tripod.com.
         Elim Kiat, 2000. Kebenaran. Http://www.glorianet.org.
         Fridayanti, 2001. Sejarah Perkembangan Pengetahuan Tentang Manusia dalam Perspektif Ilmu Barat. Http://rudyct.tripod.com.
         Fredrik Rieuwpassa, 2002. Kajian Filsuf terhadap Kebenaran Sains. Http://www. Hayati-ipb.com.
          Kalvin Suryo, 2001. Mengenal Post Modern dan Pengaruhnya. Http://…
           Liem Kien Kok, 2000. Sedikit Membahas Mengenai Kebenaran. Http://www.siutao.com.









 

Blogger news

Blogroll

Change Background of This Blog!


Pasang Seperti Ini

About