Selasa, 17 April 2018
Analisis Wacana Budaya
REVIEW BUKU ANALISIS WACANA BUDAYA
Disusun untuk memenuhi tugas matrikulasi Metodologi Penelitian yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. jufri, M.Pd
Oleh
Muh. Harjum Nurdin
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
APRIL
2018
IDENTITAS
Judul Buku : Analisis Wacana Budaya
Penulis : Jufri
Penerbit : Badan Penerbit UNM
ISBN : 978-602-8111-41-6
Cetakan : Pertama, 2009
Jumlah Halaman : i-v, 211
PENDAHULUAN
Buku yang ditulis oleh bapak Prof. Dr. jufri, M.Pd merupakan cetakan pertama
Ringkasan Bab
Edisi pertama dari buku Prof. Dr. jufri, M.Pd mengenai Analisis Wacana Budaya terdiri atas 4 bab, yang masing masing babnya memiliki beberapa sub-bab. Dari 4 bab yang terdapat dalam buku bapak jufri adalah sebagai berikut :
Bab I: Pendahuluan
Pentingnya Analisis Wacana Budaya
Teori Kritis sebagai Acuan Wacana Budaya
Pandangan Wacana Kritis Terhadap Wacana Budaya
Hakikat Lontara sebagai Wacana Budaya
Fungsi Lontara La Galigo sebagai Wacana Budaya
Teori Sipakatau dalam Wacana Budaya
Bab II Struktur Super Wacana Budaya
Representasi Ideology Kultural dalam Skema Wacana Budaya
Representasi Ideologi Kultural pada Bagian Akhir LLG
Representasi Ideologi Kultural dalam Struktur Makna LLG
Bab III Struktur Makro Wacana Budaya
Representasi Ideologi Kultural dalam Tampilan Aktor
Representasi Ideologi Kultural dalam Tampilan Pariwisata
Representasi Ideologi Kultural dalam Tampilan Kelompok
Representasi Ideologi Kultural dalam Tampilan Kaidah Interaksi
Bab IV Struktur Mikro Wacana Budaya
Representasi Ideologi Kultural dalam Pilihan Kalimat
Representasi Ideologi Kultural dalam Kata Tugas
Representasi Ideologi Kultural dalam Metafora
Representasi Ideologi Kultural dalam Pilihan Kata
Representasi Ideologi Kultural: Sinonim, Antonim, dan Hiponim
Representasi kata yang Mendukung Struktur Super
Adapun uraian singkat dari masing-masing dari sub-bab, akan disajikan sebagai berikut.
Bab I
Pentingnya Analisis Wacana Budaya
Dalam sub-bab ini bapak jufri membahas tentang Lontara sebagai wacana budaya yang merupakan karya asli dari masyarak Bugis, dalam bukunya bapak jufri menyebutkan fungsi lontara bagi masyarakat Bugis, yaitu (1) lambang jati diri, karena memuat berbagai nilai budaya yang menjadi cirri khas masyarakat bugis, (2) lambang kebanggaan, karena sikap yang mendoromg sekelompok orang menjadikan lontara sebagai lambang identitasnya, dan sekaligus dapat membedakannya dengan kelompok orang lain, (3) sarana pendukung budaya daerah, karena mengandung informasi kultural untuk membangun tatanan social dalam rangka memperkukuh budaya nasional. Karena pentingnya fungsi lontara tersebut oleh karenanya lontara tetap dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat Bugis.
Bapak jufri dalam bukunya menjelaskan bahwa naskah lontara dipandang sebagai sumber informasi mengenai sejarah, sosial, dan budaya karena naskah lontara yang berkaitan dengan orang bugis pada masa lalu. Bukan hanya itu tetapi dalam buku yang ditulis oleh bapak Jufri menjelaskan pula bahwa lontara juga digunakan untuk mengungkapkan bernagai ritual, doa dan ceritra. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa naskah lontara dipandang sebgai bahasa dari indeks budaya dan dipersepsikan sebagai pengungkapan cara berpikir, penataan pengalaman penulisnya, dan symbol budaya yang menunjukkan identitas budaya etnis.
Kebiasaan masyarakat dalam bebrbahasa tercermin dalam lontara yang pada awalnya hanya diungkapkan secara lisan dari mulut ke mulut dan berlanjut ditulis pada daun lontar setelah masyarakat bugis mengenal aksara. Rahman (20013) menyatakan pada awalnya lontara pada umumnya, lontara La Galigo (LLG) pada khususnya dilisan, kemudian dituliskan dengan maksud untuk menjaga agar terhindar dari kepunahan.
Dalam buku bapak jufri mengemukakan beberapa hasil temuan yang terkait dengan lontara, oleh karena itu dalam bukunya bapak jufri ingin mengkaji tentang Lontara dengan menggunakan pendekatan yang berbeda yaitu pendekatan kritis. Yang pada hakikatnya pendekatan kritis mengacu pada pembebasan manusia terhadap ketidakadilan, penindasan, dan pendominasian dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Dengan adanya ini penulis berharap agar manusia tersadar dari hal-hal yang semula dianggap sebagai kebenaran dalam ideoligi kultural , akan diterima sebagai akal sehat. Sehingga tidak dipertanyakan lagi. Dalam buku bapak jufri disebutkan tiga prinsip utama teori kritis menurut Marcuse (dalam Nuryatno, 2003), yaitu (1) secara integral terkait dengan realitas sosial, bukan berada dalam alam abstrak dan ahistoris, dan tema yang diusung adalah ideology, dominasi,hegemori, emansipasi, (2) fungsi toeri kritis adalah untuk untuk menguji secara kritis kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat dan berupaya membingkar hal-hal yang tersembunyi dan membuat hal tersebut menjadi eksplisit, dan (3) tidak menalikan nilai masa lalu sepanjang nilai tersebut bermanfat untuk kemanusiaan.
Teori Kritis Sebagai Acuan Wacana
Dalam buku bapak jufri menjelaskan tentang teori kritis yang dikembangkan oleh Habermas yang merupakan kritikan dan ketidakpuasannya terhadap teori positivis. Menurut Habermas teori kritis memusatkan perhatian pada dua taraf, yaitu taraf pengetahuan dan taraf teori sosial. Selain itu Harold Bleich (1997) membagi tiga prinsip teori kritis, (1) ia secara integral terkait dengan realitas sosial, tema utama yang diusung meliputi dominasi, hegemoni, dan emansipasi, teori tersebut merancang untuk mentransformasikan struktur dominasi dalam masyarakat, (2) fungsi toeri kritis adalah untuk menguji dan menjelaskan secara kritis kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat dan berupaya mencari akar penyebabnya dengan mengkaji hal-hal yang implicit menjadi eksplisit, dan (3) teori kritis tidak menafikan system pengetahuan masa lalu, sepanjang system nilai tersebut bermanfaat untuk emansipatoris. Adapun istilah lain yang dipakai selain teori kritis adalah kritik ideologi yang mengharapkan munculnya manusia sadar akan penidasan sosaial atas dirinya dan mau membebaskan dirinya.
Pandangan Wacana Kritis Terhadap Wacana Budaya
Dalam sub-bab ini bapak jufri menjelaskan tiga jenis parahikma yang berbeda tentang analisis wacana, kemudain mebandingkannya dengan pandangan david tentan paradigm formal dan paradigma fungsional sebagai berikut :
Pandangan yang pertama menyatakan bahwa analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan bahasa. Pandangan yang kedua, menyatakan bahwa analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkapkan makna tertentu. Dan pandangan yang ketiga menyatakan bahwa analiisis wacana mengungkapkan kekuasaan yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan yang diperkenankan menjadi wacana, dan representasi ideology yang terdapat dalam masyarakat.
Hakikat Lontara sebagai Wacana Budaya
Dalam sub-bab ini bapak jufri menjelaskan tentang hakikat lontara yang merupakan sejenis daun, yaitu daun lontar yang dahulunya dipakai oleh masyarakat bugis untuk mengungkapkan ide dan pikiran dalam bahasa bugis. Oleh karena itu sampai sekarang masih ditemukan berbagai informasi yang teracak atau masih belum tersusun secara sistematis. Namun beberapa tulisan yang sudah ditulis kembali oleh mayarakat Bugis yang mampu menyajikan secara sistematis. Sehingga saat ini lontara dijadikan sebgai sumber ilmu pengetahuan. Dalam buku ini pak jufri mengatakan bahwa pada umumnya, lontara dapat dinyatakan bahwa segala macam tulisan yang ditulis dengan huruf sulapa Eppae karena lontara pada awalnya ditulis pada daun lontar dengan huruf empat persegi (sulapa eppae).
Fungsi Lontara La Galigo sebagai Wacana Budaya
Dalam sub-bab ini bapak jufri menjelaskan bahwa naskah La Galigo sebagai produk budya lokal, pada hakikatnya berfungsi (1) mendeskripsikan suatu peristiwa kultural-edukatif yang dapat dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari, (2) memperkaya wawasan kedaerahan sebagai salah satu unsur budaya untuk meningkatkan kepekaan terhadap nilai kemanusiaan, nilai kepribadian, dan nilai keutuhan, (3) menciptakan rasa karya budaya yang lebih bermanfaat dan berharkat, dan (4) mengkritisi ideology kultural yang secara sadar membangun suatu dinasti kekuasaan yang berdampak pada temanjinalisasinya atau tertindasnya suatu kelompok tertentu.
Teori Sipakatau Dalam Wacana Budaya
Dalam sub-bab yang terkahir dalam bab 1 ini bapak jufri menyatakan bahwa teori sipakatau dalam dimensi kognisi sosial diproduksi oleh individu atau kelompok untuk membangun suatu realitas sosial yang harmonis. Dan dalam buku bapak jufri ini juga menjelaskan tentang konteks sosial-budaya dipahami sebagai wacana budaya yang berkembang dalam masyarakat. Konstruk ideology cultural sipakatau adalah: (1) mengekplorasi ideology sosial-kultural dalam Lontara, (2) mengklarifikasi ideology cultural, da dalam masyarakat, dan (3) ideology cultural sipakatau dieksplanasi dari berbagai pandangan, seperti pandangan pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Bab II Struktur super wacana budaya
Pada bagian ini bapak jufri membahas tentang struktur super yang teridri atas skema wacana dan struktur makna. Skema wacana meliputi bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir cerita dalam wacana budaya Lontara La Galigo
Representasi Ideologi Cultural dalam Skema Wacana
Representasi Ideologi Cultural Pada Bagian Awal Wacana Budaya
Jangan kosng bagian tengah ( ajaq naonro lobbang ale lino
Pada bagian awal dalam wacana budaya Lontara La Galogo (sureq La Galigo) dimulai dengan kalimat “inilah permulaan naskah Galigo” ( Inae Pammulan-na sureq Galigo). Selanjutnya, penggambaran To Palanra (sang penetu nasib) sebagai penguasa Dunia Atas, seperti layaknya penguasa di Bumi melakukan aktivitas dalam kehidupannya. Krtiga matahari terbit di Rualette, Ia terbangun, mencuci muka dan duduk diatas bantal Saroja Tanra Tellu. Latihan perang-perangan yang diamatinya lewat jendela antara La Tau Panceq dan La Tau Buleng di bawah pohon asam Tanra Tellu. Tidak satupun tampak olehnya penjaga ayam andalannya. Para abdi To Palanroe tampaknya melaksanakan tugasnya di tepi paretiwi (ri meneqna Peretiwi),seperti menurunkan topan(paturung riuq),mengadu petir(pabbite oling),memperlagakan Guntur (pallaga gunruq), menyabung kilat (saung rakkileq), ketika itu, mereka melihat Dunia Tengah (Bumi) masih kosong. Berawal dari temuan tersebut, dalam pikirannya mereka merasakan pentingnya Ale Lino dhuri oleh manusia. Temuan tersebut segera diungkapkan dan dilaporkan To Palanro.
Diskusi para keluarga penguasa (Dewata)
Undangan pertemuan yang telah diperintahkan oleh To Palanroe untuk diedarkan ke penguasa Dunia Bawah dan seluruh penduduk Botting Langi sudah dilaksankan tugasnya dengan baik. To Palanroe menunjukkan kuasanya dengan menyuruh penduduk negeri di Botting Langiq dan di Abang Lette untuk berkumpul di istana di Rualette. Perintah tidak langsung penguasa Dunia Atas tersebut, ditanyakan oleh penduduk negeri. “pekerjaan besar apa lagi yang dilakukan To Palanro”. Bertepatan dengan waktu yang ditentukan, rombongan Sinauq Toja yang memerintah di Toddang Toja melewati beberapa istana kemanakannya, diantaranya istana di Leteng Nriuq. Munculnya kelompok dewa penguasa Dunia Bawah di depan istanSao Kuta. Kenjadikan semua penjaga serentak bangkit untuk menjegalrombongan dewa tersebut masuk ke Istana Palanroe. Peristiwa tersebut membuat Sinauq Toja Raja di Toddang Toja marah sekali dan tampil ke depan meludah sambil berseru “ lancing benar kalian orang Sunra, tiada sopan tuturmu I La Sualang, engkau tidak perkenankan rombonganku memasuki pagar halilintar, masih jelas satu keturunan danganku Patotoe.” Akibatnya, semua penjaga istana mundur berjongkok. Seperti orang yang tersihir saja penjaga pagar istana halilintar dan serentak mereka berkat,” Tuan kita rupanya, tidak kita ketahui ia yang berkuasa di Peretiwi, kita sudah lancing tidak membiarkan mereka memasuki pagar istana halilinta”.
Berdasarkan hasil analisis data tersebut dalam wacana budaya LLG secara ideologis dapat dikategorikan sebagai klasifikasi fungsional. Suatu pengklasifikasian secara fungsional diarahkan untuk membatasi pandangan pada keturunan dewata (puang) saja sebagai penguasa di Dunia Bawah dan Dunia Atas untuk menampilkan kepada public. Fungsi komunitas lain, fungsi komunitas lain, sperti masyarakat sipil lainnya, hanyalah melaksanakan perintah, tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan sedikit pun untuk menentang kehendak Patotoe. Dengan demikian, kelompok tersebut dapat dikategorikan peneliti sebagai komunitas yang diamnjakan karena dalm struktur kedewaan tidak ada satupun masyarakat umum yang dibatalkan.wacana inilah yang diistilahkan oleh Foucault (1977) sebagai wacana komunitas yang “terpinggirkan” atau “tersembunyi”atas komunitas lainnya. Pendominasian keluarga Senauq Toja dan To Palanroe menjadi penguasa diharapkan pembaca memahami hal tersebut. Selanjutnya, pemahaman dibatasi hanya pada wacana tersebut, tetapi bukan wacana yang lain, oleh karena itu, Ideologi dalam masyarakat Bugis ketika itu, peneliti menganggap bahwa keturunan rajalah yang menguasai seluruh struktur pemerintahan.
Berdasarkan paparan tersebut, dikategorikan sebagai suatu interaksi yang intensif untuk mempersiapkan penguasa di Bumi. Secara ideologi cultural, peneliti menyebut peristiwa tersebut sebagai ideology kekerabatan (semi demokratis), ideologi semi terbuka merupakan suatu keyakinan yang dikonstruksi oleh To Planroe sekeluarga sebagai suatu komunitas yang berdaulat untuk menentukan sesuatu dalam pertemuan itu. Ideologi tersebut diistilahkan oleh suseno (1992) sebagai ideology implisit.
Berdasarkan paparan itu, dikategorikan oleh peneliti sebagai kaidah interaksional dengan cara partisipan mengontrol dan mengendalikan La Toge Langi untuk mencapai tujuannya yaitu To Planroe ingin mendirikan kedaulatan di Muka Bumi sebagai pengatur kehidupan dan pembawa kesejahteraan seperti kekuasaan di Dunia Atas.
Proses dan misi ke Ale Lino
Pada detik-detik diturunkan La Toge ke Ale Lino, tampak La Patigana sendiri yang membaringkan anaknya diats bamboo betung, diselimutinya dengan kain, dililiti tirai, digenggamkannya cemeti warisan, disimpankan siri attaka (nama jenis tumbuhan) disebelah kannya, sejenis bamboo (telleq araso) disebelah kirinya, pucuk enau yang dianyam menjadi hiasan (wemponh mani), bertih kilat, beras berwana. La Patigana sendiri mengikati dengan tali emas bambu betung tempatnya berbaring. Wasiat To Palanroe kepada anaknya dengan berkata “engkau adalah manusia dan aku adalah dewata. Selanjutnya amanat To Palanroe kepada anaknya La Toge Langi yang diemban ketika turun ke bumi, yaitu : (1) menurunkan angin, (2) dapat menyabung badai,(3) menjadikan Guntur bersahut-sahutan, (4) menyalakan kilat petir dan awan bergumpal ,(5) mengilatkan halilintar, (6) melayangkan kabut tebal, (7) menjajarkan bintang yang saling mendektkan di kolong langit, (8) menabur gelap dan menyusahkan pengambil nira dan membunuh gembala, (9) meninjak-ninjak kerbau cemara dan menyesalkan orang di hutan, dan (10) menyembahlah engkau, anakku, ke Rualette menedahkan tangan ke peretiwi, engkau katakan hamba dirimu, akulah Tuhanmu, yang engkau jadikan tunas di Bumi membentangkan kayu sengkonang atas namamu, inilah hakikat diturunkannya La Toge ke Bumi.
Representasi ideology cultural pada bagian tengah wacana budaya LLG
Pada bagian ini disajikan beberapa struktur makro yang memiliki makna umum dengan tiga cara, yaitu kaidah penghilangan (deletion rule), kaidah generalisasi (generalization rule), dan kaidah konstruksi (construction rule). Ketiga cara analisis tersebut, ditemukan dalam wacana budaya LLG beberapa tema dan peristiwa pada ketiga masa kerajaan yang berhubungan dengan ideology kulturak, yaitu masa La Toge Langi ( To Manurungi, masa La Tuleng, dan masa Sawerigading, setiap periode masa terdapat beberapa aktivitas kerajaan untuk menyebabkan ideology kulturalnya dan melegitimasi kekuasaannya ketika itu.ketiga masa diuraikan sebagai berikut.
Masa La Toge Langi ( manurungnge)
Masa To Manurung merupskan periode awal dalam wacan budaya LLg untuk mengatur dan mensejahterahkan masyarakat di permukaan Bumi. Ideologi cultural yang diemban manurungnge di Bumi adalah membentangkan kayu sengkonang atas nama To Palanroe dan membimbing sesamanya anak dewata di Dunia Tengah (Ri Ale Lino) untuk melegitimasi kekuasaan yang mirip dengan kekuasaan To Palanroe yang ada di langit dan kekuasaan Datu Sinouq Toja yang ada di Peretiwi. Di samping La Toge Langi digelari To Manurung, juga diartikan yang turun dari langit untuk memerintah di Dunia Tengah (ri kawa). Selama periode kekuasaan Manurunge itu dikembangkan berbagai kegiatan untuk melanggengkan kekuasaan dengan membentangkan ideologinya kepala masyarakat umum. Beberapa aktivitas atau tema utama yang menonjol selama masa Manurungnge antara lain: (1) La Toge Langi berada di Bumi, (2) To Manurung turun ke Dunia Bawah (ri uri liu),(3) pusaka Manurungnge dari Boting Langi, (4) upacara keduataan To Manurunge,(5) To Manurungnge naik ke Boting langi, (6) Bermunculan datu muda, (7) melakukan hubungan vertiakl, dan (8) lahir tunas ( tunrq) di pusat Bumi.
Masa La Tiuleng
2) Naik Ayunan La Tiuleng
Salah satu acara kedaulatan La Tiuleng adalah naik ayunan. Upacara tradisional seperti ini dilaksanakan di Istana. Upacara naik ayunan dalam wacan budaya LLG diungkapkan ada seribu bissu raja menyuguhi La Tiualneg rasi bissu. Di samping mendendangkan kata dewata kepada La Tiuleng, juga diiringi dengan tari-tarian. Upacara tersebut diramaikan dengan penyeru semangat disertai ribuan tumpuq kaddi, dan anak beccing. Bersamaan dengan didendangkan nyantian bissu orang Uluwongeng, ketika itu juga dinaikkan ke ayunan tali keemasan. Tiga ratus ibu susu naik keayunan dan sekian pula inang pengasuh (Natellung ratuq inanyumpareng manreq ri tojang, sekua to le pattaranaq)
3) Pijak Tanah La Tiuleng
Dalam wacana budaya LLG, diungkapkan upacara pijak tanah itu sebagai prosesi kedatuan dengan berbagai kegiatan, antara lain (1) para juak menghamburkan logo dan panah emas, (2) mempertandingkan gasing dan kemiri kencana dan kera emas di balairung, (3) datu muda dipersiapkan menjadi penguasa di Watang Mpareq, dan (4) para ibu susu diperintahkan oleh We Nyilik Timoq supaya ditumbukkan lahirnya Batara Lattuq dan diperaskan jeruk wangi untuk menghilanhkan kotoran dan daki La Tiuleng.
4) pencarian jodoh yang Berdarah Putih ( maddara puteh)
Dalam wacana budaya LLG dijelaskan datu Manurung berkeinginan untuk mencarikan La Tiuleng isi usungan kencana sesame raja yang memerintah ( liseq sinrangeng Lakko padanna pattuppu batu), yang sederajat, berdarah biru (maddara takkuq), sesame keturunan berdarah langit turun mejelma (wija ri langiq mai nasoloq makkatawareng) turunan Toddang Toja yang muncul ke Dunia Tengah (tuneq to toddang Toja atompoq mai mallino), keinginan tersebut, ditinjaklanjuti oleh Manurunge untuk naik ke Boting Langi mengahadap Baginda Patotoe suami-istri memohonkan isi usungan yang sederajat ( pada Wennenna) dengan La Tiuleng
5) upacara kedaulatan menjemput Wangkang Besar
Dalam wacana budaya LLG diungkapkan tentang semua peralatan upacar kayangannya Puang Manurung sudah rampung. Datu Bissu menari dengan kerasukan dan berkomunikasi dengan orang Rualette untuk menyambut kedatangan wangkang besa. Sejak kemunculan perahu emas yang manurung di pelabuhan, keramaian tidak pernah berhenti. Semua warga Luwu dan Ware telah dipanggil (nariobbiri) untuk menjemput wangkang besar ( wakkaq tanete) di sungai (ri minange).
6. Mengembara ( sompeq) ke Tompo Tikka
Petuah yang diamanatkan oleh To Manurungnge kepada La Tiuleng ( Batara Lattuq) sebelum berlayar adalah setelah jauh menungkatkan negeri tempat tinggalmu, ingatlah kembali ke Luwu. Ketika itu juga, tiang emas ditegakkan dan layar dikembangkan, dipandang bagaikan bulan di tengah langit berkilauan yang dapat menerangi laut. Serentak orang selayar dan orang waniaga mengayunkan dayungnya. Bagai burung beterbangan perahu itu dibaw oleh layar serta angin, dibawa ombak dan ditahan oleh badai. Alangkah semarak wangkang tanete itu dipandang mata dan didorong oleh arus diatas air pergi menuju ke Tompoq Tikkaq.
7) Nikah dengan Bangsawan Murni
La Pangoriseng memerintahkan untuk menaikkan isi perahu aneka ragam. Segera harta benda Opunna Luwuq beriringan naik ke darat membanjir masuk istana. Kini istana telah penuh sesak barang-barang yang banyak dan beraneka ragam memenuhi sudut tempat penyimpanan.
8)Kembali ke Luwu
Kedatangan We Data Senggeng suami istri di Luwuq disambut oleh para pembesar kadaulatan yang mewakili paduka Manurungnge suami-isteri untuk mengantarkan hadiah. Tujuh negeri diberikan oleh Paduka suami-isteri kepada We Datu Sengngeng sebagai pemberiannya dan akan mewarisi istana emas Manurung. Juga diberi pula tujuh negeri indah oleh para penguasa yang mengiringi pengantin sebagai pengganti pinang sekarat dan pengganti daun sirih selembar. Warisan tersebut diberikan agar We Datu Sengngeng meringankan badannya menuju ke Ale Luwu. Dalam wacana budaya LLG tersebut, We Datu Sengengeng menolak berangkat ke Ale Luwu dan ia rela putus pernikahannya dengan Opunna Luwu jika tidak dijemput oleh Manurungnge suami-istri. Jika tidak mau Sri Paduka suami-istri mengurangi kemuliannya turun ke muara dan mempersilakan We Datu Sengngeng naik ke rumah, ia rela kembali dengan naik sampan ke negerinya.
9) Penjemputan We Datu Sengngeng
Dalam acara penjemputan We Datu sengngeng di negeri LUwu digambarkan tujuh ribu hamba memakai sarung bercorak kemilau bernaga dan dijahit dengan bertaburan puluhan kati emas, serta anting-antingnya puluhan tahil emas. Pakaian dibagian muka dan belakang beruntaian warna pelangi. Semua penjemput masing-masing mengenakan ikat kepala dengan pinang goyang kayu cendana.
Masa Sawerigading
Beberapa aktivitas atau tema utama yang menonjol selama masa Manurungnge antara lain: (2) terjadi perang dalam sompeqna saweriwading, (3) sebagai pedagang di Cina, (4) meminang I We Cudai, (5) kesaktian sawerigading di Negeri Cina, (6) oppuna Cina yang berdaulaut.
Representasi Ideology Cultural Pada Bagian Akhir LLG
Pada bagian ini, disajikan beberapa tema yang berhubungan dengan Ideologi cultural pada bagian akhir wacana budaya LLG, antara lain (1) La Galigo meminta Oppunna Cina mengundang We Mono, (2) upacara kerajaan ulawengnge (Massalissie), (3) tiada henti-hentinya La Galigo memperlihat-kan kekuasaanya, (4)pesta pertunangan adu ayam antara La Galigo dengan To Walannae, (5) La Galigo mencari permaisuri yang seketurunan di Tempe, (6) We Mono menolak keras La Galigo , (7) La Galigo terperangkap di atas tilam di Tempe, (8) titisan darah manurungnge tidak akan percuma, dan (9) La Galigo menyerang Wilayah Ajattasi.
Representasi Ideology Cultural Dalam Structural Makna LLG
Yang dimaksud struktur makna di sini adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk membentuk suatu pola informasi secara utuh, yang dipresentasikan dalam wacana budaya LLG bersifat ideology cultural. Pemahaman struktur makna dapat ditemukan pada tema yang ada dalam wacana budaya LLG tersebut. Tema yang dimaksud disini adalah suatu pokok pikiran yang bersifat ideology cultural atau dasar cerita yang dipakai sebagai dasar dalam wacana budaya LLG, baik yang ada pada bagian awal, bagian tengah, maupun yang ada pada bagian akhir. Sehubungan dengan hal tersebut ditemukan lima tema dalam wacana budaya LLG yang dijadikan acuan untuk memperluas wilayah otonom yang sama dengan kedatauan dan kekuasaan di Boting Langi dan di Peretiwi (lapi tana). Tema yang dimaksud, yaitu (1) Ale Lino masih kosong, (2) pembentangan kayu sengkonang atas nama To Palanroe di Bumi, (3) Manurungnge sebagai pengatur pemerintahan dan pembawa kesejahteraan di Ale Lino, (4) regenerasi sebagai tunuq pengganti di Ale Lino, dan (5) pemekaran wilayah kedatuan di Ale Lino.
Bab III Struktur Makro Wacana Budaya
Pada bagian ini bapak jufri memaparkan tentang tamoilan pelaku, peristiwa, kelompok, dan kaidah interaksi yang dipresentasikan ideology cultural dalam wacan budaya LLG. Selanjutnya, dibahas tentang struktur maksro yang mendukung struktur super dalam wacan budaya LLG.
Representasi Ideologi Kultural dalam Tampilan Aktor
Dalam sub-bab ini bapak jufri membahas tentang aktor-aktor yang ada dalam Lontara La Galigo. Aktor (pelaku) yang diamksud adalah orang yang melakukan suatu perbuatan atau yang merupakan pelaku utama dalam siatuasi tertentu untuk menampilkan ideology cultural dalam wacana budaya. Dan bapak jufri juga memberikan informasi lebih detail terhadap aktor yang ikut berperan dalam cerita. Dalam buku analisis wacana budaya ini bapak jufri memberikan beberapa contoh aktor yang disertai dengan informasi detail terhadap aktor tersebut.
Representasi Ideologi Kultural dalam Tampilan Peristiwa
Dalam sub-bab ini bapak jufri menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi dalam wacana budaya. Peristiwa merupakan suatu kejadian dalam LLG yang direpresntasikan ideology cultural untuk membangun suatu citra ke public agar masyarakat meyakini dan melegitimasi keadaan manurunge sekeluarga sebagai pengatur perintah di boting langi.
Representasi Ideologi Kultural dalam Tampilan Kelompok
Dalam sub-bab ini bapak jufri menjelaskan tentang Representasi Ideologi Kultural dalam Tampilan Kelompok. Dimana kelompok merupakan sejumlah orang yang melakukan suatu aktifitas dengan memiliki tujuan tertentu yang dikonstruksi untuk memanjinakan komunitas lain. Dan menurut bapak jufri dibalik kelompok memuat ideology cultural yang direpresentasikan dalam wacana budaya LLG. Dimana satu sisi ditonjolkan dan satu sisi tidak ditonjolkan, sehingga terjadi ketidak seimbangan informasi. Baik informasi tenyang peran kelompok tersebut maupun informasi tentang posisi kelompok tersebut dalam masyarakat.
Representasi Ideologi Kultural dalam Tampilan Kaidah Interaksi
Kaidah interaksi yang dipresentasikan dalam wacan budaya LLG tersebut, peneliti menemukan beberapa hal, yaitu: (1) kaidah interaksi satu arah yang bersifat top-down, (2) kaidah interaksi bersemuka, (3) kaidah interaksi bersifat imperative, (4) pola interaksi La Pabgana kepada La Toge Langi (interaksi orang tua-anak), (5) dalam interaksi tersebut, La Pabgana sebegai pemberi tugas dan La Toge sebagai Pelaksana perintah, (6) La Patigana sebagai pemberi tugas dan La Toge sebagai pelaksana tugas interaksi, (7) dalam interaksi tersebut, La Patigana sebagai penguasa di Langit dan La Toge sebagai Datu di bumi. Kaidah interaksi bersifat top-down menurut van Dijk (2001) menyalakan bahwa hubungan top-down lebih mendondominasi hubungan bottom-up secara berlawanan. Hubungan bottom up sering kali mengalah, luncuk, rela, dan menerima berbagai informasi, sedangkan hubungan top down seringkali memperingaruhi, menyuruh, memerintah, dan pemberi berbagai informasi, serta mendominasi.
Bab IV STRUKTUR MIKRO WACANA BUDAYA
Representasi Ideologi Kultural dalam Pilihan Kalimat
Menurut Faircoult (1997), kalimat merupakan bagian terkecil dari wacana yang diproduksi secara individu atau suatu komunitas tertentu untuk tujuan tertentu. Secara sistematis suatu ide atau gagasan, dan pandangan hidup dikonstruksi dalam suatu kondisi tertentu sehingga mempengaruhi public untuk membentuk pola fikit, keyakinan, dan perilaku seseorang atau suatu komunitas. Sehubungan hal tersebut, Fairclough (1989) membagi tiga bagian yang berkaitan dengan kalimat, yaitu (1) aspek ekspresensial, (2) aspek relasiona, dan (3) aspek ekspresif.
Berdasarkan uraian tersebut, maka pada bagian dibawah ini, dipaparkan tiga aspek, yaitu (1) representasi ideologi cultural dalam pilihan kalimat yang eksperensial, (2) representasi idoelogi cultural dalam pilihan kalimat yang relasional, dan (3) representasi ideology cultural dalam pilihan kalimat yang ekspresif
Representasi Ideology Kultural Dengan Kata Tugas
Arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas, tetapi oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat, konjungsi merupakan kata tugas yang menghubungkan dua unsure lebih atau kedua unsure itu memiliki status sintaktis yang sama. Kata tugas “atau” merupakan bagian dari konjungsi koordinatif kata tugas “atau” bernuansa ideology kultural dalam wacana budaya LLG. Seperti kalimat di bawah ini:
“berkatalah pula To Bocce, pada malam hari nati, wahai kakanda Torukka engkau akan mendengarkan puja-puja (kesiuran angin dari keris pusaka), mayatku terbujur di pekarangan saopatie atau aku berhasil tidur dalam satu sarung dengan permaisurinya To Soloe”.
Representasi Ideology Kultural Dalam Metafora
Pandangan para pakar lingusitik beranggapan bahwa metafora merupakan pendeskripsian sesuatu digantikan dengan pendeskripsian yang lain sebagai bahan perbandingan, dalam studi kebahasan sejak zaman kuno, aristoteles mendefinisikan metafora sebagai ungkapan kebahasan untuk menyatakan hal yan bersifat umum untuk hal yang bersifat umum untuk hal yang khusus, hal yang bersifat khusus untuk hal yang bersifat umum atau bersifat analogi.
Representasi Ideology Kultural Dalam Pilihan Kata
Pada bagian ini diuraikan tiga aspek pilihan kata yang direpresentasikan di dalamnya ideology kultural komunitas manurungge berikut ini:
Representasi Ideologi Kultural dalam Jenis Kata
Nomina
Verba
Menempatkan
Membangun
Verba mengatur
Verba membimbing
Adjektiva
Representasi Ideologi Kultural dalam Bentuk Kata
Bentuk kata merupakan kajian morfologi sebagai cabang dari ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk kata, perubahan dan dampak dari perubahan tersebut terhadap makna kata. Bentuk kata adalah wujud kata tertentu yang mengisi fungsi tertentu dalam paradigm. Misalnya bentuk nominative dari nomina dan bentuk lampau dari verba, bentuk kata dalam wacana budaya LLG direpresentasikan ideology kultural agar publik lebih sadar pentingnya komunitas manurungnge untuk mengatur perintah di ale lino.
Representasi Ideologi Kultural dalam Fungsi Kata
Dalam kalimat terdapat kata yang berfungsi sebagai (1) subjek, predikat, objek langsung dan tidak langsung, keterangan (waktu,tempat). Misalnya La Galigo menyerang nyiigna iyo pagi hari di ajatasi.
Kata menyerang berfungsi sebagai predikat dalam kalimat tersebut. Menunjukkan upaya La Galigo secara sadar dan sistematis mempersiapkan pasukan angkatan perangnya untuk berperang melawan pasukan datu ajatasi.
Representasi Ideologi Kultural; Sinonim, Antoim dan Hiponim
Representasi Kata yang Mendukung Struktur Super
Langganan:
Postingan (Atom)