Pages

Kamis, 11 September 2014

Senja di Pelupuk Mataku



Mega mulai berarak. Biru langit berganti kemerahan. Raja siang nan gagah pun sayup-sayup menuju barat. Senja jatuh di kota itu. Kota kelahiranku, 30 tahun lalu….
Aku menatap jalan. Hampir di sepanjang tepian, dipenuhi tanaman perdu. Tumbuhan yang tak berbatang besar itu tumbuh kokoh meski tidak tegak. Sementara di sisi lain, sepoian angin bertiup tidak seperti biasa. Dingin. Beku. Mengembuskan nuansa kepedihan.
Pedih? Apakah aku tengah merasakan itu? Ya, rasa itu belakangan ini menjalar hebat hingga membuncah di urat nadi. Hatiku turut pilu. Nelangsa. Tepekur kunikmati sendiri. Semua itu lantaran kebodohan yang sengaja kuperbuat. Mengguratkan kepedihan tidak hanya di batinku, tetapi juga Mas Priyo dan Yasni, putriku yang beranjak lima tahun.
Mereka adalah dua insan yang pernah kucerca hingga hatinya cacat. Karenaku, sirna kegembiraan yang tengah dirajut. Senyumnya menjadi layu, tak seperti dulu. Sikapnya menjadi tak acuh―terbukti ketika kukirimi Mas Priyo sepucuk surat yang berisi kerinduan yang mendalam terhadap dirinya dan Yasni―tak sepatah kata pun ia tanggapi. Aku tertohok dalam kenyataan ini. Aku hampir menyerah dalam menikmati balasan yang diberikan Tuhan.
Ya, ini balasan yang Tuhan beri padaku setelah sekian lama aku mengabaikan mereka. Kubuang jauh-jauh bayangan hidup susah bersama Mas Priyo dan Yasni yang selalu membutuhkan susu kaleng bermerek di swalayan. Tak kuhiraukan rajukan Mas Priyo yang sempat pelupuk matanya basah karena tangis. Ia tak ingin aku pergi. Namun, hatiku tak terenyuh. Bahkan, aku memalingkan wajah darinya lalu kuturuti perkataan amak untuk menikah dengan Annas―pengusaha asal Kalimantan―yang memiliki anak perusahaan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali.
Hampir dua tahun aku hidup bahagia dengan Annas. Perhiasan mewah, seperangkat make-up merek terkenal, menu makanan yang wah, dress limited edition, serta sempat berkeliling ke beberapa distrik yang ada di Jepang, semuanya kunikmati. Semua itu, tak pernah kudapati dari Mas Priyo. Paling-paling ia sanggup membawaku ke Anyer menikmati deburan ombak hingga senja jatuh sambil menyantap menu makanan resto yang harganya pun kami rundingkan terlebih dulu.
Maklumlah, Mas Priyo cuma penulis kacangan yang karyanya tak begitu dilirik penerbit. Berulang kali tulisannya ditawarkan ke beberapa penerbit, tetapi berulang kali juga penerbit menolak hasil karyanya. Dengan sabar, ia merevisi halaman demi halaman novel buatannya. Berminggu-minggu Mas Priyo berkutat di depan komputer pentium duanya. Ia tak pernah jemu menjalin deretan huruf itu sehingga menarik dan memiliki makna meskipun membutuhkan waktu tak sebentar. Mas Priyo tak pernah gentar akan mimpinya ingin menjadi penulis terkenal seperti Mira W. atau Putu Wijaya. Segala usaha ia kerahkan untuk mewujudkan keinginannya yang luar biasa.
Sementara aku, wanita seranjangnya, membutuhkan makan dan penghidupan yang layak. Butuh make up juga uang jajan. Terlebih ketika itu, aku tengah hamil besar yang membutuhkan ini itu untuk memenuhi kebutuhan bayiku yang tinggal hitungan minggu akan lahir ke dunia. Aku sempat meminta pada Mas Priyo untuk meninggalkan dunia khayalnya yang gila. Namun, dengan kata-katanya yang lembut, Mas Priyo memohon kesabaranku. “Sabar ya, Dek. Sebentar lagi selesai. Kali ini tulisan Mas pasti nembus penerbit,” jawabnya ketika itu. Aku menghela nafas sejenak lalu kubalas, “Takkan berguna usaha Mas selama ini. Mas cuma penulis kacangan. Lupakan mimpi gila Mas itu!” intonasiku meninggi. Mungkin kata-kataku menohok hatinya sehingga ia lekas keluar rumah meninggalkanku. Sikap seperti itu selalu dilakukannya ketika kami bertengkar. Sekata kasar pun tak pernah ia lemparkan padaku apalagi menyambut pipiku dengan sebuah tamparan. Mas Priyo selalu berhasil memadamkan amarahnya. Ia laki-laki yang lembut.
****
Ketika Yasni lahir―putri pertamaku―keadaan finansial Mas Prio memburuk. Untuk makan pun susah. Apalagi membiayai persalinan hingga beli susu. Belum lagi kekurangan lain yang membuatku merana lantaran bersuamikan Mas Priyo. Hari demi hari pipiku basah. Air mata terus-terusan menetes. Sungguh berat bersuamikan Mas Priyo yang tak berharta. Ia cuma bermodal mimpi dan berkhayal. Sementara cintaku, tiba-tiba menyurut ke titik nol. Kosong. Hampa.
Beberapa bulan setelah melahirkan Yasni, aku mengikuti anjuran amak untuk memaksa Mas Priyo agar menceraikanku. Amak tak tega melihatku terus-terusan menangis jalani kehidupan yang susah ini. Awalnya, Mas Priyo tetap menahanku untuk di sampingnya. Akan tetapi, aku terus memaksanya bercerai. Lebih dari separuh cintaku telah pudar. Ketidakberdayaan Mas Priyo yang membuatku bersikeras meninggalkannya. Aku tak mau terus-terusan melarat!
Setelah kuenyahkan bayang-bayang Mas Priyo dari hidupku, hanya berselang beberapa bulan aku dinikahi Annas, pria asal Kalimantan yang sudah tiga tahun menetap di Lampung. Di kota tapis berseri itulah ia memiliki cukup banyak perusahaan dan mendominasi dunia pasar, baik Indonesia maupun beberapa negara tetangga. Ia baik. Cukup dermawan terhadap keluargaku. Tak sedikit barang-barang branded diberikannya pada kedua adik kembarku: Fabiyan dan Febiyanti. Hidupku juga dipenuhi barang-barang mewah, tak seperti Mas Priyo, hidup dalam khayalan. Aku bahagia. Rona sukacita hampir tak pernah surut bersama Annas.
****
Beranjak dua tahun aku hidup bersama Annas. Ternyata pelipur lara pasti menjadi garam dalam alur kehidupan. Rumah tangga kami mulai goyah. Terlebih kami belum dikaruniai buah hati sehingga tak ada perantara yang dapat menyatukan dua hati sepasang manusia yang penuh egois ini. Kata-kata kasar telah membiasa di telingaku. Bahkan, beberapa kali pipiku disambut sebuah tamparan yang melayang hebat dari tangannya. Ketika itu, aku hanya bisa menangis. Meratapi nasibku, laksana insan yang tak pernah temukan kebahagiaan. Sempat beberapa kali aku mencoba kabur, tetapi langkahku seketika mati seraya Annas menghuyungkan bentakannya ke telingaku. Aku selaksa binatang buruan yang berhasil dimangsa lalu dicabik-cabik hingga terluka. Persis binatang.
Air mataku mengalir lebih hebat kali ini. Tak seperti tangisan ketika hidup susah bersama Mas Priyo. Meskipun demikian, Mas Priyo tak pernah mencaci apalagi memukul. Kalaupun bertengkar, ia hanya meninggalkan rumah sejenak untuk menenangkan pikiran. Setelah itu, peluk dan cium serta welas asihnya takkan tahan ia berikan untukku. Aku merindui lelakiku itu.
****
Akhir-akhir ini bayangan Mas Priyo membuntuti hidupku. Membuatku rindu kata-katanya yang lembut, kecupan bibirnya di keningku, serta rindu dengan sejuta mimpi gilanya ingin menjadi penulis terkenal. Juga Yasni, putri kecilku. Rupanya sudah seperti apa dia. Kali terakhir ibu hanya mengabarkan bahwa balitaku itu baik-baik saja, tetapi sekali pun tak pernah mengantarkan ringikan tangisan Yasni melalui ponsel. Rinduku semakin hebat terhadap dua insan itu. Rasanya hingga sesak hati ini menahan rindu. Mas Priyo… Yasni….
****
Satu bulan lalu aku telah mengirimkan sepucuk surat buat Mas Priyo tanpa sepengetahuan Annas. Aku mengatakan bahwa rindu ini benar-benar menyiksa. Aku ingin bertemu dengannya sambil nanti kubawa Yasni di hadapannya. Ia pasti suka. Nomor ponsel sudah kucantumkan di surat itu. Namun, Mas Priyo tidak juga menghubungiku apalagi membalas suratku. Aku sudah cek kantor pos terdekat, tetapi belum ada balasan darinya.
Sudah hari ke-2 Annas pergi ke luar kota. Belum lama ia menghubungiku lalu berkata bahwa satu minggu lagi baru akan pulang. Annas juga bilang, selama ia di luar kota, aku tak diizinkannya keluar rumah. Bahkan satu langkah pun! Sedangkan rinduku pada Mas Priyo dan Yasni, benar-benar hampir membuatku gila. Ah, tak kuhiraukan perkataan Annas. Lama-lama aku bisa mati lantaran menahan rindu.
****
Dari Lampung aku menuju Jakarta. Sebelumnya, aku ke rumah Mas Priyo, tetapi kata tetangga rumah, Mas Priyo sudah tak di situ. Sekarang menetap di Jakarta. Ah, sial! Pantas saja tak ada surat balasan darinya. Aku yakin, Mas Priyo masih mengharapkanku seranjang dengannya. Ia pasti rindu lirih manjaku di telinganya.
Melalui secarik kertas, alamat Mas Priyo tertera di situ. Permumahan Menteng-Jakarta. Ah, aku tak percaya jika itu alamat rumahnya. Paling-paling ia sudah putus asa akan mimpi gilanya lalu sekarang membabu di Jakarta. Baguslah seperti itu, daripada ia hidup dalam harapan dan khayalan.
Ketika sampai di alamat tersebut, rinduku menghebat. Nadiku hampir tak berdenyut. Lisanku jadi terbata-bata ketika dua orang pembantu menyebut nama Mas Priyo dengan sebutan Tuan. Hatiku membuncah. Tanda tanya berselerak dalam batin. Hanya dalam waktu beberapa tahun Mas Priyo sudah mempunyai rumah semewah ini? Dipanggil Tuan? Ah, sial! Jangan-jangan ini Priyo lain, bukan Masku!
****
Setelah cek dan ricek, sepertinya benar bahwa Mas Priyoku adalah pemilik rumah mewah itu. Kata dua pembantu kemarin, Mas Priyo sudah jadi penulis terkenal. Hasil karyanya jadi best seller di toko-toko buku terkemuka di seluruh Indonesia. Selain penulis, Mas Priyo juga sudah mempunyai satu pabrik garmen, cita-citanya selain menjadi penulis. Ah, Mas Priyo, si pengkhayal gila kini menjadi tenar. Pasti makan susah tak dikenalnya lagi. Mungkin sekarang banyak menu hidangan tersaji di meja makannya. Kudapan salad tak asing lagi di lidahnya. Lebih dari itu, mungkin traveling keluar negeri sering dilakukannya. Tak seperti dulu, sebatas menyeberangi pulau sekadar menikmati deburan ombak di Anyer.
Air mataku meleleh satu per satu. Menandai aku benar-benar lemah tanpanya. Rindu tak sanggup kubendung. Segera ingin berjumpa dengan lelakiku, Mas Priyo.
Aku menuju toko buku terbesar di Jakarta. Hari ini bertepatan Mas Priyo launching buku terbarunya. Sudah banyak karya yang dihasilkan suamiku itu.
Suami? Layakkah ia masih kusebut suami? Bukankah ia kupaksa bercerai lalu kutendang bayangnya dari hidupku? Masih pantaskah aku disebut istri untuknya? Masih pantaskah juga aku disebut ibu meski menelantarkan Yasni? Terlalu sempurna bila sebutan-sebutan itu ditujukan untukku.
Acara launching selesai. Akhirnya dua pasang biji mata itu saling bertumbuk di satu arah. Lama sekali aku tak ditatapnya seperti itu. Rindu, benar-benar rindu. Hingga sesak jantungku. Janji, aku tak mau meninggalkannya lagi.
“Kau tampak kurus, Dek Laila,” Mas Priyo membuka pembicaraan setelah cukup lama kami saling memandang. “Kau tetap cantik.” tambahnya.
Ya, kecantikanku memang memesona. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Priyo, banyak lelaki yang menginginkanku jadi istrinya. “Kecantikanmu tak berubah. Persis tujuh tahun lalu.”
“Mas, kuingin kau kembali,” pintaku lirih. Mas Priyo masih menatapku. Kali ini aku tak berdaya dengan semua pandangannya seolah menilik relung hatiku. Tak lama senyum simpulnya mengembang. Lelaki itu, benar-benar membuatku kepayang. Tak hanya harta yang dimiliki, tetapi juga tutur katanya lembut mewakili orang Jawa yang identik dengan kelemahlembutan.
“Berapa tahun kau tinggalkan aku, Dek? Berapa tahun aku menahan rinduku? Berapa tahun aku melukai diriku lantaran terus-terusan mengharapkanmu?”
“Mas…”
“Berapa lama aku sakit karena amak menamparku? Lihat, di pinggir bibirku ini! Bekas tamparan itu masih jelas!”
“Mas…” aku tak sanggup meneruskan kata-kataku. Suaraku memarau. Air mataku tumpah.
“Betapa susahnya aku membesarkan Yasni tanpa penghasilan apa pun, Dek!” tandas Mas Priyo.
“Yasni?”
“Ya, amak menyerahkannya padaku. Sejak kau menikah dengan si konglomerat itu, amak sudah tak mau membesarkan Yasni.”
“Mas, tapi….” kataku terputus.
“Masih pantaskah kau disebut istri? Ibu? Atau mantan ibu yang merindui anaknya?” potongnya.
“Mas, cukup! Hatiku sakit.”
“Masih pantas juga kau lihat hatimu sakit? Lihat aku, Dek! Bertahun-tahun aku menyusun remukan hati yang sudah berkeping-keping, berselerak entah di mana! Hampir mati aku karenamu,” suara Mas Priyo gemetar. Kali ini aku benar-benar menyaksikan kekecewaannya. Air matanya menitik.
“Yasni yang menguatkan aku, Dek. Anak kita hebat. Dia tangguh melewati kemelaratan ayahnya. Tak seperti ibunya!”
“Maafkan aku. Aku ingin semuanya membaik lagi,” ucapku pelan setengah memohon.
Di sekitar latar aku melihat seorang bocah mengenakan dress lengan buntung dan berpita biru yang menghiasi rambutnya. Bocah itu tengah asyik berlari-lari dan sesekali memerhatikan Mas Priyo dan aku. Itukah ia? Yasni….
“Itu anak kita. Yasni. Dia bahagia. Dia sudah bisa makan enak. Juga sudah sempat berkeliling kota dan Singapur,” Mas Priyo menunjuk bocah kecil yang sudah kukenal wajahnya. Wajahnya oval, cantik, mirip denganku. Dahinya sedikit lebar seperti ayahnya. Menandakan kecerdasan.
Selang beberapa menit, Yasni yang berdress pink menghampiri ayahnya.
“Itu ibu kamu, Yas,” Mas Priyo memperkenalkannya padaku. Yasni tak berkata apa pun. Di matanya, aku hanyalah makhluk asing.
“Melupakanmu sungguh tak mudah, Dek. Sebab itu, hingga kini aku belum juga menikah.”
“Jadi, Mas mau…?”
“Pulanglah ke rumah! Annas pasti menunggumu. Biarkan aku dan Yasni menjalani hidup kami. Kembalilah padanya!” tutupnya dengan nada bergetar. Mas Priyo membelakangi tubuhku sambil menggendong Yasni dalam pelukannya. Ia pergi meninggalkanku.
Air mataku tumpah. Kecewa. Redup hatiku. Kejam, apakah kata itu pantas untuk Mas Priyo? Rasanya tidak! Aku yang kejam, tak menghiraukannya. Semua itu lantaran kebodohanku. Aku buta, tuli, perasaanku nol. Tak bisa melihat, mendengar, dan merasakan bahwa Mas Priyo menyayangiku dengan utuh. Bulat. Aku kalah dengan waktu. Tak sabar dengan waktu yang dulu mempermainkanku di titik kemelaratan!
Senja jatuh di pelupuk mataku yang basah. Angin menusuk rusuk. Terasa linu. Sepi. Beku. Aku nelangsa. Kosong. Hatiku tak berisi. Nol. Kukerahkan jiwaku untuk kembali pulang. Bersama Annas, berharap kelembutannya.
****
 

Blogger news

Blogroll

Change Background of This Blog!


Pasang Seperti Ini

About