SIAPA PENCIPTA BAHASA INDONESIA?
ASAL USUL BAHASA INDONESIA
Masa lalu sebagai bahasa Melayu
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur". Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
Bahasa Indonesia
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia
-Referensi; www. Baris info.com
Minggu, 16 Desember 2018
Kamis, 06 Desember 2018
FILSAFAT BAHASA (PHILOSHOPHY OF LANGUAGE)
FILSAFAT BAHASA

Dosen Pengampu : Dr. Azis, M.Pd.
NAMA : MUH.
HARJUM NURDIN
NIM : 181050101030
KELAS : B
PENDIDIKAN
BAHASA INDONESIA
PROGRAM
MAGISTER PASCASARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2018
MATERI
I
A
MAP OF THE AREA
Dari hasil presentasi makalah yang
berjudul A Map Of The Area pada pertemuan mata kuliah filsafat bahasa, saya
dapat menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut;
1. Filsafat Linguistik, dan Ilmu Bahasa
Beberapa
hal menjadi subjek dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda sebagai bahasa.
Sedikit objek filosofis lainnya kita memiliki banyak definisi yang tidak
sesuai. Memiliki telah digambarkan sebagai alat analitis yang tidak tergantikan
atau citra yang tidak sempurna dari dunia, sebagai wadah netral isi mental
atau, lebih tepatnya, menempa pikiran, sebagai bentuk kehidupan, sistem
perhitungan, kecelakaan evolusi atau berkah ilahi, rintangan untuk komunikasi
bebas jiwa atau pertemuan dasar
kemanusiaan kita bersama, sebagai jalan menuju kebenaran atau instrumen yang
licik lebih baik digantikan oleh perenungan yang tenang dari Wujud. Apapun
definisinya, bahasa sepertinya selalu berkaitan dengan sisi duniawi eksistensi
manusia. ini dihargai oleh filsuf dari kecenderungan sekuler lebih dari oleh
metafisika, oleh mereka yang
lebih mengandalkan analisis daripada mereka yang percaya pada intuisi (oleh
Locke,misalnya, lebih dari oleh Plotinus; oleh Condillac lebih dari oleh
Bergson).
Novelis Italia Alessandro Manzoni
membandingkan bahasa dengan pabrik terus-menerus direstrukturisasi sementara
produksi berlangsung. Pendiri 19th-antropologi budayaabad, Heymann Steinthal,
menggambarkan tindakan berbicara sebagai daur ulang materi penghancuran yang
tersimpan dalam pikiran kita. Fritz Mauthner, filsuf Bohemian berbahasa Jerman,
dan Ludwig Wittgensteinafterhim, membandingkan bahasa dengan sebuah negara,
yang tumbuh secara bertahap, ruang demi ruang, jendela demi jendela, rumah demi
rumah, lingkungan setelah tetangga, setiap elemen yang melekat pada yang
berikutnya, dan terhubung dengan yang lain oleh galeri dan katakombe. Semua
metafora ini menyarankan stratifikasi bahasa, artefak di antara yang paling
kuno dalam sejarah universal.
Pada
abad ke-18, filsuf-filsuf membandingkannya dengan para pemimpin zaman ingatan
manusia terpelihara, hingga jejak ditinggalkan oleh aman di padang pasir, yang
dia menggunakan untuk menemukan jalan kembali. Sejak jaman dahulu, metafora
moneter telah terjadi digunakan, dan mereka marak di abad ke-18, usia ekonomi
politik, kapan perbandingan perdagangan verbal dengan sirkulasi mata uang, kebohongan koin palsu, menjadi hal yang biasa.
Baru-baru ini, keteraturan bahasa sistem telah diungkapkan oleh Saussure melalui metafora catur,
dan perilaku linguistik telah dijelaskan oleh Wittgenstein sebagai permainan bahasa.
2. Sumber
Pengetahuan Linguistik
Sumber
utama untuk studi filsafat bahasa adalah apa yang bisa kita sebut sebuah 'protolinguistik', sebuah badan
akal sehat milik semua orang berbicara-ers, yang lebih atau kurang kita gunakan
secara sadar untuk mengevaluasi kebenaran dan kejelasan
ucapan kita sendiri dan orang lain. Pengetahuan ini tidak tergantung pada pelatihan profesional, dan tidak
memiliki terminologi istilah ilmiah sendiri; namun itu cukup terorganisir untuk
mewujudkan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan dan
memprediksi fenomena.
3. Studi
Filsafat Bahasa dan Partisinya
Stimulus lebih lanjut untuk studi filsafat
bahasa telah datang dari berbagai bidang
penelitian ilmiah dan eksperimental, seperti studi linguistik patologi, dari
abad ke-17 dan 18 sampai ke sekarang studi klasik oleh Roman Jakobson pada
pertengahan abad ke-20, dan ke modern linguistik klinis; studi akustik musik
dan mekanik; eksperimental mempelajari
bunyi bahasa, dari abad ke 19 hingga eksperimen terbaru di audiometri pranatal;
dan, dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan terapis neurosciences. Semua bidang ini
menimbulkan pertanyaan tentang sifat non-gramatikal dan non- aspek kognitif bahasa,
termasuk basis biologisnya. Mereka juga menggambar memperhatikan sejauh mana
mekanisme prosodik dan sensorik motorik wacana berkontribusi pada fungsi semantiknya. Mereka
menekankan kekhususan tanda-tanda vokal dibandingkan dengan sistem semiotik
lainnya, termasuk gesture dan penulisan. Dalam terang sinergi antara prosedur
fisik dan mental yang Sepertinya
karakter bahasa manusia, thesestudiesraiseagaintheancientyet selalu pertanyaan
baru tentang hubungan antara pikiran dan tubuh. Pertanyaan ini muncul juga dalam apa
yang telah didefinisikan sebagai “evolusi tekno-linguistik” (Auroux 1994) setelah
penemuan penulisan dan deskripsi tata bahasa bahasa dunia, yaitu, informasi
elektronik yang jelas menimbulkan masalah hubungan antara kecerdasan manusia
dan buatan.
MATERI
II
LANGUAGE,
THOUGHT AND REALITY
Dari hasil presentasi makalah yang
berjudul Language, Thought and Reality pada pertemuan mata kuliah filsafat
bahasa, saya dapat menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut
sebagai berikut;
1.
Penamaan
dan Mengetahui
Hubungan
bahasa dengan realitas sangat penting untuk sejumlah filsuf Yunani 6 dan abad
ke-5 SM, yang meletakkan dasar untuk pertanyaan yang akan banyak diperdebatkan
oleh generasi muda : apakah laki-laki dipandu oleh alam dan memperhitungkan
esensi dari hal-hal dalam memberikan nama, atau berasal mereka bukan dari
penggunaan sesuai dengan konvensi sewenang-wenang. Posisi pertama menyiratkan
keyakinan dalam korespondensi bahasa dan makhluk, yang tidak hadir di posisi
kedua, yang menurutnya dua domain benar-benar terpisah dan hubungan mereka
adalah murni institusional.
Secara
umum, mengingat kondisi dokumen yang masih ada, berhati-hati harus menjadi
aturan pertama ketika mengevaluasi bukti dan hipotesis tentang filsuf dari
periode Yunani Preclassic. Ada kemungkinan bahwa seorang naturalis onomatology
tentatif memang hadir dalam filsafat Pythagoras. Denominasi, ia mempertahankan,
adalah keadaan pengetahuan rendah yang menggunakan simbol matematika untuk
memahami gagasan abstrak.
Studi
tata bahasa dan leksikal dikaitkan dengan filsuf sofis Protagoras dan Prodicus;
ini adalah klaim yang masuk akal, mengingat konvergensi dari teoritis, praktis,
dan bahkan kepentingan profesional yang ditandai mereka. Sangat ideal wacana
yang efektif tentu menyiratkan tingkat iman dalam korespondensi, jika hanya
relatif, antara bentuk-bentuk bahasa dan pemikiran, dengan demikian mendorong
studi tentang struktur bahasa.
2.
Kategori
Tata Bahasa, Kategori Pemikiran
De
Interpretatione adalah salah satu karya pada logika dikumpulkan dalam Organon,
dan berhubungan dengan kalimat deklaratif (penilaian, apakah positif atau
negatif, oleh karena itu bertanggung jawab untuk menjadi benar atau salah).
Jenis lain dari pidato (doa, misalnya, yang merupakan wacana dari yang tidak benar atau salah) berhubungan
dengan retorika dan puisi. Kata benda (“suara setelah makna yang ditetapkan
oleh konvensi saja tapi tidak ada referensi apa pun ke waktu, sementara tidak
ada bagian dari itu memiliki arti apapun, dianggap terpisah dari keseluruhan”: (“suara
yang tidak hanya menyampaikan makna tertentu namun memiliki waktu-referensi
juga”) adalah minimum kategori lisan yang diperlukan untuk penilaian. “Mereka
menunjukkan apa-apa sendiri, tetapi menyiratkan sanggama atau sintesis, yang
kita hampir tidak bisa membayangkan terlepas dari hal-hal yang demikian
gabungan”.
De interpretatione
dibuka dengan formula yang selama berabad-abad adalah untuk tetap dimulai dari
semua teori makna:
Kata yang diucapkan adalah simbol
atau tanda-tanda kasih sayang atau tayangan jiwa; kata-kata tertulis adalah
tanda-tanda kata yang diucapkan. Menulis, demikian juga pidato tidak sama untuk
semua ras manusia. Tapi sayang mental itu sendiri, yang kata-kata ini terutama
tanda-tanda, adalah sama untuk seluruh umat manusia, seperti juga obyek yang
mereka kasih sayang adalah representasi atau kesamaan, gambar, salinan. ditemani
oleh kebenaran atau kepalsuan, sehingga juga berada dalam pembicaraan kita,
untuk kombinasi dan divisi penting sebelum Anda dapat memiliki kebenaran dan
kepalsuan. Sebuah kata benda atau kata kerja dengan sendirinya banyak menyerupai
konsep atau pemikiran yang tidak dikombinasikan atau digabungkan.
3.
Dari
Suara ke Ucapan
Aristoteles
adalah filsuf pertama yang memperlakukan bahasa sebagai fenomena yang berkaitan
dengan berbagai ilmu, seperti biologi dan psikologi, logika, puisi, dan
retorika, dan karenanya mempelajarinya dari berbagai perspektif yang berbeda:
akustik, fisiologis, logis, semantik, gaya, dan pragmatis. Tulisan-tulisannya
mewakili ensiklopedia pertama dari ilmu bahasa dunia Barat. Dalam De Anima (II,
8), Aristoteles membedakan antara suara yang tepat (telepon) dan suara
(psophos), mendefinisikannya sebagai berikut. Suara adalah suara yang
dihasilkan oleh makhluk hidup. Namun, tidak semua suara yang dihasilkan oleh
makhluk hidup adalah suara, Suara adalah suara yang dipancarkan secara
sukarela, diberkahi dengan fungsi komunikatif, dan terkait dengan citra mental.
Untuk lebih memperjelas hubungan antara aspek biologis suara dan penggunaan
linguistiknya, kita dapat merujuk pada suatu bagian dari interpretasi di mana
Aristoteles menyatakan bahwa suara bersuara adalah simbol (simpati) dari kasih
sayang jiwa dan surat tertulis adalah simbol dari suara dari suara itu.
Kesinambungan
yang sama antara suara vokal spontan dan suara komunikatif ditegaskan dalam
Poetics (Chaps. I – III), di mana Aristoteles berpendapat seni bahasa dari seni
tubuh tari dan irama dan mengaturnya dalam suatu rangkaian sesuai dengan sejauh
mana mereka menggunakan ritme ormusik tubuh. Demikian pula, dalam Retorika
(1428b, 21ff.), Prosodi berkontribusi pada produksi makna melalui pembukaan dan
penutupan klausa kalimat yang berfungsi untuk membedakan unit sintaksis dan
semantik. Dengan demikian, ada kesinambungan antara penggunaan suara spontan
dan simtomatik sebagai ekspresi langsung dari kasih sayang jiwa dan penggunaan
institusional dari suara yang diartikulasikan, bahkan dalam bentuknya yang
paling sewenang-wenang dan abstrak. Mereka yang disebut Aristoteles agrammatoi
psophoi, suara yang tidak diartikulasikan, yang tidak dapat dibagi lagi menjadi
unit diskrit.
4.
Skeptifisme,
Komunikasi, dan Keheningan
Hal
ini umum bahwa studi logika Aristoteles dan Stoa menyediakan kerangka teoritis
untuk pekerjaan tata bahasa dari sekolah Alexandria, meletakkan dasar-dasar
seni yang harus dikodifikasikan oleh Dionysius Thrax dan kemudian oleh
Apollonius Dyscolus, melalui sintesis aneh filologi dan filsafat (Lallot 1997:
13). Di sisi lain, tata bahasa teknis telah berhasil menjadi profesi otonom
hanya karena studi morfologi dan sintaksis tidak lagi menjadi bagian dari dialektika
filosofis dan telah menjadi aspek praktek filologis (Baratin & Desbordes
1981: 34-37). Pentingnya morfologi sebagai pengantar filologi disaksikan oleh
produksi gramatikal besar penulis Alexandria (yang, kebetulan, hampir tidak ada
yang masih ada). Itu terutama fungsional untuk rekonstruksi teks, elaborasi
manual sekolah, interpretasi dan komentar dari karya sastra, dan seni menulis
dalam berbagai aspeknya.
Latin
tata bahasa Varro terdaftar empat fungsi studi gramatikal: lectio (membaca
dengan suara keras), enarratio (interpretasi teks-teks), emendatio (koreksi
mereka bila diperlukan) dan iudicium (evaluasi mereka). Quintilian dijelaskan
tata bahasa sebagai disiplin praktis yang bertujuan berbicara dengan benar dan
menafsirkan teks-teks sastra. emendatio (koreksi mereka bila diperlukan) dan
iudicium (evaluasi mereka). Quintilian dijelaskan tata bahasa sebagai disiplin
praktis yang bertujuan berbicara dengan benar dan menafsirkan teks-teks sastra.
emendatio (koreksi mereka bila diperlukan) dan iudicium (evaluasi mereka).
Quintilian dijelaskan tata bahasa sebagai disiplin praktis yang bertujuan
berbicara dengan benar dan menafsirkan teks-teks sastra.
MATERI
III
A
NATURAL HISTORY OF SPEECH
(SEJARAH
HAKIKAT TUTUR)
Dari hasil presentasi makalah yang
berjudul A Natural History Of Speech pada pertemuan mata kuliah filsafat
bahasa, saya dapat menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut
sebagai berikut;
1. MASALAH DALAM NATURALISME
Pembahasan naturalisme membahas
sejarah yang sama dari sebelumnya, tetapi dari sudut yang berbeda. Sampai saat
ini, kami telah menganggap bahasa sebagai suatu prosedur untuk secara
konseptual menguraikan, secara sintaksis mengatur dan mengkomunikasikan
pikiran. Saat ini, kita akan mempertimbangkan untuk mempelajari intonumen
internal sejarah ontogenetik manusia, sebuah sistem di mana naluri (alam) dan
pembelajaran (pengasuhan) memainkan peran yang sama pentingnya. Kami tidak akan
fokus pada bahasa secara umum seperti pada cara memanifestasikan diri dalam
pluralitas bahasa.
2. SEMANTIK
ETIMOLOGI
Animportant mengubah sebagai naturalis memotivasi nama-nama, gagasan bahwa pengenaan mereka
tidak dapat sepenuhnya serampangan, tetapi harus diatur oleh beberapa 'alasan'
yang memastikan kesesuaian mereka dengan hal-hal,sifat
umum dari orang-orang lembu, sesuai dengan Pendirian tradisi,
tatacara ordinal sesuai dengan filsafat Kristen. Dalam kasus apa pun, harus
dimungkinkan untuk merekonstruksi asal mereka. Ilmu pengetahuan, juga, tampak
jelas pada titik ini, dengan tulus mereka dikaitkan dengan teori dan praktik
etimologi.
Saat ini
‘etimologi’ berarti rekonstruksi dari evolusi fonetik dan morfologi suatu kata.
Tetapi di Yunani kuno, praktik etimologi berkembang untuk meneliti dan
memperjuangkan kesemuanya dan kesesuaian kata-kata, dan tetap selama
berabad-abad merupakan bentuk "semantik ontologis" (Fresina 1990:
110). Sebuah kesaksian yang mengesankan untuk penggunaan etimologi ini
ditemukan dalam buku-buku lima hingga tujuh dari De Lingua latina Varro.
3. KOMUNIKASI
MANUSIA DAN HEWAN
Tema sentral
lainnya dalam sejarah bicara natural adalah hubungan antara bahasa manusia dan
bahasa. Tidak ada garis besar pertanyaan yang dipertanyakan dalam teks-teks di
mana SextusEmpiri mendeskripsikan sosio-psikotik (AgainsttheLog. II, 141–299;
Garis Besar Pyrr. II, 97ff.), Mulai dari perbedaan mereka antara mnemonikign,
yang dangkal dengan mempertaruhkan apa yang terjadi di awal mula-mula (asap,
misalnya , dapat menyarankan api ketika yang terakhir tidak terlihat), dan
indikasi dengan mana kita menukarkannya yang
secara luar biasa (misalnya, pikiran, yang kita tahu hanya melalui tindakan
tubuh). Kemampuan untuk
menggunakan sama-sama untuk
mengawasi jenis
penanda, tetapi jenis
berbagai adalah
yang membedakan manusia dari hewan. Memang, suara yang diartikulasikan saja
tidak cukup untuk mendefinisikan bahasa, harus
ada juga kemampuan untuk menyusun, mengaitkan, dan menghilangkan kesan-kesan
dan representasi-representasi, togofromon yang lain ini
adalah endowmen khusus manusia.
Pidato ucapan
adalah epiphenomenon dari pidato batin yang tanda-tandanya dapat secara
sintaksis dihubungkan ke kalimat, untuk memperjelas banyak hal, termasuk
hal-hal yang tidak akan pernah tersedia secara materi untuk persepsi dan
representasi. Menurut laporan Sextus, untuk menjelaskan alasan yang salah,
tetapi tidak menghormati "konsepsi yang logis", terima kasih yang
mereka segera pahami perasaan dari diri mereka, "untuk desain infus dalam
diri ini adalah bentuk ini:" Jika ini ada
tempat untuk keberadaan tanda-tanda tambahan dari dimensi dan struktur manusia
"(Against the Log. II, 275-276) kehidupan
sehari-hari.
4. KOMUNIKASI
MANUSIA DAN ILAHI
Fungsi dan
efek bahasa, operasi praktis dan mental yang digunakannya, tidak terbatas pada
proses denominasi dan kategorisasi yang diuraikan dalam bab 2 atas. Ada
fungsi-fungsi kognitif, yang tidak berhubungan dengan logika. Namun, Retorika
besar pertama, yang selama berabad-abad adalah repertoar kanonik penggunaan
bahasa non-kognitif, ditulis oleh Aristoteles yang dalam Organon-nya, pada saat yang sama meletakkan pondasi logika Barat dan filsafat kognitif. Menurut salah
satu tradisi, identifikasi dari wacana torik orensik telah dimulai pada abad
ke-5 M dengan perampasan tanah di sana-sini.
Tetapi kita
tahu bahwa di Athena, pidato-pidato pengadilan ditulis oleh 'logografer'
profesional ini menyiratkan eksistensi kanon sebelumnya, meskipun tidak
dikodifikasi. Selain genre forensik dan deliberatif, sebuah genreal epideictic
soarose, sebuah imedat yang menguraikan argumen. Di dalam untuk mofelegies,
panegyrics kota-kota atau ordivinities juara, epicic ticpractice terus menjadi
latihan sekolah hingga paruh kedua abad ke-19, ketika retorika akhirnya
dikeluarkan dari kurikulum sekolah di Eropa. Terutama seorang pendeta imedat,
studi tentang wacana epideritik juga digunakan selama berabad-abad untuk
pendidikan profesional seni liberal.
MATERI IV
PHILOSOPHY
OF LANGUAGE FROM BOETHIUS TO LOCKE
(FILSAFAT
BAHASA DARI BOETHIUS KE LOCKE)
Dari hasil presentasi makalah yang
berjudul Philosophy Of Language From
Boethius To Locke pada pertemuan mata kuliah filsafat bahasa, saya dapat
menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut;
1.
Ketidapktampakan
Semantik
Pada
Akhir Zaman Kuno, ilmu bahasa, seperti semua partisi pembelajaran, dibuat
kembali agar sesuai dengan mereka ke dalam ensiklopedia ilmu yang dilembaga
Kekristenan. Saya telah menyebutkan hermeneutika sebagai satu dari disiplin di
mana kekuatan kata-kata ekspresif dan efek dari polisemi pertama kali diuji.
Analisis tekstual pertama kali diterapkan pada Kitab Suci, sebuah keunggulan
bekerja terbuka. Arti harfiah dipandang sebagai shell yang mengandung pengertian spiritual, yang menanamkan ajaran
moral atau menyampaikan kebenaran agama dan harapan keselamatan. "Sacrae
Scripturae interpretatio infinita est", tulis John Scotus Erigena
(Periphyseon II, 560A), mediator besar Neoplatonic doktrin dalam budaya
Carolingian. Arti kata ilahi banyak ragamnya, “adil seperti dalam satu dan bulu
merak yang sama dan bahkan dalam satu porsi kecil dari bulu itu, kita melihat
berbagai warna yang luar biasa indah yang tak terhitung banyaknya ”(ibid., IV,
749C). Tak terbatas seperti Pengarang mereka, Alkitab membuat kumulatif interpretasi
mungkin bacaan baru tidak menghapus yang sebelumnya (III, 690B). Tetapi
interpretasi tanpa batas membawa risiko distorsi subjektif, salah tafsir, dan
bid’ah. Dengan demikian, ada referensi berulang ke batas interpretasi, yang
berpuncak pada teguran oleh Thomas Aquinas, yang agung teolog sistematis abad
ke-13, yang memperingatkan untuk tidak pernah melupakan keutamaan arti harfiah.
Hermeneutika
sekuler juga menemui tekstual hal berarti banyak. Ketika diterapkan pada
teks-teks sastra klasik dan filsafat, itu menyesuaikan mitos dan tokoh budaya
kuno dengan simbologi Kristen. Orang Kristen berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka
membaca kata-kata-Nya di dalam Kitab Suci, mereka melihat simbol-simbolnya
ketika merenungkan bentuk-bentuk alam. Mereka berbicara tentang Tuhan dalam
wacana eksegetik dan dengan Tuhan dalam doa dan ritual. Namun, berbicara
tentang Tuhan mensyaratkan kontradiksi intrinsik. Prosedur lisan harus fokus
pada spesifik atribut objek dengan mengorbankan orang lain. Tetapi esensi ilahi
adalah sebuah kesatuan yang tidak terbagi, yang tidak dapat terpecah menjadi
sejumlah proposisi.
2.
Semantik Universal
Semantik
abad pertengahan begitu erat terjalin dengan pertanyaan universal, itu perlu
untuk berurusan dengan yang terakhir setidaknya sampai pada tingkat
mengasingkan aspek-aspek yang paling relevan dengan teori linguistik. Kita
telah memeriksa asal-usul pertanyaan dalam membahas Boethius dan kemudian,
melalui dia, Porfiri Universal muncul kembali sebagai masalah sentral dalam
dialektika hanya di Abad ke-12, yaitu, berabad-abad kemudian (Porphyry aktif di
antara abad ke-2 dan abad ke-3; Boethius, penerjemah dan komentator Latin-nya,
menulis di antaranya abad ke 5 dan 6).
3. Nama Semantik
Salah satu
kesaksian paling nyata tentang kesinambungan antara bahasa Latin Abad
Pertengahan dan sumber-sumber klasiknya adalah sejarah penerimaan logis
Aristoteles bekerja. Penyuntingan Organon adalah kisah luar biasa yang
membentang beberapa abad, dari sistematisasi pertama dari korpus Aristoteles
oleh Andronicus of Rhodes (abad ke-1 SM), hingga edisi cetak awal di dua dekade
terakhir abad ke-15 di Italia (Isaac 1953; Arens 1984).
Bagian dari Organon diterjemahkan ke semua bahasa yang
dipelajari pada saat itu adalah Latin, Suryani, Arab, Armenia, dan dianotasi dalam
banyak teks, banyak dari mereka yang hilang. Di antara para komentator, ada
orang-orang Yunani, seperti Porfiri Neoplatonis (Abad ke-3), penulis Islam
antara abad 9 dan 11 (di antara mereka) al-Farabi, Avicenna, Averroës), dan
bahkan lebih banyak penulis dalam bahasa Latin. Kategori dan De interpretasi
adalah karya pertama yang diedarkan dalam bahasa Latin, diikuti pada abad ke-12
oleh karya-karya lain dari Organon. Selama berabad-abad, ini terus menjadi
dasar logika dan dialektika di Barat.
Sepanjang dengan karya-karya Aelius Donatus dan Priscian,
mereka merupakan inti dari doktrin gramatikal. Arens, kepada siapa kita
berhutang sinopsis dari edisi ini, terjemahan, dan komentar dari Organon (1984:
7–15), daftar nama-nama quaestiones, glossae, exercitata, disputata, dicta,
lecturae, lectiones, rationes, glosula, summulae, scholia, compendia, summae di
bawah mana eksposisi dan parafrase disajikan ke dunia Latin antara tanggal 5
dan 13 berabad-abad oleh para filsuf seperti Boethius, Abelard, Albert the Great,
John Duns Scotus, dan Thomas Aquinas, serta dalam rutinitas mengajar.
4.
Semantik Fungsi Gramatikal
Dalam
dua bagian di atas, saya telah merekonstruksi aspek pertama semantik, yaitu
pertanyaan nama. Aspek penting kedua adalah analisis dari properti istilah dan
studi tentang cara penandaannya, yaitu semantik fungsi gramatikal: 'logika
terminis' yang berhubungan dengan kata yang dilihat sebagai elemen fungsional
dalam konteks proposisional dan dengan kombinasi mereka. Dimulai dengan abad ke
11, batas antara tata bahasa (yang mengikuti pendekatan morfologis untuk
mempelajari nama-nama) dan dialektika (yang mengikuti satu ontologis yang
berfokus pada hubungan antara nama dan hal-hal) telah menjadi semakin kabur
(Tweedale 1988). Sejak paruh pertama abad berikutnya, minat dalam teori
sintaksis sangat dominan (de Rijk 1962–1967, II, 1: 113–125; 1982: 161).
Bursill-Hall,
yang telah menulis beberapa artikel tentang masalah ini, menekankan pentingnya
komentar pada Priscian untuk perkembangan tradisi semantik tata bahasa ini.
Masih ada lagi dari dua ratus komentar ini masih ada, beberapa di antaranya
telah ada diterbitkan. Glosula tak dikenal di Priscianum (paruh kedua tanggal
11 abad) adalah titik awal analisis sifat-sifat istilah.
Penulis
pertama yang perlu dipertimbangkan adalah Abelard. Dari Dialectikanya, yang
berisi daftar mode menandakan, saya akan mengambil beberapa contoh analisis
semantik istilah dalam proposisi. Contoh pertama adalah studi tentang fungsi
kata kerja. Abelard mengacau Aristoteles dalam hal ini fungsi spesifik kata
kerja bukan untuk 'menandai waktu bersama', karena ini bukan hak prerogatif
eksklusif dari bagian pidato ini. Melainkan untuk memberikan kelengkapan pada
proposisi. Homo currit (man runs) dan homo currens (man running) pada prinsipnya
klausul yang setara.
MATERI V
LANGUAGE
AND PHILOSOPHY FROM RENAISSANCE TO THE ENLIGTENMENT
(BAHASA DAN
FILSAFAT DARI ABAD REINANCE KE-ABAD PENCERAHAN)
Dari hasil presentasi makalah yang
berjudul Language And Philosophy From Renaissance To The Enligtenment pada
pertemuan mata kuliah filsafat bahasa, saya dapat menyimpulkan beberapa poin
berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut;
Zaman
Renains dianggap sebagai zaman pembukaan abad pemikiran abad modern. Dalam
sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans ini yang menonjol yang
perlu dicatat, yaitu: (1) selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada
waktu itu juga menguasai bahasa Yunani, bahasa Ibrani, dan bahasa Arab; (2)
selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga
mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa dan malah
juga perbandingan. atkhurtia.blogspot.com/2014/12/abad-renaisans.html. (Online 17 Nopember 2018)
Para
sarjana linguistik zaman Renaissance ini menolak pandangan sebelumnya (Abad
Pertengahan). Sarjana-sarjana Renaissance berpikir bahwa mereka yang telah
memutuskan secara radikal hubungan kaum Skolastika abad pertengahan. Pada zaman
ini dianggap sebagai jalan pembukaan abad pemikiran, abad modern. Akan tetapi,
kenyataan tidak demikian sepenuhnya, khususya dalam bidang linguistik.
Renaissance juga merupakan suatu perolehan kebelakang hasil-hasil karya klasik
zaman Greko Latin. Salah satu tokoh linguistik yang cukup berpengaruh pada
zaman Renaissance adalah Cicerus. Cicerus mencoba memperbaiki pandangan
sebelumnya dengan berpegang pada pandangan bahwa kesastraan kuno klasik
merupakan sumber segala nilai yang beradab. Selanjutnya, ia lebih
berkonsentrasi mengumpulkan dan mempublikasikan naskah-naskah kuno klasik.
Kondisi ini sempurna dengan ditemukan mesin cetak abad ke-15 yang memungkinkan
kelancaran dalam menyebarkan cetakan-cetakan baru nakah-naskah kuno klasik
secara luas dan cepat. Pada masa Renaissace menjadikan tata bahasa latin
sebagai media pembantu dalam memahami sastra dan penggunaan bahasanya. Ada dua
hal yang perlu dicatat pada zaman ini khususnya dibidang linguistik.
1. Keragaman
Bahasa
Lebih
dari seribu tahun, sebelum dan sesudah tahun 1000, Eropa memiliki masyarakat
yang multibahasa, ditandai dengan hubungan yang rumit antara Latin dan
vernaculars. Percival (1999) mencatat, pengembangan vernaculars tidak stabil
dan teratur.
Bilingualism
adalah kondisi normal dari semua orang yang berpendidikan. Semua orang
terpelajar mempelajari bahasa Latin, yang dianggap sebagai faktor kuat untuk
mengidentifikasi hubungan sosial dan kohesi, bertentangan dengan linguae
alienae dan bahkan bahasa ibu seorang pembicara (Murphy 1980).
Beberapa
pandangan mengenai keragaman Bahasa adalah Pendekatan bahasa Yunani dan Ibrani
berbeda. Bahasa Latin sebagai bahasa suci terdaftar secara tradisional,
keduanya masih merupakan bahasa yang hidup di barat. Bahasa Yunani digunakan di
pemukiman Yunani di Italia Selatan, sementara Bahasa Ibrani digunakan oleh
minoritas di semua kota besar di Eropa.
Bahasa
daerah adalah bahasa yang kita ucapkan sejak bayi, tanpa perlu belajar tata
bahasanya (I, i, 2). Orang Latin, seperti orang Yunani dan beberapa orang lain
juga memiliki bahasa 'sekunder', yang diperoleh hanya melalui belajar. Menjadi
lebih stabil, membantu memberikan identitas umum dalam menghadapi geografis dan
perbedaan kronologis (I, ix, 11). Semua bahasa berbagi lokus forma terkesan
dalam pikiran; itu adalah struktur umum dari semua idiom, dikaburkan oleh
kebingungan Babelic, tetapi masih terlihat dalam bahasa Ibrani (ibid., I, vi,
4–5).
MATERI VI
LANGUAGE
, PEOPLE AND NATIONS
BAHASA,
ORANG DAN BANGSA
Dari hasil presentasi makalah yang
berjudul Language , People And Nations pada pertemuan mata kuliah filsafat
bahasa, saya dapat menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut
sebagai berikut;
1.
Bahasa
dan pemikiran komunal
Dalam hati nurani kelas penguasa, gagasan komunitas linguistik bergabung dengan komunitas bangsa sampai pada titik identifikasi dengannya. Pada tahun 1808, Fichte menyampaikan bukunya Reden a die deutsche Nation (Alamat Bangsa Jerman), sebuah manifesto dari gagasan tentang bangsa sebagai tanah air umum dari semua kelas sosial. Dalam konteks ini ia menekankan pada keunggulan moral orang-orang Jerman dan bahasa mereka dan menyatakan versi yang sepenuhnya dikembangkan dari ide romantis bahasa sebagai entitas yang melampaui individu yang berbicara itu. Manusia tidak membentuk bahasa mereka; bahasa membentuk mereka.
Bahasa hidup adalah muncul dari orang-orang sebagai kekuatan spontan. Kata-katanya hidup dan memberi hidup. Ini menghasilkan budaya yang bukan hanya pengetahuan belaka tetapi memastikan pertukaran kreatif di antara kelas-kelas sosial. Bahasa mati adalah bahasa budaya yang berbeda dari orang-orang. Inti aslinya telah tercekik oleh bahasa asing dan karena itu mengandung pemikiran dan perasaan asing bagi orang-orang dari pembicara. Bahasa-bahasa ini - Perancis di antara mereka - dapat menghasilkan pengetahuan tetapi tidak pernah dapat menjembatani kesenjangan antara budaya aristokratis dan populer. Bagi mereka yang belajar bahasa asing, apa yang tersisa di luar negeri bukanlah masalah, yaitu bunyi-bunyiannya, yang acuh tak acuh dan dipahami secara mekanis, melainkan kumpulan simbol dan gambar yang diungkapkan oleh bunyi-bunyi itu, yang merupakan substansi spiritualnya. Bagi mereka yang berbicara bahasa asing, kata-kata selalu menghasilkan gambar buram. Dihiasi dari setiap kontak dengan akarnya yang hidup, suatu bahasa dapat "dangkal oleh angin kehidupan dan mensimulasikan kehidupan, tetapi di bagian bawah sesuatu yang mati tetap ada" (Fichte 1845: 321).
2.
Filsafat
dari perbandingan
Linguistik historis dari paruh pertama abad ke-19 dapat dilihat sebagai penerapan hipotesis Jones untuk mayoritas bahasa-bahasa Eropa, serta yang dari India dan Iran. Pada tahun 1808 Friedrich Schlegel, dalam esainya tentang bahasa dan kebijaksanaan orang Indian (Über die Sprache und Weisheit der Indier), membuat budaya Jerman menjadi bagian dari 'penemuan' Sanskerta dan menguraikan filosofinya (lihat Koerner 1987). Keberhasilan esainya dibantu oleh minat Romantis tentang asal-usul manusia, yang terletak, seperti bahasa Sanskerta, di dunia Timur. Itu dipupuk oleh filosofi alam, yang, dimulai dengan Goethe, memandang organisme sebagai subjek proses pengembangan dan pembusukan, sudah ditorehkan dalam struktur mereka dari awal dan sebagian besar independen dari keadaan historis dan empiris. Ini juga model di mana bahasa dipahami pada awal filsafat Jerman abad ke-19 dari Schlegel ke Humboldt. Akhirnya, tesis Schlegel didorong oleh kecenderungan linguistik baru untuk memahami bahasa sebagai zat yang perkembangannya bukan hasil penambahan atau agregasi berturut-turut tetapi ditentukan oleh bentuk batin abadi yang aktif sejak awal.
3. Ilmu Bahasa: Alam dan Sejarah
Di masa lalu,
para filolog telah meneliti dokumen-dokumen dalam bahasa-bahasa kuno untuk
menemukan aturan-aturan untuk merekonstruksi teks, sama seperti para ahli
botani mencari sifat-sifat yang bermanfaat dalam tumbuhan, dan ahli anatomi
membedah mayat-mayat untuk menemukan obat bagi yang masih hidup. Dalam
pandangan Grimm, filologi komparatif, seperti botani komparatif dan anatomi,
jauh dari sekadar penelitian empiris. Grimm mengikuti teori linguistik
kontemporer dalam keyakinan mereka dalam analogi antara ilmu alam dan
linguistik. Tapi baginya analoginya berhenti pada gagasan Penciptaan. Bagi
naturalis, Penciptaan adalah dalil di luar yang dia tidak bisa pergi. Tidak
demikian bagi linguis, karena bahasa adalah karya manusia, dan karena itu tidak
ada batasan untuk rekonstruksi lengkap sejarahnya selain dari asal-usul
kemanusiaan itu sendiri.
Perbandingan
dengan ilmu alam juga merupakan titik awal esai Renan tentang asal-usul bahasa
(1848). Bagi Renan, sejarah linguistik adalah semacam embriologi pikiran. Itu
harus mengadopsi metode induktif untuk merekonstruksi proses pembentukan yang
hanya bisa dipelajari secara tidak langsung, dengan analogi dengan kondisi
sekarang. Dua prinsip studi filologi abad ke-19 adalah bahwa proses perubahan
terjadi secara teratur dan hukum fonetis sejalan dengan hukum alam.
Filolog menggunakan metode induktif; mereka menyimpulkan tahap-tahap awal
bahasa dari pengamatan keadaan sekarang, karena mereka percaya bahwa bahasa,
seperti semua produksi spiritual, harus sepenuhnya terbentuk dari awal. Ini
disebut 'uniformitarianisme', dan dapat ditemukan dalam karya Schleicher juga.
Renan, seorang filolog hebat dan pembaca Schlegel dan Humboldt, mengikuti mereka
dengan meyakini bahwa refleksi tidak memiliki bagian dalam perkembangan bahasa,
sama seperti ia tidak memiliki bagian dalam proses alami. Penciptaan atau
pembelajaran bahasa tidak menemui kesulitan yang lebih besar daripada yang
dihadapi oleh tanaman yang berkecambah atau organisme yang melengkapi
perkembangannya. 'Di mana-mana terletak Tuhan yang tersembunyi, kekuatan
universal yang, bertindak ketika jiwa individu tertidur, menghasilkan efek luar
biasa yang melampaui kecerdasan manusia sampai pada tingkat yang sama bahwa
kekuatan tak terbatas melampaui kekuatan terbatas'(1947:10)
Langganan:
Postingan (Atom)