Pages

Minggu, 16 Desember 2018

SIAPA PENCIPTA BAHASA INDONESIA?
ASAL USUL BAHASA INDONESIA



Masa lalu sebagai bahasa Melayu

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.

Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur". Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman

Bahasa Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia

-Referensi; www. Baris info.com



Kamis, 06 Desember 2018

FILSAFAT BAHASA (PHILOSHOPHY OF LANGUAGE)




FILSAFAT BAHASA

                                                   Hasil gambar untuk FILSAFAT BAHASA



                                    Dosen Pengampu        :  Dr. Azis, M.Pd.

            NAMA                       :  MUH. HARJUM NURDIN         
            NIM                            :  181050101030
            KELAS                      :  B
 

PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM MAGISTER PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018
MATERI I
A MAP OF THE AREA
Dari hasil presentasi makalah yang berjudul A Map Of The Area pada pertemuan mata kuliah filsafat bahasa, saya dapat menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut;
1. Filsafat Linguistik, dan Ilmu Bahasa
            Beberapa hal menjadi subjek dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda sebagai bahasa. Sedikit objek filosofis lainnya kita memiliki banyak definisi yang tidak sesuai. Memiliki telah digambarkan sebagai alat analitis yang tidak tergantikan atau citra yang tidak sempurna dari dunia, sebagai wadah netral isi mental atau, lebih tepatnya, menempa pikiran, sebagai bentuk kehidupan, sistem perhitungan, kecelakaan evolusi atau berkah ilahi, rintangan untuk komunikasi bebas jiwa atau pertemuan dasar kemanusiaan kita bersama, sebagai jalan menuju kebenaran atau instrumen yang licik lebih baik digantikan oleh perenungan yang tenang dari Wujud. Apapun definisinya, bahasa sepertinya selalu berkaitan dengan sisi duniawi eksistensi manusia. ini dihargai oleh filsuf dari kecenderungan sekuler lebih dari oleh metafisika, oleh mereka yang lebih mengandalkan analisis daripada mereka yang percaya pada intuisi (oleh Locke,misalnya, lebih dari oleh Plotinus; oleh Condillac lebih dari oleh Bergson).
                Novelis Italia Alessandro Manzoni membandingkan bahasa dengan pabrik terus-menerus direstrukturisasi sementara produksi berlangsung. Pendiri 19th-antropologi budayaabad, Heymann Steinthal, menggambarkan tindakan berbicara sebagai daur ulang materi penghancuran yang tersimpan dalam pikiran kita. Fritz Mauthner, filsuf Bohemian berbahasa Jerman, dan Ludwig Wittgensteinafterhim, membandingkan bahasa dengan sebuah negara, yang tumbuh secara bertahap, ruang demi ruang, jendela demi jendela, rumah demi rumah, lingkungan setelah tetangga, setiap elemen yang melekat pada yang berikutnya, dan terhubung dengan yang lain oleh galeri dan katakombe. Semua metafora ini menyarankan stratifikasi bahasa, artefak di antara yang paling kuno dalam sejarah universal.
    Pada abad ke-18, filsuf-filsuf membandingkannya dengan para pemimpin zaman ingatan manusia terpelihara, hingga jejak ditinggalkan oleh aman di padang pasir, yang dia menggunakan untuk menemukan jalan kembali. Sejak jaman dahulu, metafora moneter telah terjadi digunakan, dan mereka marak di abad ke-18, usia ekonomi politik, kapan perbandingan perdagangan verbal dengan sirkulasi mata uang, kebohongan koin palsu, menjadi hal yang biasa. Baru-baru ini, keteraturan bahasa sistem telah     diungkapkan oleh Saussure melalui metafora catur, dan perilaku linguistik telah dijelaskan oleh Wittgenstein sebagai permainan bahasa.

2.    Sumber Pengetahuan Linguistik
Sumber utama untuk studi filsafat bahasa adalah apa yang bisa kita sebut sebuah 'protolinguistik', sebuah badan akal sehat milik semua orang berbicara-ers, yang lebih atau kurang kita gunakan secara sadar untuk mengevaluasi kebenaran dan kejelasan ucapan kita sendiri dan orang lain. Pengetahuan ini tidak tergantung pada pelatihan profesional, dan tidak memiliki terminologi istilah ilmiah sendiri; namun itu cukup terorganisir untuk mewujudkan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena.

3.    Studi Filsafat Bahasa dan Partisinya
                Stimulus lebih lanjut untuk studi filsafat bahasa telah datang dari berbagai bidang penelitian ilmiah dan eksperimental, seperti studi linguistik patologi, dari abad ke-17 dan 18 sampai ke sekarang studi klasik oleh Roman Jakobson pada pertengahan abad ke-20, dan ke modern linguistik klinis; studi akustik musik dan mekanik; eksperimental mempelajari bunyi bahasa, dari abad ke 19 hingga eksperimen terbaru di audiometri pranatal; dan, dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan terapis neurosciences. Semua bidang ini menimbulkan pertanyaan tentang sifat non-gramatikal dan non- aspek kognitif bahasa, termasuk basis biologisnya. Mereka juga menggambar memperhatikan sejauh mana mekanisme prosodik dan sensorik motorik wacana berkontribusi pada fungsi semantiknya. Mereka menekankan kekhususan tanda-tanda vokal dibandingkan dengan sistem semiotik lainnya, termasuk gesture dan penulisan. Dalam terang sinergi antara prosedur fisik dan mental yang Sepertinya karakter bahasa manusia, thesestudiesraiseagaintheancientyet selalu pertanyaan baru tentang hubungan antara pikiran dan tubuh. Pertanyaan ini muncul juga dalam apa yang telah didefinisikan sebagai “evolusi tekno-linguistik” (Auroux 1994) setelah penemuan penulisan dan deskripsi tata bahasa bahasa dunia, yaitu, informasi elektronik yang jelas menimbulkan masalah hubungan antara kecerdasan manusia dan buatan.



















MATERI II
LANGUAGE, THOUGHT AND REALITY

Dari hasil presentasi makalah yang berjudul Language, Thought and Reality pada pertemuan mata kuliah filsafat bahasa, saya dapat menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut;
1.    Penamaan dan Mengetahui
Hubungan bahasa dengan realitas sangat penting untuk sejumlah filsuf Yunani 6 dan abad ke-5 SM, yang meletakkan dasar untuk pertanyaan yang akan banyak diperdebatkan oleh generasi muda : apakah laki-laki dipandu oleh alam dan memperhitungkan esensi dari hal-hal dalam memberikan nama, atau berasal mereka bukan dari penggunaan sesuai dengan konvensi sewenang-wenang. Posisi pertama menyiratkan keyakinan dalam korespondensi bahasa dan makhluk, yang tidak hadir di posisi kedua, yang menurutnya dua domain benar-benar terpisah dan hubungan mereka adalah murni institusional.
Secara umum, mengingat kondisi dokumen yang masih ada, berhati-hati harus menjadi aturan pertama ketika mengevaluasi bukti dan hipotesis tentang filsuf dari periode Yunani Preclassic. Ada kemungkinan bahwa seorang naturalis onomatology tentatif memang hadir dalam filsafat Pythagoras. Denominasi, ia mempertahankan, adalah keadaan pengetahuan rendah yang menggunakan simbol matematika untuk memahami gagasan abstrak.
Studi tata bahasa dan leksikal dikaitkan dengan filsuf sofis Protagoras dan Prodicus; ini adalah klaim yang masuk akal, mengingat konvergensi dari teoritis, praktis, dan bahkan kepentingan profesional yang ditandai mereka. Sangat ideal wacana yang efektif tentu menyiratkan tingkat iman dalam korespondensi, jika hanya relatif, antara bentuk-bentuk bahasa dan pemikiran, dengan demikian mendorong studi tentang struktur bahasa.
2.    Kategori Tata Bahasa, Kategori Pemikiran
De Interpretatione adalah salah satu karya pada logika dikumpulkan dalam Organon, dan berhubungan dengan kalimat deklaratif (penilaian, apakah positif atau negatif, oleh karena itu bertanggung jawab untuk menjadi benar atau salah). Jenis lain dari pidato (doa, misalnya, yang merupakan wacana dari  yang tidak benar atau salah) berhubungan dengan retorika dan puisi. Kata benda (“suara setelah makna yang ditetapkan oleh konvensi saja tapi tidak ada referensi apa pun ke waktu, sementara tidak ada bagian dari itu memiliki arti apapun, dianggap terpisah dari keseluruhan”: (“suara yang tidak hanya menyampaikan makna tertentu namun memiliki waktu-referensi juga”) adalah minimum kategori lisan yang diperlukan untuk penilaian. “Mereka menunjukkan apa-apa sendiri, tetapi menyiratkan sanggama atau sintesis, yang kita hampir tidak bisa membayangkan terlepas dari hal-hal yang demikian gabungan”.
De interpretatione dibuka dengan formula yang selama berabad-abad adalah untuk tetap dimulai dari semua teori makna:
Kata yang diucapkan adalah simbol atau tanda-tanda kasih sayang atau tayangan jiwa; kata-kata tertulis adalah tanda-tanda kata yang diucapkan. Menulis, demikian juga pidato tidak sama untuk semua ras manusia. Tapi sayang mental itu sendiri, yang kata-kata ini terutama tanda-tanda, adalah sama untuk seluruh umat manusia, seperti juga obyek yang mereka kasih sayang adalah representasi atau kesamaan, gambar, salinan. ditemani oleh kebenaran atau kepalsuan, sehingga juga berada dalam pembicaraan kita, untuk kombinasi dan divisi penting sebelum Anda dapat memiliki kebenaran dan kepalsuan. Sebuah kata benda atau kata kerja dengan sendirinya banyak menyerupai konsep atau pemikiran yang tidak dikombinasikan atau digabungkan.
3.    Dari Suara ke Ucapan
Aristoteles adalah filsuf pertama yang memperlakukan bahasa sebagai fenomena yang berkaitan dengan berbagai ilmu, seperti biologi dan psikologi, logika, puisi, dan retorika, dan karenanya mempelajarinya dari berbagai perspektif yang berbeda: akustik, fisiologis, logis, semantik, gaya, dan pragmatis. Tulisan-tulisannya mewakili ensiklopedia pertama dari ilmu bahasa dunia Barat. Dalam De Anima (II, 8), Aristoteles membedakan antara suara yang tepat (telepon) dan suara (psophos), mendefinisikannya sebagai berikut. Suara adalah suara yang dihasilkan oleh makhluk hidup. Namun, tidak semua suara yang dihasilkan oleh makhluk hidup adalah suara, Suara adalah suara yang dipancarkan secara sukarela, diberkahi dengan fungsi komunikatif, dan terkait dengan citra mental. Untuk lebih memperjelas hubungan antara aspek biologis suara dan penggunaan linguistiknya, kita dapat merujuk pada suatu bagian dari interpretasi di mana Aristoteles menyatakan bahwa suara bersuara adalah simbol (simpati) dari kasih sayang jiwa dan surat tertulis adalah simbol dari suara dari suara itu.
Kesinambungan yang sama antara suara vokal spontan dan suara komunikatif ditegaskan dalam Poetics (Chaps. I – III), di mana Aristoteles berpendapat seni bahasa dari seni tubuh tari dan irama dan mengaturnya dalam suatu rangkaian sesuai dengan sejauh mana mereka menggunakan ritme ormusik tubuh. Demikian pula, dalam Retorika (1428b, 21ff.), Prosodi berkontribusi pada produksi makna melalui pembukaan dan penutupan klausa kalimat yang berfungsi untuk membedakan unit sintaksis dan semantik. Dengan demikian, ada kesinambungan antara penggunaan suara spontan dan simtomatik sebagai ekspresi langsung dari kasih sayang jiwa dan penggunaan institusional dari suara yang diartikulasikan, bahkan dalam bentuknya yang paling sewenang-wenang dan abstrak. Mereka yang disebut Aristoteles agrammatoi psophoi, suara yang tidak diartikulasikan, yang tidak dapat dibagi lagi menjadi unit diskrit.

4.    Skeptifisme, Komunikasi, dan Keheningan
Hal ini umum bahwa studi logika Aristoteles dan Stoa menyediakan kerangka teoritis untuk pekerjaan tata bahasa dari sekolah Alexandria, meletakkan dasar-dasar seni yang harus dikodifikasikan oleh Dionysius Thrax dan kemudian oleh Apollonius Dyscolus, melalui sintesis aneh filologi dan filsafat (Lallot 1997: 13). Di sisi lain, tata bahasa teknis telah berhasil menjadi profesi otonom hanya karena studi morfologi dan sintaksis tidak lagi menjadi bagian dari dialektika filosofis dan telah menjadi aspek praktek filologis (Baratin & Desbordes 1981: 34-37). Pentingnya morfologi sebagai pengantar filologi disaksikan oleh produksi gramatikal besar penulis Alexandria (yang, kebetulan, hampir tidak ada yang masih ada). Itu terutama fungsional untuk rekonstruksi teks, elaborasi manual sekolah, interpretasi dan komentar dari karya sastra, dan seni menulis dalam berbagai aspeknya.
Latin tata bahasa Varro terdaftar empat fungsi studi gramatikal: lectio (membaca dengan suara keras), enarratio (interpretasi teks-teks), emendatio (koreksi mereka bila diperlukan) dan iudicium (evaluasi mereka). Quintilian dijelaskan tata bahasa sebagai disiplin praktis yang bertujuan berbicara dengan benar dan menafsirkan teks-teks sastra. emendatio (koreksi mereka bila diperlukan) dan iudicium (evaluasi mereka). Quintilian dijelaskan tata bahasa sebagai disiplin praktis yang bertujuan berbicara dengan benar dan menafsirkan teks-teks sastra. emendatio (koreksi mereka bila diperlukan) dan iudicium (evaluasi mereka). Quintilian dijelaskan tata bahasa sebagai disiplin praktis yang bertujuan berbicara dengan benar dan menafsirkan teks-teks sastra.










MATERI III
A NATURAL HISTORY OF SPEECH
(SEJARAH HAKIKAT TUTUR)

Dari hasil presentasi makalah yang berjudul A Natural History Of Speech pada pertemuan mata kuliah filsafat bahasa, saya dapat menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut;
1.    MASALAH DALAM NATURALISME
                        Pembahasan naturalisme membahas sejarah yang sama dari sebelumnya, tetapi dari sudut yang berbeda. Sampai saat ini, kami telah menganggap bahasa sebagai suatu prosedur untuk secara konseptual menguraikan, secara sintaksis mengatur dan mengkomunikasikan pikiran. Saat ini, kita akan mempertimbangkan untuk mempelajari intonumen internal sejarah ontogenetik manusia, sebuah sistem di mana naluri (alam) dan pembelajaran (pengasuhan) memainkan peran yang sama pentingnya. Kami tidak akan fokus pada bahasa secara umum seperti pada cara memanifestasikan diri dalam pluralitas bahasa.
2.    SEMANTIK ETIMOLOGI
Animportant mengubah sebagai naturalis memotivasi nama-nama, gagasan bahwa pengenaan mereka tidak dapat sepenuhnya serampangan, tetapi harus diatur oleh beberapa 'alasan' yang memastikan kesesuaian mereka dengan hal-hal,sifat umum dari orang-orang lembu, sesuai dengan Pendirian tradisi, tatacara ordinal sesuai dengan filsafat Kristen. Dalam kasus apa pun, harus dimungkinkan untuk merekonstruksi asal mereka. Ilmu pengetahuan, juga, tampak jelas pada titik ini, dengan tulus mereka dikaitkan dengan teori dan praktik etimologi.
Saat ini ‘etimologi’ berarti rekonstruksi dari evolusi fonetik dan morfologi suatu kata. Tetapi di Yunani kuno, praktik etimologi berkembang untuk meneliti dan memperjuangkan kesemuanya dan kesesuaian kata-kata, dan tetap selama berabad-abad merupakan bentuk "semantik ontologis" (Fresina 1990: 110). Sebuah kesaksian yang mengesankan untuk penggunaan etimologi ini ditemukan dalam buku-buku lima hingga tujuh dari De Lingua latina Varro.

3.    KOMUNIKASI MANUSIA DAN HEWAN
Tema sentral lainnya dalam sejarah bicara natural adalah hubungan antara bahasa manusia dan bahasa. Tidak ada garis besar pertanyaan yang dipertanyakan dalam teks-teks di mana SextusEmpiri mendeskripsikan sosio-psikotik (AgainsttheLog. II, 141–299; Garis Besar Pyrr. II, 97ff.), Mulai dari perbedaan mereka antara mnemonikign, yang dangkal dengan mempertaruhkan apa yang terjadi di awal mula-mula (asap, misalnya , dapat menyarankan api ketika yang terakhir tidak terlihat), dan indikasi dengan mana kita menukarkannya yang secara luar biasa (misalnya, pikiran, yang kita tahu hanya melalui tindakan tubuh). Kemampuan untuk menggunakan sama-sama untuk mengawasi jenis penanda, tetapi jenis berbagai adalah yang membedakan manusia dari hewan. Memang, suara yang diartikulasikan saja tidak cukup untuk mendefinisikan bahasa, harus ada juga kemampuan untuk menyusun, mengaitkan, dan menghilangkan kesan-kesan dan representasi-representasi, togofromon yang lain ini adalah endowmen khusus manusia.
Pidato ucapan adalah epiphenomenon dari pidato batin yang tanda-tandanya dapat secara sintaksis dihubungkan ke kalimat, untuk memperjelas banyak hal, termasuk hal-hal yang tidak akan pernah tersedia secara materi untuk persepsi dan representasi. Menurut laporan Sextus, untuk menjelaskan alasan yang salah, tetapi tidak menghormati "konsepsi yang logis", terima kasih yang mereka segera pahami perasaan dari diri mereka, "untuk desain infus dalam diri ini adalah bentuk ini:" Jika ini ada tempat untuk keberadaan tanda-tanda tambahan dari dimensi dan struktur manusia "(Against the Log. II, 275-276) kehidupan sehari-hari.

4.    KOMUNIKASI MANUSIA DAN ILAHI
Fungsi dan efek bahasa, operasi praktis dan mental yang digunakannya, tidak terbatas pada proses denominasi dan kategorisasi yang diuraikan dalam bab 2 atas. Ada fungsi-fungsi kognitif, yang tidak berhubungan dengan logika. Namun, Retorika besar pertama, yang selama berabad-abad adalah repertoar kanonik penggunaan bahasa non-kognitif, ditulis oleh Aristoteles yang dalam Organon-nya, pada saat yang sama meletakkan pondasi logika Barat dan filsafat kognitif. Menurut salah satu tradisi, identifikasi dari wacana torik orensik telah dimulai pada abad ke-5 M dengan perampasan tanah di sana-sini.
Tetapi kita tahu bahwa di Athena, pidato-pidato pengadilan ditulis oleh 'logografer' profesional ini menyiratkan eksistensi kanon sebelumnya, meskipun tidak dikodifikasi. Selain genre forensik dan deliberatif, sebuah genreal epideictic soarose, sebuah imedat yang menguraikan argumen. Di dalam untuk mofelegies, panegyrics kota-kota atau ordivinities juara, epicic ticpractice terus menjadi latihan sekolah hingga paruh kedua abad ke-19, ketika retorika akhirnya dikeluarkan dari kurikulum sekolah di Eropa. Terutama seorang pendeta imedat, studi tentang wacana epideritik juga digunakan selama berabad-abad untuk pendidikan profesional seni liberal.










MATERI IV
PHILOSOPHY OF LANGUAGE  FROM BOETHIUS TO LOCKE
(FILSAFAT BAHASA DARI BOETHIUS KE LOCKE)

Dari hasil presentasi makalah yang berjudul Philosophy Of Language  From Boethius To Locke pada pertemuan mata kuliah filsafat bahasa, saya dapat menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut;
1.    Ketidapktampakan Semantik
               Pada Akhir Zaman Kuno, ilmu bahasa, seperti semua partisi pembelajaran, dibuat kembali agar sesuai dengan mereka ke dalam ensiklopedia ilmu yang dilembaga Kekristenan. Saya telah menyebutkan hermeneutika sebagai satu dari disiplin di mana kekuatan kata-kata ekspresif dan efek dari polisemi pertama kali diuji. Analisis tekstual pertama kali diterapkan pada Kitab Suci, sebuah keunggulan bekerja terbuka. Arti harfiah dipandang sebagai shell yang mengandung pengertian spiritual, yang menanamkan ajaran moral atau menyampaikan kebenaran agama dan harapan keselamatan. "Sacrae Scripturae interpretatio infinita est", tulis John Scotus Erigena (Periphyseon II, 560A), mediator besar Neoplatonic doktrin dalam budaya Carolingian. Arti kata ilahi banyak ragamnya, “adil seperti dalam satu dan bulu merak yang sama dan bahkan dalam satu porsi kecil dari bulu itu, kita melihat berbagai warna yang luar biasa indah yang tak terhitung banyaknya ”(ibid., IV, 749C). Tak terbatas seperti Pengarang mereka, Alkitab membuat kumulatif interpretasi mungkin bacaan baru tidak menghapus yang sebelumnya (III, 690B). Tetapi interpretasi tanpa batas membawa risiko distorsi subjektif, salah tafsir, dan bid’ah. Dengan demikian, ada referensi berulang ke batas interpretasi, yang berpuncak pada teguran oleh Thomas Aquinas, yang agung teolog sistematis abad ke-13, yang memperingatkan untuk tidak pernah melupakan keutamaan arti harfiah.
               Hermeneutika sekuler juga menemui tekstual hal berarti banyak. Ketika diterapkan pada teks-teks sastra klasik dan filsafat, itu menyesuaikan mitos dan tokoh budaya kuno dengan simbologi Kristen. Orang Kristen berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka membaca kata-kata-Nya di dalam Kitab Suci, mereka melihat simbol-simbolnya ketika merenungkan bentuk-bentuk alam. Mereka berbicara tentang Tuhan dalam wacana eksegetik dan dengan Tuhan dalam doa dan ritual. Namun, berbicara tentang Tuhan mensyaratkan kontradiksi intrinsik. Prosedur lisan harus fokus pada spesifik atribut objek dengan mengorbankan orang lain. Tetapi esensi ilahi adalah sebuah kesatuan yang tidak terbagi, yang tidak dapat terpecah menjadi sejumlah proposisi.
2.      Semantik Universal
Semantik abad pertengahan begitu erat terjalin dengan pertanyaan universal, itu perlu untuk berurusan dengan yang terakhir setidaknya sampai pada tingkat mengasingkan aspek-aspek yang paling relevan dengan teori linguistik. Kita telah memeriksa asal-usul pertanyaan dalam membahas Boethius dan kemudian, melalui dia, Porfiri Universal muncul kembali sebagai masalah sentral dalam dialektika hanya di Abad ke-12, yaitu, berabad-abad kemudian (Porphyry aktif di antara abad ke-2 dan abad ke-3; Boethius, penerjemah dan komentator Latin-nya, menulis di antaranya abad ke 5 dan 6).
3.      Nama Semantik
            Salah satu kesaksian paling nyata tentang kesinambungan antara bahasa Latin Abad Pertengahan dan sumber-sumber klasiknya adalah sejarah penerimaan logis Aristoteles bekerja. Penyuntingan Organon adalah kisah luar biasa yang membentang beberapa abad, dari sistematisasi pertama dari korpus Aristoteles oleh Andronicus of Rhodes (abad ke-1 SM), hingga edisi cetak awal di dua dekade terakhir abad ke-15 di Italia (Isaac 1953; Arens 1984).
Bagian dari Organon diterjemahkan ke semua bahasa yang dipelajari pada saat itu adalah Latin, Suryani, Arab, Armenia, dan dianotasi dalam banyak teks, banyak dari mereka yang hilang. Di antara para komentator, ada orang-orang Yunani, seperti Porfiri Neoplatonis (Abad ke-3), penulis Islam antara abad 9 dan 11 (di antara mereka) al-Farabi, Avicenna, Averroës), dan bahkan lebih banyak penulis dalam bahasa Latin. Kategori dan De interpretasi adalah karya pertama yang diedarkan dalam bahasa Latin, diikuti pada abad ke-12 oleh karya-karya lain dari Organon. Selama berabad-abad, ini terus menjadi dasar logika dan dialektika di Barat.
Sepanjang dengan karya-karya Aelius Donatus dan Priscian, mereka merupakan inti dari doktrin gramatikal. Arens, kepada siapa kita berhutang sinopsis dari edisi ini, terjemahan, dan komentar dari Organon (1984: 7–15), daftar nama-nama quaestiones, glossae, exercitata, disputata, dicta, lecturae, lectiones, rationes, glosula, summulae, scholia, compendia, summae di bawah mana eksposisi dan parafrase disajikan ke dunia Latin antara tanggal 5 dan 13 berabad-abad oleh para filsuf seperti Boethius, Abelard, Albert the Great, John Duns Scotus, dan Thomas Aquinas, serta dalam rutinitas mengajar.
4.      Semantik Fungsi Gramatikal
Dalam dua bagian di atas, saya telah merekonstruksi aspek pertama semantik, yaitu pertanyaan nama. Aspek penting kedua adalah analisis dari properti istilah dan studi tentang cara penandaannya, yaitu semantik fungsi gramatikal: 'logika terminis' yang berhubungan dengan kata yang dilihat sebagai elemen fungsional dalam konteks proposisional dan dengan kombinasi mereka. Dimulai dengan abad ke 11, batas antara tata bahasa (yang mengikuti pendekatan morfologis untuk mempelajari nama-nama) dan dialektika (yang mengikuti satu ontologis yang berfokus pada hubungan antara nama dan hal-hal) telah menjadi semakin kabur (Tweedale 1988). Sejak paruh pertama abad berikutnya, minat dalam teori sintaksis sangat dominan (de Rijk 1962–1967, II, 1: 113–125; 1982: 161).
Bursill-Hall, yang telah menulis beberapa artikel tentang masalah ini, menekankan pentingnya komentar pada Priscian untuk perkembangan tradisi semantik tata bahasa ini. Masih ada lagi dari dua ratus komentar ini masih ada, beberapa di antaranya telah ada diterbitkan. Glosula tak dikenal di Priscianum (paruh kedua tanggal 11 abad) adalah titik awal analisis sifat-sifat istilah.
Penulis pertama yang perlu dipertimbangkan adalah Abelard. Dari Dialectikanya, yang berisi daftar mode menandakan, saya akan mengambil beberapa contoh analisis semantik istilah dalam proposisi. Contoh pertama adalah studi tentang fungsi kata kerja. Abelard mengacau Aristoteles dalam hal ini fungsi spesifik kata kerja bukan untuk 'menandai waktu bersama', karena ini bukan hak prerogatif eksklusif dari bagian pidato ini. Melainkan untuk memberikan kelengkapan pada proposisi. Homo currit (man runs) dan homo currens (man running) pada prinsipnya klausul yang setara.


















MATERI V
LANGUAGE AND PHILOSOPHY FROM RENAISSANCE TO THE ENLIGTENMENT
(BAHASA DAN FILSAFAT DARI ABAD REINANCE KE-ABAD PENCERAHAN)

Dari hasil presentasi makalah yang berjudul Language And Philosophy From Renaissance To The Enligtenment pada pertemuan mata kuliah filsafat bahasa, saya dapat menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut;
Zaman Renains dianggap sebagai zaman pembukaan abad pemikiran abad modern. Dalam sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans ini yang menonjol yang perlu dicatat, yaitu: (1) selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada waktu itu juga menguasai bahasa Yunani, bahasa Ibrani, dan bahasa Arab; (2) selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa dan malah juga perbandingan. atkhurtia.blogspot.com/2014/12/abad-renaisans.html. (Online 17 Nopember 2018)
Para sarjana linguistik zaman Renaissance ini menolak pandangan sebelumnya (Abad Pertengahan). Sarjana-sarjana Renaissance berpikir bahwa mereka yang telah memutuskan secara radikal hubungan kaum Skolastika abad pertengahan. Pada zaman ini dianggap sebagai jalan pembukaan abad pemikiran, abad modern. Akan tetapi, kenyataan tidak demikian sepenuhnya, khususya dalam bidang linguistik. Renaissance juga merupakan suatu perolehan kebelakang hasil-hasil karya klasik zaman Greko Latin. Salah satu tokoh linguistik yang cukup berpengaruh pada zaman Renaissance adalah Cicerus. Cicerus mencoba memperbaiki pandangan sebelumnya dengan berpegang pada pandangan bahwa kesastraan kuno klasik merupakan sumber segala nilai yang beradab. Selanjutnya, ia lebih berkonsentrasi mengumpulkan dan mempublikasikan naskah-naskah kuno klasik. Kondisi ini sempurna dengan ditemukan mesin cetak abad ke-15 yang memungkinkan kelancaran dalam menyebarkan cetakan-cetakan baru nakah-naskah kuno klasik secara luas dan cepat. Pada masa Renaissace menjadikan tata bahasa latin sebagai media pembantu dalam memahami sastra dan penggunaan bahasanya. Ada dua hal yang perlu dicatat pada zaman ini khususnya dibidang linguistik.
1.      Keragaman Bahasa
Lebih dari seribu tahun, sebelum dan sesudah tahun 1000, Eropa memiliki masyarakat yang multibahasa, ditandai dengan hubungan yang rumit antara Latin dan vernaculars. Percival (1999) mencatat, pengembangan vernaculars tidak stabil dan teratur.
Bilingualism adalah kondisi normal dari semua orang yang berpendidikan. Semua orang terpelajar mempelajari bahasa Latin, yang dianggap sebagai faktor kuat untuk mengidentifikasi hubungan sosial dan kohesi, bertentangan dengan linguae alienae dan bahkan bahasa ibu seorang pembicara (Murphy 1980).
Beberapa pandangan mengenai keragaman Bahasa adalah Pendekatan bahasa Yunani dan Ibrani berbeda. Bahasa Latin sebagai bahasa suci terdaftar secara tradisional, keduanya masih merupakan bahasa yang hidup di barat. Bahasa Yunani digunakan di pemukiman Yunani di Italia Selatan, sementara Bahasa Ibrani digunakan oleh minoritas di semua kota besar di Eropa.
Bahasa daerah adalah bahasa yang kita ucapkan sejak bayi, tanpa perlu belajar tata bahasanya (I, i, 2). Orang Latin, seperti orang Yunani dan beberapa orang lain juga memiliki bahasa 'sekunder', yang diperoleh hanya melalui belajar. Menjadi lebih stabil, membantu memberikan identitas umum dalam menghadapi geografis dan perbedaan kronologis (I, ix, 11). Semua bahasa berbagi lokus forma terkesan dalam pikiran; itu adalah struktur umum dari semua idiom, dikaburkan oleh kebingungan Babelic, tetapi masih terlihat dalam bahasa Ibrani (ibid., I, vi, 4–5).



















MATERI VI
LANGUAGE , PEOPLE AND NATIONS
BAHASA, ORANG DAN BANGSA
Dari hasil presentasi makalah yang berjudul Language , People And Nations pada pertemuan mata kuliah filsafat bahasa, saya dapat menyimpulkan beberapa poin berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut;
1.      Bahasa dan pemikiran komunal
               Dalam hati nurani kelas penguasa, gagasan komunitas linguistik bergabung dengan komunitas bangsa sampai pada titik identifikasi dengannya. Pada tahun 1808, Fichte menyampaikan bukunya Reden a die deutsche Nation (Alamat Bangsa Jerman), sebuah manifesto dari gagasan tentang bangsa sebagai tanah air umum dari semua kelas sosial. Dalam konteks ini ia menekankan pada keunggulan moral orang-orang Jerman dan bahasa mereka dan menyatakan versi yang sepenuhnya dikembangkan dari ide romantis bahasa sebagai entitas yang melampaui individu yang berbicara itu. Manusia tidak membentuk bahasa mereka; bahasa membentuk mereka. 
Bahasa hidup adalah  muncul dari orang-orang sebagai kekuatan spontan. Kata-katanya hidup dan memberi hidup. Ini menghasilkan budaya yang bukan hanya pengetahuan belaka tetapi memastikan pertukaran kreatif di antara kelas-kelas sosial. Bahasa mati adalah bahasa budaya yang berbeda dari orang-orang. Inti aslinya telah tercekik oleh bahasa asing dan karena itu mengandung pemikiran dan perasaan asing bagi orang-orang dari pembicara. Bahasa-bahasa ini - Perancis di antara mereka - dapat menghasilkan pengetahuan tetapi tidak pernah dapat menjembatani kesenjangan antara budaya aristokratis dan populer. Bagi mereka yang belajar bahasa asing, apa yang tersisa di luar negeri bukanlah masalah, yaitu bunyi-bunyiannya, yang acuh tak acuh dan dipahami secara mekanis, melainkan kumpulan simbol dan gambar yang diungkapkan oleh bunyi-bunyi itu, yang merupakan substansi spiritualnya. Bagi mereka yang berbicara bahasa asing, kata-kata selalu menghasilkan gambar buram. Dihiasi dari setiap kontak dengan akarnya yang hidup, suatu bahasa dapat "dangkal oleh angin kehidupan dan mensimulasikan kehidupan, tetapi di bagian bawah sesuatu yang mati tetap ada"  (Fichte 1845: 321).
2.      Filsafat dari perbandingan
               Linguistik historis dari paruh pertama abad ke-19 dapat dilihat sebagai penerapan hipotesis Jones untuk mayoritas bahasa-bahasa Eropa, serta yang dari India dan Iran. Pada tahun 1808 Friedrich Schlegel, dalam esainya tentang bahasa dan kebijaksanaan orang Indian (Über die Sprache und Weisheit der Indier), membuat budaya Jerman menjadi bagian dari 'penemuan' Sanskerta dan menguraikan filosofinya (lihat Koerner 1987). Keberhasilan esainya dibantu oleh minat Romantis tentang asal-usul manusia, yang terletak, seperti bahasa Sanskerta, di dunia Timur. Itu dipupuk oleh filosofi alam, yang, dimulai dengan Goethe, memandang organisme sebagai subjek proses pengembangan dan pembusukan, sudah ditorehkan dalam struktur mereka dari awal dan sebagian besar independen dari keadaan historis dan empiris. Ini juga model di mana bahasa dipahami pada awal filsafat Jerman abad ke-19 dari Schlegel ke Humboldt. Akhirnya, tesis Schlegel didorong oleh kecenderungan linguistik baru untuk memahami bahasa sebagai zat yang perkembangannya bukan hasil penambahan atau agregasi berturut-turut tetapi ditentukan oleh bentuk batin abadi yang aktif sejak awal.
3.      Ilmu Bahasa: Alam dan Sejarah
Di masa lalu, para filolog telah meneliti dokumen-dokumen dalam bahasa-bahasa kuno untuk menemukan aturan-aturan untuk merekonstruksi teks, sama seperti para ahli botani mencari sifat-sifat yang bermanfaat dalam tumbuhan, dan ahli anatomi membedah mayat-mayat untuk menemukan obat bagi yang masih hidup. Dalam pandangan Grimm, filologi komparatif, seperti botani komparatif dan anatomi, jauh dari sekadar penelitian empiris. Grimm mengikuti teori linguistik kontemporer dalam keyakinan mereka dalam analogi antara ilmu alam dan linguistik. Tapi baginya analoginya berhenti pada gagasan Penciptaan. Bagi naturalis, Penciptaan adalah dalil di luar yang dia tidak bisa pergi. Tidak demikian bagi linguis, karena bahasa adalah karya manusia, dan karena itu tidak ada batasan untuk rekonstruksi lengkap sejarahnya selain dari asal-usul kemanusiaan itu sendiri.
Perbandingan dengan ilmu alam juga merupakan titik awal esai Renan tentang asal-usul bahasa (1848). Bagi Renan, sejarah linguistik adalah semacam embriologi pikiran. Itu harus mengadopsi metode induktif untuk merekonstruksi proses pembentukan yang hanya bisa dipelajari secara tidak langsung, dengan analogi dengan kondisi sekarang. Dua prinsip studi filologi abad ke-19 adalah bahwa proses perubahan terjadi secara teratur dan hukum fonetis sejalan dengan hukum alam.
Filolog menggunakan metode induktif; mereka menyimpulkan tahap-tahap awal bahasa dari pengamatan keadaan sekarang, karena mereka percaya bahwa bahasa, seperti semua produksi spiritual, harus sepenuhnya terbentuk dari awal. Ini disebut 'uniformitarianisme', dan dapat ditemukan dalam karya Schleicher juga. Renan, seorang filolog hebat dan pembaca Schlegel dan Humboldt, mengikuti mereka dengan meyakini bahwa refleksi tidak memiliki bagian dalam perkembangan bahasa, sama seperti ia tidak memiliki bagian dalam proses alami. Penciptaan atau pembelajaran bahasa tidak menemui kesulitan yang lebih besar daripada yang dihadapi oleh tanaman yang berkecambah atau organisme yang melengkapi perkembangannya. 'Di mana-mana terletak Tuhan yang tersembunyi, kekuatan universal yang, bertindak ketika jiwa individu tertidur, menghasilkan efek luar biasa yang melampaui kecerdasan manusia sampai pada tingkat yang sama bahwa kekuatan tak terbatas melampaui kekuatan terbatas'(1947:10)

 

Blogger news

Blogroll

Change Background of This Blog!


Pasang Seperti Ini

About